2

1.2K 106 6
                                    

Zhan tidak tahu pukul berapa aja terbangun. Sekitarnya gelap-gulita. Diulurkannya tangannya ke samping kiri hendak mengambil arloji, tapi di sebelahnya tak ada meja. Baru dia ingat. Dia bukan di rumah. Gelap. Pemadaman dari sentral? Arloji di tangannya tidak dapat dilihatnya sama sekali. Badannya terasa panas. Dan jantungnya berdebar-debar. Perasaannya sangat tidak enak. Demamkah dia? Dicobanya duduk. Perasaannya makin tidak enak. Mulutnya terasa terbakar.

"Haus.." katanya sendirian dan tiba-tiba dia menutup mulut.

Ada orang di kamarnya. Zhan berdiri kaku di samping tempat tidur.

Ada orang. Ada suara napas orang yang menderu-deru seperti habis berlari. Ditahannya napasnya. Didengarkannya dengan berdebar-debar. Betul. Rasanya suara itu amat dekat dengan dia. Tiba-tiba Zhan menjadi takut dan menjerit. Sebuah tangan yang besar melayang turun dan menutup mulutnya. Zhan menendang dan mencubit dan menampar. Tapi orang itu dengan mudah berhasil pula mengikat kedua belah tangannya.

"Diam!" Dan tersembur bau alkohol dari mulutnya.

Zhan menjadi amat sangat takut. Dia mengerti bahaya yang mengancamnya. Dia mengerti. Dia mengerti. Karena itu dia menendang membabi-buta dengan marahnya. Orang itu menampar pahanya dengan keras. Zhan menangis. Merasa amat dihina. Tidak teringat lagi olehnya Tuhan dan Bunda Maria dan semua manusia suci. Dia sibuk menendang-nendang.

"Baiklah. Jangan katakan aku kejam," kata laki-laki itu dengan gusar.

Dan si pemabuk itu mengikat kedua kaki Zhan ke tepi tempat tidur. Zhan menggoyang-goyangkan kepalanya dengan amat marah. Rasa dadanya mau meledak. Laki-laki itu tertawa dalam kegelapan.

Zhan cuma bisa memandang gelap. Samar-samar terlihat bayangan orang itu. Tapi jendela dan pintu tertutup rapat dan bulan tidak bersinar. Zhan tidak dapat melihat wajah penyerangnya.

Tiba-tiba terdengar korek digores. Zhan menoleh. Dalam cahaya yang kecil itu, memang tidak banyak yang dapat ditangkap lensa. Tapi cukup. Zhan melihatnya teman dansanya tadi.

Sekarang pemabuk itu menyeret kursi dan duduk di sampingnya sambil mengisap rokok. Sebentar sebentar dia menoleh. Kemudian dia bangkit lalu menyalakan lampu tidur.

"Romantis, bukan? Istriku yang manis ...."

Gila, teriak Zhan tapi teriaknya tidak keluar.

Sapu tangan di mulutnya memancarkan harum seperti sapu tangannya sendiri. Zhan menangis lagi karena sangat dongkol dan ketakutan. Jelas sekali, orang itu sudah mabuk.

Sambil menghembuskan asap rokok ke muka tawanannya, pemabuk itu menjulurkan tangannya. Tiba-tiba Zhan teringat akan Bunda Suci dan secepat kilat menggulingkan tubuhnya ke samping. Sekarang dia berada tepat di pinggir ranjang. Kalau si pemabuk itu maju lagi oh, lebih baik dia jatuh ke bawah dan mati.

"Bergulinglah terus sampai ke bawah," ejek si pemabuk.

"Kau toh tidak akan pingsan. Ranjang ini cuma semeter tingginya. Hahaha" Dan dia bangkit lalu pelan-pelan maju...

 Hahaha" Dan dia bangkit lalu pelan-pelan maju

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

cr.pinterest

TIGA hari kemudian semua pemberitaan di media cetak maupun elektronik menampilkan headline yang sama" Sebuah Pesta Amoral Di Gerebek!! Anak Sulung TUAN W Memperkosa Mahasiswa Kedokteran!!" Atau "Putra Seorang Taipan Tertangkap Basah Memakai obat-obatan Terlarang. Atau Pengedarkah??"

Itu cuma sebagian dari headline-headline yang dapat dibaca. Tuan Wang, yang dimaksud oleh berita-berita itu, pagi-pagi sudah memerintahkan asistennya untuk memblokir semua pemberitaan yang beredar. Diulangnya membaca berita yang menakutkan itu. Anaknya, bernama WYB, telah ditahan polisi karena tuduhan menganiaya dan memperkosa pemuda XZ.

