Seharian ini, hujan mengguyur kota dermaga. Mendung memayungi pantai. Ombak berdeburan, ribut bermain bersama angin asin lautan.
Menjelang petang, gerimis merintik disertai sambaran kilat yang berkali-kali menerangi layaknya tengah siang hari. Gempuran ombak dan angin tak lagi sehebat sebelumnya, meski masih tetap lebih berisik dari biasanya.
Semua persiapan telah dimatangkan. Kabar yang disampaikan lewat mulut ke mulut telah sempurna menjangkau telinga seluruh penduduk dermaga. Tinggal eksekusinya, dan kawan-kawan perompak telah menyiapkan panggung pertunjukannya.
"Yang pertama adalah yakin, yang kedua adalah yakin, dan yang ketiga ... kita serahkan hasilnya pada takdir," ucap Aalisha.
Lingkaran yang tercipta dari tangan-tangan yang saling bersilang dan bergengaman membuat udara panas meski tanah dan dedaunan masih basah oleh rintik air di luar gua sana. Genggaman-genggaman itu semakin erat menunjukkan kegugupan dan tekad.
"Tidak ada yang perlu ditakutkan, teman-teman. Kita bersama penduduk desa berjuang bersama untuk kemerdekaan kita," bisik Aezer dengan suaranya yang dalam. Semua orang saling bertatapan, mengangguk, memberikan kekuatan.
"Untuk Kapten yang telah berpulang, untuk teman-teman dan saudara-saudara kita yang hilang. Mata dibalas mata, nyawa dibalas nyawa. Kita bukan pembunuh, tetapi kita bisa membunuh untuk menyelematkan yang tersisa agar tidak terbunuh," tambah Airin dengan suara bergetar.
Aalisha mengeraskan geraham, menelan ludah. Hanya ada satu kesempatan, dan ia tak boleh gagal. Setelah memimpin doa singkat, gadis itu membubarkan lingkaran dan mengirim teman-temannya pergi menuju posisi dan tugas masing-masing, sebelum sendirinya bersiap untuk tugas yang ia akan tanggung.
"Berhati-hatilah, Aal."
Aalisha menoleh pada Airin yang menepuk bahunya dengan lembut. Aneh karena ini adalah pertama kalinya Airin menyebut nama Aalisha setelah sekian lama. Nama kecilnya bahkan. Selain teman-teman Ballardnya yang tidak tahu-menahu tentang nama kecil itu, memendekkan namanya hanya karena Jaac malas mengucapkan nama Aalisha yang terdiri dari tiga suku kata, Aalisha pikir ia tak akan lagi mendengar orang lain memanggilnya dengan nama itu.
Aalisha mengangguk canggung, "Hati-hati juga."
Airin kemudian merangkak keluar dari mulut gua yang rendah, bersiap berjaga di posko kesehatan yang telah disiapkan di salah satu rumah warga. Geo, sang tabib kapal, yang bergabung ke kapal perompak tanpa berbekal kemampuan bela diri apapun adalah salah satu yang tewas tiga bulan lalu. Hanya Airin yang tersisa yang bisa membantu tabib desa yang telah renta karena tidak banyak anggota kapal yang tertarik pada pengobatan sebelumnya.
Aalisha menutup tudung jubah dan ikut merangkak keluar gua. Gerimis masih menembus dedaunan hutan, membasahi wajahnya ketika ia mendongak. Langit telah berubah gelap karena matahari telah sempurna tenggelam di garis horizon. Bau tanah dan angin asin menyentuh ujung hidungnya, menciptakan sensasi aneh yang tidak ia duga ternyata tidak terlalu buruk juga.
"Dermaga sudah siap." Terra menyambut Aalisha, memunculkan sosoknya dari balik salah satu pohon.
"Aku mempercayaimu sebagai nahkodaku hari ini." Aalisha tersenyum miring.
"Aku cukup ugal-ugalan, tapi kau bisa mempercayakan nyawamu di kapal yang kubawa hari ini." Terra balas tersenyum miring.
"Apapun yang terjadi nanti, anggap kau tidak pernah melihatnya, Terra." Aalisha mengulurkan tangan yang langsung Terra jabat sebagai jawabannya.
"Aku tidak yakin apa yang akan kulihat nanti, tapi kau bisa mempercayakan apapun itu karena aku tidak suka berbagi rahasia tentang orang yang kusukai."
Aalisha terkekeh kecil. "Senang bisa menjadi orang yang menarik perhatian seorang Terra."
KAMU SEDANG MEMBACA
[Aku] Tentara Langit
FantasíaLangit Acacio tidak terasa lengang tanpa kehadiran mereka. Bumi pun tidak merasa tersanjung atas kedatangan kembali mereka. Bahkan tidak banyak yang menyadari bagaimana mereka menghilang dan kembali selain yang memang peduli. Tapi satu hal yang sama...