Hanya tiga bulan Aalisha menghilang.
Entah apakah waktu berjalan berbeda di antara dua dunia, atau Aalisha dipulangkan dengan waktu yang dipotong setengah sehingga ia tidak ketinggalan kehidupan di dunia aslinya terlalu banyak. Aalisha tidak sempat memikirkan alasannya.
Tiga bulan ternyata tetap waktu yang sangat lama jika melihat banyaknya kejadian yang telah Aalisha lewatkan.
Malam itu, tiga bulan lalu, pertempuran melawan perompak asing yang membunuh gagak milik Kapten berujung pada kekalahan. Banyak sekali anggota kapal yang hilang ditelan lautan. Beberapa yang bisa diselamatkan, dibawa oleh yang tersisa untuk melarikan diri dan bersembunyi di gua ini. Mereka dikubur di hutan diam-diam ketika malam tiba. Namun, banyaknya orang yang terluka membuat korban terus bertambah seiring berjalannya waktu.
Kapten adalah salah satu dari orang-orang terluka itu. Ia telah pergi tiga hari lalu setelah beberapa lama tidak mampu untuk berdiri lagi. Bersama beberapa jasad lain, tubuh Kapten belum dikebumikan karena Airin menolak untuk melepaskan Kapten.
Perompak asing itu menguasai desa pelabuhan. Mereka menjarah penduduk yang lemah dan tidak memiliki kekuatan. Perekonomian jatuh dan warga desa dalam keadaan melarat hanya dalam tiga bulan. Siang dan malam sama saja, tidak ada kehidupan. Mereka memilih untuk meringkuk dalam rumah daripada keluar dan menjadi bulan-bulanan para perompak yang menghabiskan waktu untuk mabuk-mabukkan. Tidak ada pesan yang bisa diantarkan ke kerajaan untuk meminta bantuan. Akses menuju pelabuhan juga ditutup sehingga tidak ada pendatang dari luar desa. Tidak ada yang tahu keadaan terkini desa ini, apalagi menyelamatkannya.
Malam dengan bintang-bintang yang menggantung bertemu dengan lautan di garis cakrawala. Semilir angin mengibarkan rambut Aalisha yang kini duduk di mulut gua, di atas tebing karang yang menghadap langsung ke tenangnya air malam lautan. Bulan setengah bersinar indah dengan pantulan yang begitu romantis di gelapnya laut malam.
Langit di tempat ini tidak seindah langit Acacio. Tetapi, tidak ada yang bisa mengalahkan perpaduan langit yang saling berhadapan dengan laut disertasi semilir angin yang menghantarkan bau asin. Pemandangan ini tetaplah nomor satu. Setidaknya, bagi Aalisha.
"Teripang."
Aalisha menoleh mengenali nama panggilan itu. Hanya ada satu orang yang memanggilnya dengan nama itu. Dan hanya ada satu perempuan lain selain dirinya di komplotan perompak mereka.
"Airin."
Perempuan itu menyunggingkan senyum lemah, berjalan hati-hati menghindari stalaktit yang cukup besar dan rapat, mendekati Aalisha yang tak bergeming.
"Bagaimana kabarmu?" tanya Aalisha.
"Beginilah," jawab Airin seadanya sembari mendudukkan diri di sebelah Aalisha.
Penampilan gadis itu cukup kacau. Saat Aalisha tiba, Airin sama sekali tidak bergerak dari tempatnya duduk bertekuk lutut dan menenggelamkan wajah, merajuk, meratapi, dan tidak mengakui kepergian Kapten. Tampaknya, seseorang berhasil menyampaikan kabar kedatangan Aalisha pada Airin yang sebegitu keras kepala, hingga gadis itu akhirnya ada di sini, bersama Aalisha.
"Aku ... Kapten ... sudah dikebumikan," ucap Airin pelan.
Aalisha menelan ludah, kemudian membuang tatapan kembali ke lautan. "Jasadnya memang sudah dibiarkan terlalu lama."
"Aku tidak bermaksud ...." Suara Airin tercekat.
"Aku tahu. Ketiadaan Kapten adalah satu hal yang memang memukul kita semua. Tapi, lebih dari itu, kau pasti ingin menunggu waktu agar Kapten bisa mendapatkan pembakaran yang layak dan dilepaskan ke lautan yang sangat ia cintai, kan?"
Ya, betapa cintanya Kaptennya itu pada lautan. Mungkin jauh melebihi rasa cinta yang Aalisha rasakan selama ini. Bahkan saat kapalnya berlabuh sekali pun, yang Kapten lakukan adalah menyelam untuk menikmati indahnya dunia bawah laut. Kapten adalah seorang fanatik yang mencintai laut dengan seluruh jiwa dan raganya.
Mungkin, selama ini, darinyalah Aalisha belajar mencintai dengan setulus hati.
Airin terisak pelan. "Kapten selalu duduk di sini selama sisa waktunya, menatap laut tanpa mengatakan apa-apa. Seolah Kapten tahu tubuhnya akan terpisahkan dari lautan setelah kematiannya. Keadaan kita memang cukup buruk. Benar-benar keajaiban Kapten memilih untuk tetap tinggal di sisi kami hingga akhir alih-alih melompat terjun untuk memeluk laut yang sangat dicintainya ini."