Mengapa tidak sekalian ditulis Wang Yibo, dan bukan WYB. Mengapa tidak ditulis Tuan Wang Han, dan bukan Tuan W. Sekalian. Sekalian. Biar pecah kepalaku. Tulis sekalian: aku ini importir gede, ngajar anak tidak bisa! !! Mengapa tidak sekalian ditulis begitu? Mengapa tidak sekalian dibilang: inilah akibat perceraian orang tua! Inilah akibatnya bila istri tidak mau menjadi ibu! Inilah dosamu! Kata Tuan Wang dalam hati, mengutuk istrinya yang lari. Sejak dia kecil, kau tidak pernah mengasuhnya. Dibantingnya koran di tangannya ke atas meja kerjanya, lalu disandarkannya punggungnya yang penat-penat itu sambil tengadah mengisap rokok.

Di ruang pelupuk matanya serasa masih jelas terbayang semua itu. Ketika itu Talu baru saja dua tahun. Bersama kakaknya, Yibo, mereka merupakan anak-anak yang nakal, yang periang, yang sehat-sehat, yang seperti anak-anak lain.

Tuan Wang merasa keluarganya bahagia. Itulah ketololannya. Dia pulang pukul sebelas malam dan mendapati seisi rumah sudah tidur. Pembantu yang berjingkat-jingkat berjalan hilir-mudik menyediakan makanan, disuruhnya tidur karena dia sudah makan di luar. Setelah membuka baju, dia pergi tidur sendiri di kamar kerjanya,karena di samping istrinya sudah tak ada tempat. Kedua anaknya berbaring di sana. Tuan Wang tersenyum sendiri. Terbayang olehnya bagaimana Talu selalu menumpangkan sebelah kakinya ke atas muka kakaknya yang tidur terus seperti anak babi.

Ssst, Talu, kau menyepak kakakmu, bisiknya lalu dipindahkannya kakinya.

Pagi hari, mereka serumah cuma sempat bertemu satu-dua jam di meja makan. Talu dibiarkan ibunya duduk di situ dengan muka kusut, sedang Yibo biasanya sudah mandi.

Ah, betapa bahagia sangkanya hidup mereka ketika itu. Dan dia salah. Mereka sama sekali tidak bahagia. Dia terlalu sibuk dengan barang-barang impornya, dan istrinya yang cantik serta kesepian itu sibuk dengan bedak-bedaknya. Anak-anak cuma sibuk paling-paling dengan game-game keluaran terbaru.

Suatu hari dia pulang siang-siang dan mendapati istrinya pergi. Pergi? Ya, pergi, kata pembantu. Kapan? Tadi pagi. Selalu pergi? Selalu. Selalu? Hampir tiap hari. Hampir tiap hari. Hampir tiap hari. Ya. Ya. Sedan hitam. Fiat putih. Taksi. Bus, barangkali. Ya. Ya. Aku mau dijadikan banci? Aku ditertawakan istriku? Aku dijadikan target kegilaannya? Aku akan perlihatkan, siapa Wang Han! Aku akan ajar dia kesopanan.

Itulah permulannya. Dia beri ultimatum. Dan istrinya cuma tertawa. Dia ulang ultimatumnya. Perempuan itu makin geli. Satu kali. Dua kali. Berulang-ulang ada ultimatum terakhir, perempuan itu lari. Dia kalah. Anak-anaknya jatuh ke dalam pelukan pembantu-pembantu, yang berganti-ganti hampir tiap tahun.

Tuan Wang menghela napas. Mungkin lebih baik bila dia dulu menutup mata dan berpura-pura tidak tahu semua tingkah istrinya. Mungkin dengan begitu dia takkan lari. Tapi dia tidak yakin apakah itu mungkin. Seorang besar seperti dia dengan darah selalu mendidih, yang amat biasa menempeleng bawahan!!! Dapatkah dia membiarkan dirinya dijadikan bahan tertawaan? Tidak! Tidak mungkin dia menyesal telah tidak menjemput istrinya yang lari itu. Dengan tabah dia telah melupakan kepahitannya dan memusatkan tenaga serta pikirannya untuk memupuk kekayaan. Dan hasilnya? Hasilnya??

Satu anak dalam penjara

Wang Yibo.. Kebanggannya.. Harapannya..

❤❤❤❤❤❤❤❤❤

Tbc

XIAO ZHANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang