"Keputusanku sudah bulat, Karo."
Sosok sepuh di hadapan Zeeb menghela napas berat. Rambutnya yang panjang telah memutih, beserta pula jenggot panjangnya. Kelopak matanya yang berat membuatnya hanya dapat membuka mata dengan sipit. Usianya sudah tidak dapat dihitung dengan jumlah purnama saking banyaknya.
Selesai merenung di hutan bersama Ao sore tadi, Zeeb kembali ke perkampungan dengan menaiki punggungnya yang semakin tegas dan lebar. Memutuskan untuk tidak menemui keluarganya dengan hati berat oleh masalah yang belum diselesaikan, Zeeb memilih untuk langsung menuju tenda Karo Sang Kepala Perkampungan.
"Selain berbagai alasan yang telah kamu paparkan, adakah hal lain yang menjadi alasan pribadimu, Zeeb?"
Karo tampaknya sudah hampir menyerah dengan suaranya yang kini tidak lagi terisi oleh semangat juang.
"Aku ingin berkelana, Karo," jawab Zeeb setelah ia menimbang. Dia pikir, Karo akan terkejut dan marah, menganggap Zeeb mengkhianati perkampungan—meski Zeeb tidak bisa membayangkan bagaimana seorang Karo bisa marah. Namun nyatanya, kakek itu justru hanya tersentak sesaat sebelum kemudian terkekeh puas.
"Kau memang sungguh-sungguh putri dari bapakmu. Buah jatuh tak jauh dari pohonnya," ucap Karo di sela tawanya.
Zeeb mengernyit. Apakah bapaknya dulu juga ingin berkelana?
Karo terbatuk-batuk karena terkekeh terlalu lama, mungkin untuk sesaat lupa usia. Dia mengembuskan napas sembari mengusap air matanya yang berair.
"Bapakmu dulu juga sangat ingin mengembara, Zeeb. Semasa dia muda, ah ... ini mungkin cerita yang sudah sering kamu dengar dari warga perkampungan lain, tentang betapa nakal dan bebalnya Bapakmu semasa muda. Bahkan setelah menikah pun, wataknya tak kunjung berubah." Karo menatap api yang memakan kayu bakar di dalam tenda. Tidak terlalu besar, hanya cukup untuk menghangatkan tubuh tuanya yang semakin senja.
"Tapi, Zeeb, kau tahu? Bapakmu langsung kembali setelah beberapa bulan mencoba berkelana. Persis seperti apa yang terjadi padamu sekarang. Aku tidak tahu apa yang dia temui di luar sana. Yang jelas, perkampungan ini adalah rumah kalian, Zeeb. Mau pergi ke mana kalian dari rumah ini?"
Zeeb menelan ludah, kemudian menggeleng. Dengan berbagai informasi yang dia tahu, dengan segenap kemampuannya setelah belajar beberapa waktu terakhir, Zeeb tahu betul apa yang telah terjadi pada bapaknya meski tidak pernah benar-benar tahu apa yang sebenarnya terjadi.
"Aku berbeda dengan bapakku, Karo. Dan lagipula, bapak kembali karena ia telah merasa cukup. Tapi, seperti kataku. Kami berbeda. Cukupku tidak sama dengan cukup bapakku," kata Zeeb.
Karo menatap Zeeb lamat-lamat. "Kalian memang orang yang berbeda, Zeeb. Tapi, darah bapakmu yang mengalir di tubuhmu tidak bisa membohongi siapapun."
Zeeb mengembuskan napas. "Aku tetap pada keputusanku. Seperti yang kau katakan, Karo. Perkampungan ini adalah rumahku, rumah kami. Dan kami akan selalu kembali ke rumah kami. Karena itu, sekali lagi, aku menegaskan jika aku tidak akan mengubah keputusanku untuk tidak mengambil posisi sebagai kepala kampong, dan berkelana untuk memuaskan rasaku yang belum cukup."
Karo tampaknya sudah kehabisan tenaga menghadapi kepala batu Zeeb selama berjam-jam terakhir. Ia menghela napas dengan berat sekali lagi sebelum mempersilakan Zeeb pulang karena malam semakin beranjak petang.
Perempuan itu dengan senang hati undur diri. Baru saja ia menghirup dengan lega udara segar sekeluarnya dari tenda Karo, suara familiar meneriakinya seolah sudah menunggunya sejak lama.
"ZEEBB!!!"
|°|°|
KAMU SEDANG MEMBACA
[Aku] Tentara Langit
FantasyLangit Acacio tidak terasa lengang tanpa kehadiran mereka. Bumi pun tidak merasa tersanjung atas kedatangan kembali mereka. Bahkan tidak banyak yang menyadari bagaimana mereka menghilang dan kembali selain yang memang peduli. Tapi satu hal yang sama...