Bagian 13

618 28 0
                                    

Sekarang...

Hunna membuka matanya perlahan, ia mengerjapkan matanya beberapa kali berharap agar bisa melihat lebih jelas apa yang dihadapan nya, namun sejauh matanya beredar tetap saja hanya ada warna putih yang bisa terlihat jelas. Warna putih dengan medan yang sangat luas, udara sekitarnya terasa dingin namun tubuhnya merasa hangat, ada bau obat obatan yang sangat menyengat.

"Nak, Zahra ? Alhamdulillah kamu udah sadar sayang ?" Ucap seorang pria dengan usia sekitar 50-60 an. Mengusap lembut kepalanya dengan penuh kasih sayang.

"Abi ?" Ucap Hunna lemah.

"Iya sayang abi disini." Ucap gus Hanif dengan sangat amat lembut, sambil mengusap usap wajahnya. "Gimana keadaan kamu, apa yang sakit sayang ?"

"Zahra nggak papa kok abi." Jawab Hunna lagi. Ia melihat wajah abinya yang terlihat sayu, lelah, dan sedikit ada air di matanya. Hunna mencoba memulihkan kesadarannya dan mengingat apa yang telah terjadi padanya kemarin. "Abi ? Abi, kok abi disini ? Zahra lagi ada dimana ?"

"Kamu nggak ingat nak ?"

Hunna menggeleng bingung. "Zahra kan kemarin masih di pondok ? Terus kenapa sekarang udah sama Abi disini."

"Kamu di rumah sakit sayang, udah nggak usah dipikirin sekarang, nanti aja."

"Aaah.. Abi, bilang dulu Zahra kenapa ?"

"Nggak papa nak, kamu istirahat aja ya ?"

"Abii..." rengek Hunna karena Abi nya tidak mau menjawab pertanyaan nya.

"Eh eh eeeh... baru bangun udah mau ngambek ngambek aja sama abinya ?" Ucap seseorang yang Hunna kenal ia adalah kakak tertuanya, muncul dari ambang pintu.

"Mas Ali ?"

Ali tak menjawab kata kata Hunna. Ia langsung duduk di samping bangkar rumah sakit Hunna, sambil membelai kepala Hunna yang tertutup kerudung bergo berwarna tosca. Dan disitulah Hunna baru ngeh ternyata ada selang oksigen yang terletak di hidungnya, dan melingkari kepalanya.

"Kenapa Zahra pakai ini ?" Hunna menunjuk selang itu.

"Disuruh dokter, katanya biar cepet sembuh." Alasan gus Ali sambil meraih tangan Hunna agar tidak terus terusan memegang selang oksigen itu. Hunna mengendus kesal.

"Gimana keadaan kamu dek ?"

"Zahra nggak papa."

"Nasih pusing nggak ?"

"Nggak."

Kini giliran gus Ali mendengus kesal, adik nya yang satu ini selalu saja seperti itu. Apa pun yang terjadi, separah apapun, sesakit apapun. Ia akan tetap mengucapkan 'aku nggak papa kok' pada semua kalimatnya.

"Ya udah ayo ini makan dulu. Mas bawain kamu bubur ayam buatan mbak Alya, makan ya ?" Kata gus Ali dengan senyum tulusnya.

Zahra menatap abinya dengan wajah memelas. "Yaah... abi ?"

Gus Hanif tersenyum melihat tingkah putri ter akhirnya itu yang sangat menggemaskan "kenapa ? Kan bubur itu enak."

"Aaa Zahra nggak mau, kan Zahra nggak suka bubur." Zahra terus merengek.

"Tapi kan sama dokternya cuma boleh makan bubur." Gus Hanif masih memaksa.

"Abii..."

"Assalamualaikum ?" Ucap seseorang dari balik pintu.

"Waalaikumsalam." Ucap ketiganya serentak.

Zahra tersenyum lebar saat mengetahui bahwa orang itu adalah kakak keduanya, orang yang paling dekat dengannya setelah Zulfa dan Abi. "Dek Zahra udah bangun ? Udah makan belum ?"

Assalamualaikum Calon Istri_MUMC [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang