12 (mimpi buruk)

7.5K 411 9
                                        

Argo membawa Fano ke ruangan tanpa ada komentar dari karyawan yang melihatnya. Argo mengelus punggung Fano, membiarkannya tertidur lelap. Setelah itu, Argo menidurkan Fano di kamar sebelah ruangan kerjanya.

Setelah memastikan Fano tidur, Argo keluar dari kamar untuk melanjutkan pekerjaan yang tertunda. Namun, tiba-tiba Argo teringat akan wajah datar Fano yang membuat salah satu karyawan tak berani berkutik.

"Garis keturunan Jovetic memang tak bisa diragukan lagi. Stefano Mahardika Jovetic akan menjadi mafia terkenal di masa depan," ucap Argo, merenung.

Pintu ruangan terbuka, dan Stevan masuk bersama tangan kanannya. Stevan meletakkan berkas di meja Argo, yang hanya memberikan dengusan kesal.

"Papa dengar adikmu mau bunuh salah satu karyawan?" tanya Stevan, penasaran.

"Aura adik tadi benar-benar mirip kita semua saat marah," jawab Argo sambil menatap Stevan, ragu dengan kata-katanya selanjutnya. "Adik akan terjun ke dunia bawah seperti aku dan Rimba, pah?" tanya Argo, tak dapat menahan rasa ingin tahunya.

"Papa melarangnya," jawab Stevan tegas.

"Kenapa?" tanya Argo, merasa penasaran.

"Dulu kehidupan adikmu sudah sangat keras, Argo. Mama sudah mengatakan bisa memaklumi kau dan Rimba terjun ke dunia bawah, kecuali Fano. Dia masih terlalu muda untuk melihat kekejaman dunia mafia," ucap Stevan, menjelaskan.

"Ck, aku saja umur 10 tahun sudah membunuh orang!" kesal Argo, mengingat masa lalu yang kelam.

"Kau punya alter ego yang sangat merepotkan, Argo. Dan sejak saat itu, papa harus bisa mengontrol emosimu agar tidak meledak," ujar Stevan dengan nada serius.

"Adik sudah jago berkelahi, pah. Pasti bantuannya akan berguna untuk menghadapi musuh yang akan kita hadapi," kata Argo.

"Cukup kita bertiga yang menangani ini semua. Adikmu harus menjaga ibumu di rumah. Itu alasan kenapa papa melarang Fano keluyuran kemana-mana hampir setiap hari," jelas Stevan.

"Musuh lama atau baru?" tanya Argo, penasaran.

"Musuh baru. Mereka mengincar Fano karena menganggap dia kelemahan terbesar papa. Papa juga merasa dia mungkin dalang di balik penculikan Fano 10 tahun yang lalu. Papa sempat lihat ada bekas luka di punggung Fano," kata Stevan, mengingat.

"Luka cambukan itu," ujar Argo, mengenali apa yang dimaksud Stevan.

"Siksaan para penculik pasti sangat menyakitkan bagi anak berumur 10 tahun. Papa sering mendengar rintihan kesakitan Fano saat tidur. Penyebab Fano amnesia pasti benturan sangat keras di kepala," ucap Stevan, dengan nada penuh penyesalan.

"Adek tidur di kamar," ucap Argo, menunjukkan ketenangan meski banyak yang dipikirkannya.

"Meeting kali ini kau yang handle, papa mau istirahat bersama adikmu," kata Stevan, lalu tersenyum.

"Ck, bilang saja sih mau dekat terus sama adik!" gerutu Argo, mencoba menyembunyikan rasa jengkelnya.

"Jealous, hah?!" ledek Stevan dengan tawa.

"Tidak!" jawab Argo, dengan tegas.

Argo keluar dari ruangan dengan cepat, lebih memilih meeting panjang daripada mendengar ledekan dari Stevan. Stevan tersenyum dan masuk ke kamar tempat Fano beristirahat.

Stevan membenarkan selimut yang berantakan, terutama karena seragam sekolah Fano sudah kusut. Dia tersenyum melihat wajah damai Fano dalam tidur. Stevan berencana memeluk Fano, tetapi Fano malah membalikkan tubuhnya, seolah tahu apa yang akan dilakukan ayahnya.

"Sedang tidur, tapi tahu saja kalau papa ingin memelukmu," ucap Stevan, tersenyum lembut.

Stevan merasa sulit memeluk Fano, entah saat sadar ataupun tidur. Fano selalu menghindar, kecuali jika Fano sendiri yang menghampiri dan meminta untuk digendong.

Stefano Mahardika (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang