5

856 84 2
                                    

Cr pinterest

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Cr pinterest

Xiao Zhan sedang duduk di loteng, membaca diktat penyakit jantung di jendela kamarnya. Hari sudah sore. Pemuda itu baru saja mandi. Kamarnya masih berbau sabun mandi. Sore itu dikenakannya kaos longgar putih. Rambutnya masih basah.

Xiao Zhan memang manis dan menawan hati. Entah sudah berapa lama diktat itu dikeluarkannya dari koper. Mungkin tiga hari. Mungkin lima hari. Tapi sehalaman pun belum habis dibacanya. Tiap sebaris kalimat selesai, ditopangnya sikunya ke jendela lalu memandangi orang-orang di bawah sambil menghela napas.

"Oh, Bunda," bisiknya sambil memegang perutnya,

"mengapa perut saya bertambah besar? Dan saya tidak dapat kuliah lagi. Saya tidak dapat ke mana-mana. Saya harus menyembunyikan diri. Oh, Bunda!" Air matanya berlinang-linang.

"Mengapa engkau biarkan hal ini terjadi padaku? Mengapa? Bagaimana harus saya katakan pada Jingyu?"

Jingyu menghantui pikirannya terus-menerus. Seminggu yang lalu sudah dibacanya e-mail yang kedua. Yang pertama tidak dibalasnya dan tunangannya menanyakan.

Zhan menjadi resah dan gelisah. Sangka ibunya, Zhan malu. Karena itu dikirimnya pemuda itu ke rumah bibinya di Shanghai.

Bibinya tinggal berdua dengan pamannya. Mereka tidak punya anak dan rumah mereka yang besar itu jarang didatangi tamu. Zhan awalnya tidak mau pergi. Namun akhirnya setuju juga, setelah diperbolehkan mengangkut buku-buku dan diktatnya sekoper penuh.

Dia selalu bermimpi akan menjadi dokter. Sejak kecil, ketika masih duduk di kelas satu Sekolah Dasar, dia sudah tahu: dia ingin menjadi dokter.

Tetapi sekarang, dia cuma berhasil mencapai tingkat tiga. Keluar karena hamil! Oh! Betapa memalukan!

Tidak! Aku akan bertahan. Siapa tahu, siapa tahu aku keguguran! Aku tidak akan menggugurkannya. Tuhanku, tapi... siapa tahu... abortus itu terjadi dengan sendirinya. Tuhan maha pengasih. Dia mengerti, aku sama sekali tidak mengharapkan kedatangan bayi. Meskipun aku amat mencintai Jingyu dan berharap akan menikah dengannya dan kemudian menjadi ibu.

Xiao Zhan menghela napas, Mungkin juga anak itu akan lahir muda dan... dan... mati... Xiao Zhan menggigil membayangkan bayi serupa monyet yang mati karena kemudaan lahir. Dirabanya perutnya, aku tidak mau dia mati.

Tapi kalau dia akan menjadi penghalang studi ini? Apakah aku akan terpaksa memberikannya pada orang lain? Atau meninggalkannya begitu saja di panti asuhan? Atau memberikannya pada Ibu dan mengakuinya sebagai adik? Bila dia sudah besar, akan jadi apakah dia? Samakah jahatnya seperti... seperti... Wang Yibo... ah, namanya cukup bagus!

Zhan teringat kembali akan malam itu dan kamar itu dan bila anak itu bertanya siapa ayahnya...

Nama siapa yang harus disebutnya ah, tidak! Aku tidak ingin anakku tidak berayah! Aku tidak mau hamil! Aku tidak mau pemabuk gila itu menghantui hidupku.

Dan mulailah dia berdoa kepada Bunda Maria dengan gelisah dan tulus hati.

Xiao Zhan menghela napas. Matanya dilayangkannya ke bawah. Sebuah motor sport merah menderu pelan-pelan. Seorang tukang roti berjalan pelan-pelan meneriakkan dagangannya. Tukang kacang rebus sudah pula lewat. Ah hampir pukul enam, pikir pemuda itu.

Seketika dia sadar, bunyi motor itu terlalu lekas lenyap. Dia menoleh ke belakang. Syyrrtt! Darahnya naik ke kapala. Motor itu berhenti di depan rumah dan bibinya tengah menyilakan pengemudinya masuk.

Xiao Zhan segera berdiri dari kursi dan menjulurkan kepalanya ke bawah. Salahkah dia? Tidak! Orang itu benar Wang Yibo!!! Dan Bibi telah menyilakan dia masuk!