Dasar, Kapten. Baru Aalisha tinggalkan tiga bulan saja sudah begini. Padahal Aalisha dulu berjanji untuk selalu mengawasinya agar tidak mati lebih dulu sebelum ajal Aalisha mendekat. Padahal Aalisha selalu mengatakan untuk menjaga Kapten agar tetap hidup sehingga gelar kaptennya tidak akan dipindahtangankan pada Aalisha yang lebih nyaman menjadi bayang-bayangnya.
"Jangan khawatir," ucap Aalisha yang tak mampu menahan getaran suaranya sendiri. "Hanya jasad Kapten yang terpisah dari lautan. Aku yakin, saat ini arwahnya bergentayangan mengitari laut dan bersenang-senang."
Hening menyela di antara deburan ombak yang menabrak dinding tebing karang, membawa mereka tenggelam dalam lautan isi kepala masing-masing. Aalisha dengan segala kenangannya bersama Kapten yang kini tak lagi di sisinya, juga tentang teman-temannya yang tak terselamatkan dan tak akan lagi ia temui wajahnya.
"Selama ini kupikir kamu tewas." Airin memecah keheningan, namun tak mampu membuat Aalisha bergerak dari posisinya. "Terra melihatmu terpeleset jatuh dari geladak kapal."
"Dia tidak berbohong. Aku memang jatuh malam itu," ucap Aalisha.
"Lalu, kamu kembali? Setelah tiga bulan tenggelam di lautan? Aku sudah hampir gila ketika tahu kamu tiada dan Kapten tidak memiliki harapan lagi untuk bisa bertahan."
Aalisha menatap pantulan wajah bulan yang beriak di cerminan malam lautan.
"Keajaiban menyelamatkanku, Airin. Aku terdampar di suatu tempat yang sangat jauh, asing, dan menyembuhkan diriku di sana. Kurasa aku kembali tenggelam ke lautan saat mencoba kembali dan dibawa oleh ombak menuju ke mari."
Ya, fakta bahwa Aalisha telah lulus hanya mengartikan bahwa Aalisha telah berhasil melawan kapithumanya. Aalisha berhasil mengatasi hal paling menyakitkan bagi dirinya. Aalisha telah menyembuhkan dirinya sendiri.
Awalnya, dia tidak yakin. Namun, sekarang, gadis itu tahu betul apa yang telah mengganjal hatinya selama ini dan sadar betul bahwa ia telah berdamai dengannya. Aalisha tidak lagi memiliki penyesalan selain kenyataan bahwa ia tidak sempat mengucapkan selamat tinggal pada Zeeb, dan terlambat kembali untuk melihat saat-saat terakhir Kapten yang sudah bagaikan ayahnya sendiri.
"Bagaimana rencanamu selanjutnya?" tanya Airin. "Aezer yang selama ini bertanggung jawab atas kami. Tapi, karena sekarang kamu telah kembali, posisi kapten adalah milikmu."
Aalisha menunduk, menatap kedua kakinya sendiri.
"Kau tahu, aku tidak menyukainya," bisik gadis itu.
"Kapten memilihmu bukan tanpa alasan. Kau lebih dari mampu, hanya saja kau terlalu merendahkan dirimu selama ini. Aezer memang tenang dan bijaksana, tetapi dia tidak bisa mengambil keputusan. Aezer tidak bisa memimpin kami."
Aalisha tidak bergeming. Ia merasa terlalu muda untuk memimpin. Umurnya masih enam belas tahun, baru akan beranjak tujuh belas. Terlalu belia dibanding mereka yang telah banyak merasakan asam garam lautan.
"Kerja bagus."
Pujian yang Zeeb lontarkan di misi terakhir mendadak terngiang di rongga kepala Aalisha. Apakah itu karena Aalisha yang memarahi anggota kelompok misi dan warga desa sebagai ungkapan perasaannya yang selama ini ia tutup-tutupi, atau karena Aalisha mengambil alih pimpinan misi dan berhasil menyelesaikannya dengan brilian, Aalisha tidak pernah tahu pasti. Yang jelas, itu adalah pertama kalinya Zeeb memuji, bahkan menghadiahkan Aalisha sebuah pedang pendek yang sangat berharga miliknya.
Ombak di lautan bergejolak ketika Aalisha menatapnya. Sebuah perasaan aneh menyelusup membuat gadis itu terpikirkan sesuatu yang sedikit tidak masuk akal. Bibirnya bergerak pelan sembari ia membisik pada angin.
Tak lama kemudian, gadis itu menoleh mantap menatap Airin.
"Aku punya rencana, tetapi kau harus menyetujui syaratku jika mau aku mengikuti keinginanmu."
°†°†°†°
KAMU SEDANG MEMBACA
[Aku] Tentara Langit
FantasyLangit Acacio tidak terasa lengang tanpa kehadiran mereka. Bumi pun tidak merasa tersanjung atas kedatangan kembali mereka. Bahkan tidak banyak yang menyadari bagaimana mereka menghilang dan kembali selain yang memang peduli. Tapi satu hal yang sama...