"Bluebird."
Sistem dalam ruangan yang Jaac kenali itu langsung menyala. Lampu-lampu biru memulai semua operasi alat elektronik dan android yang tinggal di dalamnya, layar-layar monitor mulai menunjukkan wajahnya, dan kursi kesayangan Jaac yang berpunggung tinggi muncul dari dalam lantai.
"Lama tidak berkunjung, Jaac. Kamu tampak tergesa-gesa."
Suara gadis kecil menyambut kedatangan Jaac yang memang tergesa-gesa.
Jaac benar-benar terkejut saat mendapati matahari terbenam tiba-tiba lenyap dari pandangan matanya dan dunia berubah menjadi ruangan tertutup yang begitu luas. Ia sedikit tidak mengenali tempat dia berdiri pada awalnya, sebelum dia tersadar bahwa dia ada di dekat kantin universitas. Zona itu sudah mengalami sedikit perubahan sehingga membuat Jaac butuh beberapa waktu untuk benar-benar mengenalinya.
Perpindahan, tidak, perjalanan pulang yang begitu tiba-tiba dan tanpa peringatan itu membuat Jaac merasa syok, terlebih ketika orang-orang menatap Jaac dengan bingung. Enam bulan memang bukan waktu yang sebentar, mungkin sudah banyak orang baru di gedung utama.
Satu-satunya tempat berpulang Jaac adalah ruang kerjanya. Dia kehilangan kartu akses, karena itu ia butuh waktu sedikit lama untuk menghidupkan manual sistem pindai kornea dan sidik jari agar bisa masuk ke ruangannya sendiri.
"Apa kabar Bluebird?" Jaac merangsek ke meja kerjanya, tempat keyboard-keyboard transparan masih berproses menyala bersama dengan layar-layar monitor lebar.
"Baik, tapi kami hampir karatan. Tiga bulan tidak digunakan, jadi butuh waktu sedikit lama untuk pemanasan. Sepertinya kamu benar-benar buru-buru."
Jaac berhenti bergerak tanpa sadar, terpaku sebentar atas laporan bluebird barusan.
"Tiga bulan?" tanya Jaac.
Layar-layar monitor akhirnya menyala. Jam yang terletak di tengah layar monitor utama menunjukkan pukul 17.25, sementara kalender digital di bawahnya menunjukkan waktu tiga bulan dari terakhir kali yang Jaac ingat.
"Aku menghilang selama tiga bulan?" tanya Jaac lagi.
"Ya, tiga bulan. Kemana saja kamu pergi, Jaac? Apa Profesor Tanaka menyekapmu?"
Belum sempat Jaac berpikir apakah pertanyaan Bluebird harus dijawab atau tidak, suara pintu terbuka membuatnya menoleh. Hanya ada dua orang yang bisa membuka pintu ruang kerja Jaac tanpa seijinnya, Bon dan Areta. Dan lihatlah keduanya kini tergopoh-gopoh mendekati Jaac.
"Jaac!" Areta memeluk Jaac erat-erat sementara Bon tampak berusaha meredakan napasnya yang terengah-engah. Sepertinya mereka berdua berlarian menuju ruang kerja Jaac, sama seperti Jaac sebelumnya.
"Areta, sesak!" ucap Jaac ketika pelukan Areta entah kenapa menjadi semakin kuat. Tetapi, bukannya melepaskan Jaac, lengan Areta malah mencekik lehernya.
"Menghilang ke mana saja kau selama ini, bodoh! Apa kamu tidak berpikir kalau kami bakalan khawatir?! Bahkan kalau kamu tidak mau kami menguntitmu yang lagi liburan, setidaknya katakan sesuatu dan berilah kabar!" suara Areta terdengar berapi-api di tengah isakannya.
"A ... a ... Areta, lepaskan! Aretaa!" Jaac berusaha mendorong Areta agar melepaskan tubuhnya, dan tak butuh usaha yang terlalu keras, perempuan itu terdorong mundur. Sebuah hal yang baru, Jaac tidak pernah menang dari Areta sebelum ini. Tampaknya, bukan hanya Jaac saja yang sadar karena Areta dan Bon juga terlihat terkejut.
Jaac mengendalikan napas, menatap kedua sahabatnya itu satu per satu. "Apa ada yang ingin kalian bicarakan?" tanya Jaac setelah sedikit lebih tenang.
"Apa ada yang ingin kami bicarakan?! Apa maksudmu bertanya begitu, dasar begundal!" Areta berteriak, hendak maju lagi untuk mungkin mematahkan leher Jaac, tetapi Bon berhasil menahannya terlebih dahulu.
"Ada apa denganmu, hei, Jaac? Apa menurutmu wajar kalau kami tidak khawatir ketika kamu tiba-tiba menghilang tanpa kabar selama tiga bulan? Apa menurutmu aneh kalau yang terjadi adalah sebaliknya?" Bon tampaknya berusaha menahan dirinya sendiri agar tidak ikut emosional dan memperburuk keadaan Areta.
Jaac menghela napasnya perlahan-lahan, berusaha menjernihkan isi kepalanya sendiri yang saat ini juga masih terasa berantakan.