Zhan memejamkan matanya. Sambil menghela napas dia menjatuhkan diri kembali ke atas kursi. Dengan berdebar-debar dinantikannya suara kaki Bibi menaiki anak tangga satu demi satu. Dan tentu Bibi akan berkata,

"Zhan, ada temanmu datang!"

Temanmu! Bibi tidak tahu?! Mengapa saya jadi begini? Teman? Temankah namanya bila orang itu membuat kita menderita? Bila orang itu menghina dan memalukan kita? Bila orang itu memper... Apa maksudnya datang? Dari mana dia tahu aku di sini?

Xiao Zhan menghela napas. Apa yang harus kuperbuat? Memakinya? Menamparnya? Bunda, bisiknya dalam hati.

Jangan biarkan aku menamparnya. Anakku tidak akan menyukai hal itu. Betapa jahat pun dia, orang itu adalah ayah anakku. Meskipun aku mungkin sangat membencinya....

Di bawah terdengar suara langkah Bibi yang perlahan-lahan. Xiao Zhan memicingkan kelopak matanya seerat eratnya dan menahan napas. Bibi melangkah dengan amat hati-hati.

Tiba-tiba pemuda itu bangkit dan menghampiri tempat tidurnya Dengan cepat dia masuk ke dalam selimut dan berpura-pura tidur.

"Zhan," seru bibinya seraya mengetuk pintu dan ketika didapatinya pintu tidak terkunci, didorongnya segera.

"Zhan," bisik bibinya ketika dilihatnya pemuda itu tidur.

"Zhan, hei... bangun. Ada temanmu di bawah. Zhan... pacarmu datang."

Xiao Zhan membuka matanya. Bibi tersenyum melihat pemuda itu mencibir. Memang anak jaman sekarang suka berpura-pura enggan, pikirnya.

"Ayo turun."

"Malas" sahut Zhan dengan sebal.

"Ayo. Jangan berpura-pura. Kau kira Bibi dulu tidak muda?!" Bibinya tertawa gelak-gelak.

"Dulu, bila pamanmu datang, Bibi suka pura-pura sakit ini, sakit itu, sebagai alasan supaya tidak usah keluar kamar. Padahal hati, cuma Tuhan yang tahu. Ayo, anak sekarang tidak lagi seperti dulu... keluarlah." Zhan sangat jengkel. Sudah orang itu yang mencelakakan dia, masih dianggap Bibi-pacarnya!

"Kenapa tidak Bibi katakan saya tidak ada? Bukankah Bibi tahu, saya tidak mau menemui siapa pun?"

"Ya, tapi, ini kan pacarmu," kata Bibi, masih tersenyum.

"Dari mana Bibi tahu, dia pacar saya?" seru Zhan dengan berang.

"Karena," kata Bibi sambil menatapnya,
"bila dia bukan teman istimewamu, masa dia tahu kau ada di sini?"

Xiao Zhan diam. Lalu duduk di atas kasur memeluk lututnya.

"Ah, kepala saya pusing," katanya menggaruk-garuk kepalanya. Dia tahu, tidak mungkin mengatakan hal yang sesungguhnya sekarang.

"Barangkali bukan pacar saya," bantah Zhan lalu,

"bagaimana rupanya?"

"Begini," kata Bibi sambil tertawa menunjukkan jempolnya.

"Begini bagaimana?" Tiba-tiba Zhan ingin tahu pendapat bibinya mengenai Wang Yibo.

"Tampan. Sopan. Bertampang jujur. Sederhana. Cerdas. Gagah. Dan kelihatannya baik hati."

"Huh!" Zhan menghela napas panjang.

"Sungguh saya sakit kepala, Bi. Saya tidak bisa turun."

"Atau Bibi suruh dia naik? Kalian boleh berbicara di atas tangga." Zhan menggeleng.

"Saya tidak mau menemui dia."

Sekarang Bibi tampak sungguh-sungguh,
"Ayo, Zhan. Berbuatlah seperti anak yang baik. Kau tahu dia datang mencarimu. Ayo." Ditariknya selimut pemuda itu.

"Katakan besok. Besok saja datang. Besok saya turun."

Bibinya hampir tertawa melihat kelakuan Xiao Zhan.

"Tawar-menawar, hm? Baiklah. Asal besok kau jaga agar sakit kepalamu sudah hilang!"

Ketika Bibi sudah turun, Xiao Zhan menelungkup di bawah bantal dan menangis.

❤❤❤❤❤❤

Tbc

Kepanjangan. Next chapter

XIAO ZHANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang