10. We Never know.

17 1 0
                                    

Ada baiknya jika jalan yang kita tempuh ini buntu.

>>>>>>>>>>>>>>>*<<<<<<<<<<<<<<<

"Kamu pikir tubuh kamu itu seratus persen milik kamu?" Tahu-tahu Ayah muncul saat Bilal sudah sangat semangat kabur ke sekolah. Dalam hati Bilal menggerutu, andai tadi ia keluar rumah lebih awal, pasti ia tidak akan bertemu Ayah pagi ini. Bilal melempar pandangannya ke arah tangga, menemukan Elang dan Daniel yang sepertinya akan bergabung bersama untuk menerima wejangan dadakan dari Ayah. Daniel terlihat rapih dengan kemeja abu yang lengannya ia gulung hingga siku. Ia hendak berangkat kuliah. Sementara Elang berpenampilan santai, bukan santai lagi, ia bahkan terlihat seperti orang yang belum mandi.

"Sini kalian." Tuh, kan. Haha.

Kini berjejerlah ketiga anak Ayah dengan berurutan. Elang, Daniel, Bilal. Ketiganya menunduk karena tak mau menatap wajah garang Ayah pagi-pagi begini, yang ada bisa sembelit kalau melihatnya terlalu lama.

"Selagi kalian belum menikah, kalian itu aset Ayah. Tubuh kalian itu bukan punya kalian, tapi punya Ayah." Ayah berkata dengan egoisnya. Tapi meski begitu tiga laki-laki bersaudara itu tetap diam, membiarkan Ayah melanjutkan narasi kejamnya. Pembahasan ini tentu saja didasari karena kejadian Bilal kemarin.

"Mata sinis ini, punya Ayah." Elang memundurkan kepala saat Ayah menunjuk matanya menggunakan rotan maut yang waktu itu digunakan untuk menyambit Bilal.

"Jantung yang lemah ini, punya Ayah." tunjukan rotan itu beralih ke dada Daniel.

"Tangan yang suka mukul orang ini, punya Ayah." Benda itu kembali pada tempatnya setelah menunjuk tangan Bilal. "Bahkan ginjal dan mata kamu yang tinggal satu itu semuanya punya Ayah!"

"Berarti kalo udah nikah Elang bebas kan Yah?"

Tar!

Satu sabetan kecil menghampiri lengan Elang yang tertutupi kain fleece sweater berwarna hitam. Tumben-tumbenan orang itu memakai sweater, biasanya ia selalu memakai kemeja dengan lengan yang pendek. Tapi mungkin Elang sudah punya firasat akan hal buruk yang akan menimpanya pagi ini.

Elang meringis. Ternyata sabetan Ayah terasa lebih perih dari apa yang ia bayangkan. Tak bisa terbayangkan bagaimana tersiksanya Bilal yang disambit berkali-kali waktu itu.

"Ayah izinin kamu menikah setelah kamu resmi jadi penerus Adiwira Noesantara."

Daniel yang sedari tadi diam menyimak kini mulai merasa muak. Telinganya panas mendengar kata-kata Ayah yang selalu menyinggung perihal barusan.

"I'm late" ucapnya dingin. Ia menundukkan tubuhnya ke arah Ayah sebentar lalu berbalik badan. Sekesal-kesalnya ia dengan Ayah, ia akan tetap berpamitan meski dengan kesan yang tidak begitu baik.

"Bilal juga!" Bilal ikut-ikutan. Ia meniru cara berpamitan yang baru saja Daniel lakukan. Terlalu segan untuk menyalimi tangan Ayah.

"Tunggu!" suara asing yang masuk ke telinga Bilal membuatnya berhenti di tempat. Itu bukan suara Ayah, itu suara perempuan. Tapi bukan juga suara milik Mama. Daniel membalikkan badannya lebih cepat dari Bilal. Bahkan Daniel juga penasaran akan suara imut itu. Bilal mengerutkan dahinya saat menangkap sesosok perempuan yang ia ketahui sebagai pembantu itu berdiri di ujung sana.

Pakaiannya terlihat persis dengan pakaian yang di kenakan Bilal. Seragam sekolah SMA Sentosa. Bedanya perempuan itu memakai rok pendek abu-abu sedang ia mengenakan celana panjang abu-abu. Apa nih?

"Oh ya. Ayah lupa bilang." Tanpa perlu ditanya, Ayah berniat menginformasikan berita penting hari ini. Elang dan Daniel melirik, sangat tertarik dengan hal yang Ayah rencanakan kali ini. "Mulai hari ini dan seterusnya, Suci akan satu sekolah sama kamu." Jelas Ayah yang langsung mendapat tatapan heran dari Bilal. Like HAH!

ADIWIRATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang