"Sebenarnya mau kamu apa? kamu itu selalu saja buat masalah. Kamu udah buat istri saya koma. Sekarang setiap kamu dekat dengan anak saya pasti ada saja yang terjadi." Ucap sang Ayah dengan nada yang sangat menusuk.
"Maaf." Jawab Gentar menyesal.
"Kamu itu cuman bisa nyusahin, masih mending saya mau nampung kamu. Kalo kamu masih menganggap Guntur kakak kamu seharusnya kamu menjaganya bukan malah mencelakainya seperti ini! Saya sangat kecewa!" Ucap sang Ayah, lagi-lagi dengan kata yang menusuk.
"Maaf yah!" Lirih Gentar.
"Kata maaf gak akan bisa balikin semuanya, kata maaf kamu itu cuman bikin saya semakin membenci kamu!" Ucap sang Ayah semakin marah.
Gentar hanya bisa menangis dalam diam, sungguh perkataan Ayahnya membuat dia ingin mengakhiri hidupnya saat itu juga.
Tapi Gentar masih ingat, ada sang Bunda di sisinya. Walaupun dia belum bisa berinteraksi dengan bundanya, melihat wajahnya saja sudah membuat semangat Gentar bangkit kembali.
"Sudahlah saya tidak mau banyak bicara! Percuma saja bicara banyak tapi kamu tidak jera-jera. Saya sudah MUAK!" Ucap Ayah dengan menekankan kata terakhirnya.
Sang Ayah langsung mengeluarkan benda yang tidak asing lagi di mata Gentar. Cambuk yang selalu menemani Gentar di saat ayahnya memberi hukuman.
"Buka baju kamu! Jangan sampai Guntur melihat bekas cambukannya! jika kamu bicara yang tidak-tidak, saya tidak akan pernah mengizinkan kamu bertemu dengan istri saya seumur hidup kamu!"
"Ba..baik A..yah." Lirih Gentar.
'CTARRR'
'CTARRR'
'CTARRR'
'CTARRR'
"A-ampun yah, sa-kit." Lirih Gentar dengan sangat pelan.
"Baru juga empat cambukan kamu sudah kesakitan seperti itu? Haha dasar lemah! Ini bukan apa-apa saya belum puas memberi kamu pelajaran, apa kamu tau? Setelah kejadian itu hidup saya jadi hancur! dan penyebabnya adalah iblis kecil ini! Saya hanya berharap iblis kecil ini lenyap dari kehidupan saya!"
Tidak puas dengan cambukkan, sebuah tendangan mendarat dengan sangat kencang di punggung Gentar.
'DUAK'
'DUAK'
Lagi-lagi suara cambukkan terdengar di telingan Gentar. Dia sudah tidak bisa merasakan apa-apa saat Ayahnya mencambuk badannya, hanya terdengar suara cambukkan dan tendangan.
'CTARRR'
'CTARRR'
'CTARRR'
'DUAK'
'DUAK'
Setelah menyelesaikan tendangan terakhirnya sang Ayah langsung melangkah pergi dari Gudang, dan sebelum benar-benar pergi ia sempat berbicara sesuatu yang membuat hati Gentar sakit.
"Saya berharap kamu cepat pergi agar keluarga saya tidak terkena petaka lagi."
Gentar faham apa maksudnya. Ayahnya itu bukan mengusir Gentar dari rumah melainkan mengusir nyawanya dari dunia ini.
Setelah Ayahnya pergi baru Gentar bisa menangis dengan kencang, ia tidak menyangka jika hidupnya akan seberat ini.
"Bun hiks hiks aku butuh Bunda, Bunda cepet bangun. Aku pengen ikut nenek Bun! kayanya di sana lebih nyaman hiks hiks."
Gentar terus menangis, sampai tiba-tiba dirinya ingat bahwa bundanya dulu pernah bilang sesuatu.
"Sayang! Bunda gak pernah benci sama kamu nak! Bunda sayang sama kamu. karena Abang kamu lagi sakit, Bunda gak bisa terus di sisi kamu, Bunda cuman bisa ngingetin kamu apapun yang terjadi di masa depan mau itu buruk atau baik kamu harus iklas ya nak! Percaya sama Bunda jika sesuatu yang buruk terjadi itu bukan karna Allah tidak adil tapi tandanya Allah sangat sayang sama kamu. Jika kamu iklas dan terus berusaha pasti nanti jalan keluar ada di depan kamu. Paham jagoannya Bunda?" Nasihat Bunda.
"Paham Bun! Aku sayang sama Abang jadi kalo Abang sakit Bunda jangan pernah tinggalin Abang ya Bun. Aku gak papa kok sendiri yang penting Abang gak sakit-sakitan lagi." Jawab Gentar kecil dengan senyum manisnya.
"Bun aku ikutin kata Bunda, aku iklas. Mungkin ini salah satu kasih sayang yang Allah berikan lewat Ayah. Allah sepertinya sedang menguji aku. Apakah bisa aku nyari jalan keluarnya mungkin itu yang Allah inginkan, dia ingin hambanya berusaha lebih keras lagi agar bisa lebih dekat dengannya. Aku bener kan Bun?" Lirih Gentar dengan air mata yang setia menemaninya.
Luka cambukkan di tubuhnya sepertinya sangat banyak, karena saat Gentar memakai baju rasanya seperti kulit punggungnya mengelupas.
"Makasih Yah atas hadiahnya, jangan sampai Abang di kasih hadiah yang sama seperti aku. Aku gak akan pernah ikhlas jika ayah memberikan hadiah yang sama ke Abang." Lirih Gentar sangat pelan, semutpun tidak akan bisa mendengarnya.
Guntur langsung merebahkan tubuhnya di atas kasur king size nya. Kata-kata Ayahnya tadi terus berputar di kepala Gentar membuat ia merasakan sakit kepala.
"Gimana ya keadaan Guntur." Gumam Gentar.
Karena penasaran Gentar pun melangkahkan kakinya menuju kamar Guntur.
'Cklek'
Gentar membuka pintu secara perlahan karena takut membangunkan Guntur yang sedang beristirahat.
Gentar tidak tega melihat Wajah pucat sang kakak. Ia menyesal karena gara-gara dirinya Guntur jadi sakit seperti ini.
"Maafin gue Gun! Gara-gara Gue lo jadi sakit, emang gue bukan adik yang berguna. Jagain lo aja gue gak becus." Bisik Gentar.
Gentar ikut merebahkan tubuhnya di samping sang kakak. Tubuhnya kali ini benar-benar tidak bisa di ajak kompromi, semuanya terasa sakit dari ujung kaki sampai kepala, Gentar langsung menyusul Guntur ke alam mimpi dengan posisi tidur tengkurap karena luka cambuknya masih basah, ia takut jika telentang darahnya menempel di kaos yang ia pakai dan Guntur melihatnya. Bisa habis ia di tangan Ayahnya.
Guntur tidak benar-benar tidur. Ia mendengar apa yang Gentar katakan, ia mendengarnya dengan sangat jelas.
'Harusnya gue yang ngomong gitu dek, gue yang gak becus jaga adek sendiri. Gue bisanya cuman nyusahin lo, gue gak suka saat lo merasa bersalah kaya gini.' Batin Guntur.
Di saat sudah aman, Guntur perlahan membalikkan badannya menghadap sang Adik, saat tidur adiknya itu sangat lucu. Tanpa sadar Guntur mengelus puncak kepala Gentar.
Namun saat tangan Guntur sudah ada di kepala sang Adik, ia merasakan sesuatu yang tidak beres terjadi kepada Gentar. Ia baru sadar kalo wajah adiknya sangat pucat lebih pucat dari pada dirinya.
"Kok lo ikut sakit si dek! kepala lo juga panas banget tapi tangan lo dingin. Lo pasti kedinginan, gue peluk ya biar lo anget."
Guntur terus mengelus puncak kepala Gentar sambil memeluknya, ia berani seperti itu karena Adiknya itu tidur. Jika sudah tidur, Gentar akan susah bangun jadi ia bisa leluasa memeluk adiknya.
Mata Guntur memberat dan akhirnya ia ikut menyusul adiknya ke alam mimpi.
Di lain tempat seorang remaja kini sedang duduk di taman, setelah pulang kerja Hero tidak langsung kerumahnya ia akan menhitung hasil kerjanya di tempat lain.
Ia akan membagi-bagi uangnya. untuk bisa memenuhi kehidupan dirinya dan Ayahnya.
Hero selalu merasa senang jika ada yang bisa mentraktir dirinya di sekolah, bukan dia rakus tapi Hero sama sekali tidak punya uang untuk jajan, ia menyimpan uangnya untuk biaya sekolah dan tagihan hutang orang tuanya.
Belum lagi Ayahnya selalu minta jatah saat ia pulang kerja, mangkanya ia selalu memisahkan uang di tempat lain karena jika ayahnya melihat semua uangnya pasti akan di ambil, dan ia harus mencari lagi buat biaya sekolah dan tagihan ayahnya. Itu benar-benar membuat Hero sedikit frustasi.
Ia lelah hidup seperti ini, di saat remaja lain bisa bermain bebas dirinya harus banting tuling mencari uang. Semoga saja kerja kerasnya ini bisa menghasilkan sesuatu yang lebih di masa depan.
KAMU SEDANG MEMBACA
TWO ERLANGGA
Fiksi RemajaBerjuang di masa remaja bukanlah hal yang mudah, banyak yang harus di hadapi entah itu soal harta, keluarga, teman ataupun pasangan, semua itu sudah ada yang mengatur. Bahkan tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi selanjutnya semuanya harus mengi...