"Aku benar-benar minta maaf, teman-teman. Aku bukannya menghilang karena aku ingin, ini adalah sesuatu yang terjadi tiba-tiba. Kalau aku bisa menghubungi kalian, tentu akan kuhubungi. Kalau aku bisa kembali lebih awal, tentu aku akan kembali."
Areta menarik ingusnya sambil menatap Jaac dengan tajam. Salah satu tangannya terangkat untuk mengusap air di ujung mata.
"Kamu dari mana?" tanya Areta dengan nada yang lebih baik.
Jaac memejamkan matanya. Karena pertemanan yang sangat lama, jauh lebih lama dari pertemanan Jaac dengan siapapun, bahkan termasuk Bon, Areta tahu betul tabiat Jaac. Itu membuatnya tidak mudah dibohongi. Tetapi di sisi lain, dia juga cepat paham dengan kondisi Jaac seolah-olah mereka terhubung secara tak kasat mata. Jaac yakin, Areta pasti juga merasakannya, bahwa Jaac sekarang sedang terguncang.
"Entahlah. Aku tidak tahu bagaimana harus mengatakannya." Jaac balas menatap Areta.
"Dari mana kamu dapat pakaian seperti itu?" giliran Bon yang bertanya.
Jaac spontan menatap dirinya sendiri, menyadari tubuhnya masih terbalut seragam Tentara Langit. Tentu saja, itu pastilah salah satu alasan kenapa orang-orang menatap Jaac dengan aneh tadi.
"Aku juga tidak bisa menjelaskanya. Aku mendapatkan ini karena ... aku baru saja menyelesaikan sesuatu," Jaac menjawab ragu. Memangnya, apalagi yang bisa Jaac katakan. Kesadarannya belum benar-benar pulih bahkan untuk sekadar memikirkan apakah Acacio Academy sungguhan ada atau tidak. Pikiran Jaac masih kacau.
"Kamu memotong rambutmu?" Areta kembali bertanya. Matanya masih aktif memindai Jaac seolah-olah memastikan bahwa Jaac di hadapannya sungguhan nyata dan bukan hologram pembawa pesan belaka.
"Ya, aku memotongnya belum lama ini, dibantu seseorang." Jaac menyentuh ujung rambut belakangnya. "Rambut pendek membuatku berpikir dan bergerak lebih cepat. Ini juga membantu membangkitkan instingku," gumamnya.
Bon menatap Jaac dengan tatapan yang sulit diartikan. Ya, itu pasti aneh bagi mereka mendapati Jaac yang baru. Secara keseluruhan Jaac memang tidak banyak berubah, tidak jika dibandingkan dengan teman-teman Tentara Langit yang lain. Tetapi, Jaac punya kepribadian baru yang lebih berkarisma dan tenang dibanding Jaac sebelumnya yang hidup tanpa tujuan dan terus-terusan dikendalikan oleh obsesi.
"Jaac."
Jaac menatap Areta yang juga tengah menatap dirinya dengan pandangan yang tidak terdeskripsikan. Jaac tidak tahu pandangan itu harus diungkapkan dengan apa melalui kata-kata, tetapi anehnya, ia seperti bisa memahami apa yang dirasakan Areta melalui pandangan itu.
"Ya, Areta. Ini aku. Hanya saja sedikit lebih dewasa." Jaac mengulaskan sebuah senyuman. "Bagaimana kalian tahu aku ada di sini?"
"Kami sedang menuju kantin ketika beberapa orang berbicara bahwa mereka melihatmu. Kami langsung kemari karena ... karena kamu pasti langsung kemari," jawab Bon.
Jaac mengangguk-angguk.
"Sebenarnya, ada banyak hal yang terjadi, dan aku sendiri sekarang ini masih berusaha menata pikiranku yang kacau. Kalau kalian berkenan, Areta, Bon, bisakah kalian memberiku waktu untuk sendiri?" pinta Jaac.
Bon tampaknya baru akan menolak ketika Areta menahan lengannya. Perempuan itu mengangguk, menatap Jaac sekali lagi, lalu berbalik pergi. Bon menghela napas, memberi sekilas anggukan pada Jaac, kemudian mengikuti Areta keluar dari ruang kerja Jaac.
Pintu perlahan tertutup otomatis, membuat cahaya putih dari lampu pijar di luar ruang kerja terhalang hingga akhirnya menghilang.
"Bluebird."
"Aku di sini, Jaac."
Jaac berbalik, pandangan sendu di matanya berubah menjadi tajam dalam sepersekian detik. Dia menggulung lengannya hingga sebatas bahu, tampak siap berperang bersama alat elektronik dan android-android miliknya.
Jaac merendahkan suara, berkata geram,
"Sekarang, ke mana Laplace's Demon-ku menghilang?"
°†°†°†°
KAMU SEDANG MEMBACA
[Aku] Tentara Langit
FantasyLangit Acacio tidak terasa lengang tanpa kehadiran mereka. Bumi pun tidak merasa tersanjung atas kedatangan kembali mereka. Bahkan tidak banyak yang menyadari bagaimana mereka menghilang dan kembali selain yang memang peduli. Tapi satu hal yang sama...