Bagian 18

678 21 0
                                    

"Iiih !! Ustadz Hamzah !!" Teriak Zahra, sedangkan suaminya itu hanya tertawa puas.

"Shhut ! Zahra, jangan teriak teriak dong."

"Iya iya, maaf. Lagian nyebelin banget jadi orang. Sebelas dua belas sama Mbak Tsabin." Ucap Zahra lalu kembali mengambil ponselnya.

"Oh iya, ngomong ngomong soal ning Tsabina, kok tadi jawaban kamu gitu sih ke dia. Kasihan kan dia, nanti kalo dia tersinggung gimana, atau ada keluarga kamu yang lain dengar gimana."

"Hahaha..." tawa Zahra terdengar meledek. "Makin bagus malah, kalo dia tersinggung."

"Zahra." Peringat Hamzah.

"Iya iya, nggak kok. Kita udah dari kecil hobi berantem berdua."

"Kenapa ?"

"Ceritanya panjang, yakin mau dengerin ?"

Hamzah mengangguk. "Cerita aja, saya dengerin. Katanya biar kenalan." Kata Hamzah sambil tersenyum.

Zahra balik menatapnya memincing. "Hmmh. Gayanya ngomong biar kenalan, emangnya kita kenal baru ini ?" Hamzah tertawa kecil mendengar pernyataan Zahra.

"Ya udah, Zahra cerita." Zahra pun menceritakan semua perihal penyebab tidak akur nya dirinya dengan Tsabina.

"Masa sih, orang kaya ning Tsabina kaya gitu, kalo dari kelihatannya dia baik kok." Kata Hamzah setelah Zahra selesai menjelaskan.

"Ya, itu sebabnya dari dulu semua orang tua selalu bilang bahwa kita nggak boleh nilai seseorang cuma dari penampilannya." Hamzah mengangguk mengerti.

"Tapi ustadz, kayanya semenjak mbak Zulfa nggak ada dia udah mulai banyak berubah deh. Dia lebih sabar, lebih sayang, terus juga nggak cemburuan kalo mas Nizam deket sama aku, ya gitu lah pokoknya."

Hamzah mengangguk mengerti. "Gus Nizam itu ?" Hamzah mengingat ingat tentang nama yang tadi disebutkan oleh Zahra barusan, sepertinya namanya nggak asing, tapi Hamzah lupa

"Adiknya Mbak Tsabina." Jawab Zahra, Hamzah hanya membulatkan mulutnya sambil mengangguk anggukan kepalanya.

"Aku sama mas Nizam itu deket banget, sama kaya aku kalo lagi sama mas Ali, mas Nail, atau mas Nafis. Jadi ustadz Hamzah juga harus bisa deket sama mas Nizam, dia baik kok, orangnya humble banget sama kaya aku."

"Iya, besok saya kenalan sama gus Nizam." Zahra mengangguk senang.

"Ya udah sekarang kan udah malem, kamu istirahat gih, biar nggak kecapekan, terus juga biar besok bangunnya nggak telat. Kan besok mau pulang kerumah."

"Oke, Ustadz tidur duluan aja, nanti Zahra nyusul." Saat Zahra hendak mengambil ponselnya dengan cepat Hamzah sudah menyahutnya duluan dari atas bantal.

"Nggak, nggak ada main hp malem malem. Langsung tidur, SEKARANG." Katanya menekan kata akhirnya.

"Yaaah... ustadz Hamzah mah.. udah kaya Abi aja." Ucap Zahra yang sudah bersungut sungut.

"Udah tau sama abi nggak boleh, berarti sama saya juga nggak boleh. Udah ya, tidur Zahra."

"Zahra bukan anak kecil tau !" Zahra mencoba merebut kembali ponselnya di tangan Hamzah. Namun tangan Hamzah lebih cepat untuk menghindar.

"Ya makanya, kalo udah gede berarti harusnya lebih nurut dong."

"Iiihh !! USTADZ HAMZAH NYEBELIN !!" Zahra mendengar kesal lalu membalikkan tubuhnya, berbaring menunggangi Hamzah yang masih dengan posisi duduknya.

Hamzah tersenyum kecil, lalu menggeleng gelengkan kepalanya sambil salting gemas sendiri. Sepertinya ia akan mulai terbiasa dengan sikap Zahra yang terkadang seperti anak kecil ini.

Assalamualaikum Calon Istri_MUMC [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang