-Setidaknya kata menerima lebih enak didengar daripada kata menyerah.-
-Elang.
>>>>>>>>>>>>>>>>>>*<<<<<<<<<<<<<<<<<
Satu bulan sebelumnya.
Ada dua hal yang selalu dibenci Elang ketika makan siang di kantin rumah sakit tempatnya bekerja. Yang pertama, karena lauknya yang sangat membosankan. Dan yang kedua, karena tatapan-tatapan aneh dari para suster yang membuatnya risih. Sebenarnya ada apa sih dengan dirinya sampai-sampai semua suster bahkan staff lainnya seperti itu? Apa karena wajahnya sekonyol badut? Atau seseram valak? Atau, apa karena ada nasi yang menempel di sekitar bibirnya? Entahlah, Elang tidak mengerti. Ia menatap sinis segerombolan suster yang menatapnya sambal berbisik-bisik.
"Mereka bakal makin seneng kalo lo balik tatap kaya gitu," ucap Mila, rekan kerja sesama dokter yang sedari tadi memang sudah duduk di sampingnya.
"Orang-orang itu kenapa sih? Di muka gue masih ada bekas darah pasien apa?" tanyanya dengan nada kesal, menumpahkan amarahnya pada Mila. Ia memang membantu persalinan anjing husky siberia tadi, tapi sudah Elang pastikan bahwa tubuhnya sudah steril sebelum ia datang ke sini.
Ya, Elang adalah seorang dokter hewan.
Mila menahan senyumnya. Sangat menyenangkan bisa melihat wajah masam yang sangat jarang dikeluarkan oleh orang itu. Karena biasanya laki-laki berusia dua puluh delapan tahun itu akan mengeluarkan raut wajah yang ramah ketika sedang bekerja, atau wajah yang konyol menghibur jika sudah keluar dari lingkungan kerjanya. Elang dikenal sebagai pribadi yang sangat humble oleh orang-orang disekitarnya.
"Lo punya kaca nggak sih? Ngaca napa sekali-kali,"
"Nggak punya sih, tapi gue sering kok ngaca di toilet umum." Elang menanggapi seraya memasukkan suapan terakhirnya kedalam mulut.
Mila menggelengkan kepalanya perlahan. Kemudian menyodorkan cermin kecil yang selalu berada di kantong jas putihnya. Biasalah perempuan.
"Nih ngaca!"
Elang menyambar buru-buru barang yang diserahkan Mila. Ia sudah merasa sangat risih dengan tatapan semua orang.
"Orang nggak ada apa-apa kok," sewotnya sendiri. Masih menatap cermin mencari sesuatu yang salah pada wajahnya.
Mila yang hanya bisa memperhatikan tingkah Elang pun bingung. Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Aduh, gimana yah ngasih tahunya? Siapapun, tolong dong kasih tahu Elang kalo yang ada di wajahnya itu tidak lain dan tidak bukan adalah ketampanan yang hakiki. Bukan hal-hal aneh lainnya.
"Udah ah, ayok balik ker—" Kalimatnya terpotong di kala dehaman berat seseorang mengintrupsi. Spontan Elang dan Mila menoleh, ingin tahu siapa orang yang barusan berdeham menganggu obrolan antara mereka berdua. Agak mendangak karena posisi orang itu berdiri sedangkan mereka masih terduduk.
Sedetik setelahnya mereka malah saling adu pandang, seolah bisa berintuisi lewat tatapan mata yang menyatu. Pikiran mereka bertanya-tanya seperti "Mereka siapa?" atau "Lo punya utang berapa juta sama rentenir?!" Lalu keduanya menggeleng bersamaan, bertanda bahwa tidak ada di antara mereka yang mengenal orang-orang itu. Yap orang-orang, karena bukan hanya satu orang. Mila melirik tajam Elang, mengisyaratkan Elang agar ia segera berdiri dan bertanya apa maksud dan tujuan orang-orang itu datang kemari menghampiri mereka. Elang berdiri, kemudian melirik Mila sekilas karena merasa ciut dengan orang-orang itu. Pasalnya badan orang yang ada di hadapannya itu sangat jauh perbedaannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ADIWIRA
Fiksi UmumTiga laki-laki dengan latar belakang yang berbeda, bisa dikatakan asing satu sama lain. Ditakdirkan untuk bertemu dan hidup bersama karena keterikatan satu sama lain. Elang si pemalas yang dewasa, Daniel si manusia dingin yang berambisi, Dan Bilal s...