Pukul berapa sekarang?
Atreo terduduk di sudut ruang bawah tanah yang sepi dan gelap dengan dua kruk yang tergeletak sembarangan di kanan kirinya. Kepalanya tersandar lemas di sudut pertemuan dua dinding yang saling tegak lurus. Air matanya meleleh ke pipi, membasahi lehernya, dan bercampur dengan bintik-bintik keringat di sana. Netranya memandangi langit-langit yang gelap dengan tatapan hampa, sendirinya tidak yakin sejak kapan mengeluarkan air mata yang mengguratkan sungai-sungai di kedua pipinya.
Kenapa pula Atreo menangis? Padahal sudah lama sekali sejak ia terakhir kali menangis. Sudah tiga tahun berlalu ketika ia meraung-raung saat menyadari Akra telah pergi. Dia menangis hingga suaranya habis saat itu, mengamuk hingga tenaganya terkuras dan tubuhnya terkulai lemas.
Ah, tunggu, Atreo juga pernah menangis di Acacio Academy, saat ujian masuk jurusan. Hipnosis sialan dari darah monster hewan saat itu membuat traumanya terbangkitkan. Malu sekali mengingatnya, karena saat terbangun, tahu-tahu Atreo ada di pangkuan Jaac dan wajah pemuda itulah yang pertama dilihatnya ketika membuka mata. Ewww, menjijikkan.
Padahal, tiga bulan lalu, memori terakhir yang Atreo miliki tentang kakak laki-lakinya masih menjadi trauma yang membuatnya tantrum sedemikian rupa. Namun, saat ini, kenangan itu justru dengan segar terputar di kepala Atreo. Meski masih merasakan kesedihan yang tak terucapkan, tetapi Atreo tidak lagi merasakan amarah dan kebencian. Lebih dari apapun, Atreo hanya merasa dikhianati.
Akra tidak pernah berkata bahwa ia akan keluar dari atmosfer menggantikan kembarannya. Selama berbulan-bulan, Atreo menguatkan diri untuk melepaskan Rakea. Andai kata hari itu ia tidak mencuri dengar Rakea yang menenangkan kedua orang tuanya sembari menahan tangisnyna sendiri, Atreo tidak akan tahu Akra telah pergi.
Orang yang pernah menjadi ayah, ibu, dan kakak perempuannya tidak pernah menjelaskan apapun pada Atreo. Akra bahkan dengan teganya meninggal tanpa mengucapkan selamat tinggal. Atreo yang kehilangan akal, nekat keluar atmosfer tanpa persiapan. Namun, saat berhasil menyusul kakaknya, sosok itu telah tergeletak tanpa nyawa.
Tidak ada sakit hati yang melebihi rasa sakit yang Atreo rasakan saat itu. Meski sekarang Atreo tidak lagi merasa marah dan benci, tetapi hati kecilnya masih terus menuntut jawaban. Kenapa tidak ada seorang pun yang memberi tahu Atreo dan merasa perlu melibatkannya selama ini?
Keputusan Akra saat itu bukanlah keputusan mudah, tetapi tidak ada yang merasa bahwa pendapat dan opini Atreo diperlukan. Tidak ada yang merasa bahwa perasaannya perlu dipertimbangkan. Atreo merasa asing di antara orang-orang yang ia kira adalah keluarganya, karena itulah Atreo memutuskan untuk membuang mereka.
Pemuda itu memejamkan matanya yang perlahan terasa sangat perih. Ia mengembuskan napas berat meluruhkan segala pikiran yang memberatkan kepala, mengurai kembali memori untuk mencari alasan kenapa ia menangis hari ini.
Ah, benar juga. Atreo menangis karena menyadari ia telah gagal.
Para pemuda yang tidak ia ingat namanya memang berhasil memahami dan menerapkan apa yang ia ajarkan selama seminggu terakhir. Mereka bisa mengawasi atmosfer dan mengambil keputusan kapan harus membuat hujan, panas, dan berawan. Yang bertugas mengurus pembongkaran alat pembentuk atmosfer buatan yang lama juga sudah bisa melanjutkan pekerjaan itu secara mandiri. Berbekal pengetahuan dasar terpenting yang telah Atreo sampaikan, pemuda-pemuda itu bisa secara perlahan otodidak belajar dengan membaca catatan-catatan dan buku-buku di perpustakaan Akra dulu.
Para bapak dan ibu juga berhasil menyelesaikan perakitan monitor dengan cukup sukses. Tinggal dihubungan dengan sinyal yang akan terbentuk ketika alat pembangun sinyal Atreo ia pasangkan ke salah satu tiang survival di kota utama, maka monitor itu akan bisa menyala.
KAMU SEDANG MEMBACA
[Aku] Tentara Langit
FantasyLangit Acacio tidak terasa lengang tanpa kehadiran mereka. Bumi pun tidak merasa tersanjung atas kedatangan kembali mereka. Bahkan tidak banyak yang menyadari bagaimana mereka menghilang dan kembali selain yang memang peduli. Tapi satu hal yang sama...