Kita hidup di dunia nyata. Bukan dunia maya yang kalau ada apa-apa pasti diberi notifikasi peringatan.
>>>>>>>>>>>>>>>*<<<<<<<<<<<<<<<
Pukul 18.00, dan Ayah belum keluar juga dari ruang kerjanya. Masih sibuk menyiapkan narasi pidatonya, padahal 30 menit ke depan acara sudah akan dimulai. Sedang ketiga anaknya sudah standbye di ruang tengah, agak bete karena Ayah tadi menyuruh mereka buru-buru, tapi kini justru Ayah sendirilah yang paling lambat.
Mama menghampiri Daniel yang sibuk membenahi letak dasinya. Membatu, lalu memindai bagian mana lagi yang terasa belum oke.
"Ayah ngapain si! Lama banget! Tadi nyuruh buru-buru, Sekarang malah dia yang melar-melarin waktu," gerutu Bilal. Sudah terlanjur kesal karena disuruh terus menunggu. Padahal ia sudah berusaha semaksimal mungkin untuk tidak makan siang dan menahan lapar dengan harapan agar perutnya kosong dan ia bisa balas dendam dengan menyicipi banyak hidangan yang tersaji di tempat acara. Meski sempat diamuk Elang dan diingatkan bahwa ia harus menjaga pola makan karena ginjalnya tinggal satu, Bilal tetap saja tutup kuping.
Tulang belakang yang tadinya ia tegakkan kini ia benturkan ke sandaran sofa. Sayang, kehendaknya untuk rebahan di sofa dicekal Mama dengan cepat.
"Eits. Jangan banyak gerak. Nanti jasnya kusut." Mama menarik lengannya. Kembali mendudukkan Bilal dengan posisi tegak. Untung saja dress semi formal yang Mama gunakan tak mempersulit pergerakannya untuk mencegah Bilal melakukan hal yang macam-macam. Dress selututnya itu punya warna senada dengan setelan ketiga anaknya. Abu-abu dengan hitam yang mendominasi. Dresscode hari ini ditentukan berdasarkan warna kebangsaannya Bilal. Dark.
"Arrgh!" erang Bilal marah. Bukan karena Mama yang tidak memperbolehkannya untuk rebahan. Melainkan pada Ayah yang membuat mereka menunggu begitu lama.
Elang mundur beberapa langkah. Agak kaget dengan gelagat marah yang Bilal tunjukkan. Akhirnya ia putuskan untuk mendatangi Ayah di ruang kerjanya. Melihat Bilal yang sudah jengkel dan melihat Daniel yang selalu menengok ke arah jam membuatnya ingat bahwa menunggu memanglah suatu hal yang bisa membuat frustrasi. Meski dalam jangka pendek.
Elang memberanikan diri untuk masuk ke ruang kerja Ayah tanpa permisi. Sudah tidak ada waktu untuk mengetuk dan mendapatkan izin dari Ayah hanya untuk masuk ke dalam sana. "Yah?"
Ayah melirik sekilas. Tahu bahwa keadaan di ruang tengah sudah tak lagi begitu positif. Suara erangan Bilal terdengar sampai ke telinganya ternyata.
"Kalian berangkat duluan, Ayah nyusul."
Elang menyatukan alisnya, "Ayah yakin?"
Ayah mengangguk sebagai jawaban.
"Bareng aja deh, Yah. Kita tungguin."
"kamu yakin?" kini Ayah yang balik tanya.
"Iya, barengan aja. Telat dikit nggak pa-pa, kan? Kita bukan tamu istimewa, kan?" Elang berusaha mengerti akan kondisi Ayah. Agak kasihan melihat Ayah yang rela berbohong agar nampak baik-baik saja di depan anak-anaknya.
Sebenarnya ia tidak sedang menulis narasi pidato atau hal-hal semacamnya. Yang ia lakukan sekarang adalah mengoleskan salep pereda nyeri ke seluruh permukaan betisnya. Ayah semakin tua, Elang sadar akan hal itu. Mungkin juga hal itulah yang membuat Ayah ingin cepat-cepat mengalihkan perusahaannya pada Elang agar ia bisa secepatnya pensiun dan menikmati masa tuanya dengan damai.
Tak lama kemudian, suara keras Bilal mengintrupsi keheningan yang tercipta. "AYAH LAMAA! Kita jadi pergi nggak sih? Kalo nggak jadi mending Bilal balik ke kamar terus tidur!"
KAMU SEDANG MEMBACA
ADIWIRA
General FictionTiga laki-laki dengan latar belakang yang berbeda, bisa dikatakan asing satu sama lain. Ditakdirkan untuk bertemu dan hidup bersama karena keterikatan satu sama lain. Elang si pemalas yang dewasa, Daniel si manusia dingin yang berambisi, Dan Bilal s...