Januari 1946.
Butuh waktu dua bulan untuk Kaori mengeringkan luka di punggungnya, itu pun belum sembuh sempurna. Di Acacio Academy, luka seperti itu akan segera sembuh tanpa membutuhkan waktu lama. Ada perawat dengan berbagai ramuan obatnya, atau kakak-kakak senior di jurusan Tentara Langit, juga anggota pasukan yang memiliki kemampuan luar biasa dalam merawat luka. Terlebih dengan energi spiritual yang ada di tanah itu, yang bisa dimanipulasi dan digunakan sedemikian rupa. Menyebabkan banyak tanaman herbal tumbuh dengan khasiat yang luar biasa.
Acacio Academy adalah surga bagi herbal dan bidang kesehatan.
Mungkin karena Kaori tidak melakukan apapun selama dua bulan terakhir, selain tertahan di kamar untuk fokus menyembuhkan diri, ia jadi merasa rindu berat pada akademi dan teman-temannya. Namun, seberapa pun ia rindu, ia tidak bisa kembali. Ia tidak tahu caranya.
Dan kalau pun ia tahu, tidak ada siapa pun yang akan menyambutnya. Elsi, Aalisha, Zeeb, Jaac, dan Alka pasti sudah lulus. Empat bulan sudah berlalu di sana jika menggunakan logika bahwa waktu di Bumi berjalan dua kali lipat lebih lambat.
Bagaimana kabar mereka di tempat asalnya masing-masing, ya? Karena Kaori merasa tidak baik-baik saja. Ia merasa sangat kesepian karena tidak memiliki siapa-siapa.
Gadis itu mengedarkan pandangan ke rumahnya yang akhirnya bersih dari debu dan bekas darah. Berbagai perabotan telah ia kembalikan pada tempatnya dan ditutup dengan kain-kain putih. Hanya sofa panjang yang Kaori duduki sekarang satu-satunya yang tersisa, dengan selembar kain putih yang masih di pangkuannya.
Dulu, di sofa ini, Kaori dan ayahnya sering duduk berdua bercengkerama. Kadangkala, jika ayahnya tidak pulang, ibulah yang akan menggantikan.
Dulu, ketika mereka masih ada. Sebelum Yash menghancurkan segalanya.
Kaori pikir ia akan merasakan teror itu lagi ketika datang ke rumah ini, menilik kamar orang tuanya, serta mengintip kamarnya sendiri. Tetapi, teror itu rupanya hanya ada di kepala. Kaori tidak lagi merasakan ketakutan. Yang ia rasakan hanyalah kesedihan atas kehilangan. Kehilangan sosok-sosok yang dicintainya. Kehilangan kesempatan untuk mengulang kembali kenangan-kenangan di memorinya. Kehilangan sebagian dari dirinya.
"Okaa-san [Ibu], Okaa-san [Ibu] selalu memanjakanku sehingga aku tumbuh menjadi anak yang sangat murni dan polos di tengah-tengah kondisi yang sulit, di negara asing yang tengah berkonflik. Di tengah perang dunia yang mengerikan. Terlalu polos hingga tidak tahu bahwa Okaa-san [Ibu] dan Otoo-san [Ayah] selama ini berjuang susah payah untuk dapat memberiku kehidupan yang nyaman." Kaori tersenyum tipis, menatap foto keluarganya yang tergantung di ruang tamu, tak jauh dari sofa tempat ia duduk.
"Otoo-san [Ayah] dan Okaa-san [Ibu] pasti tidak pernah berpikir akan melepasku sendirian di dunia yang keras ini. Sama seperti aku yang tak pernah sekalipun terbersit pikiran bahwa suatu hari akan hidup tanpa kalian." Foto di pigura itu balas menatap Kaori. Wajah ayahnya, ibunya, dan Kaori muda yang tersenyum bahagia seolah tidak ada masalah apapun di dunia.
Ya, bagi Kaori saat itu, tidak ada masalah apapun di dunia. Ia bisa bermain, makan hingga kenyang, tidur dengan nyenyak, bermanja dan merajuk pada orang tuanya. Kehidupan Kaori sempurna, tidak tahu betapa mengerikannya apa yang tengah terjadi di dunia. Pistol dan bom terdengar mengerikan, tetapi terasa jauh dari kehidupannya. Tanpa ia sadari, banyak hal mengerikan sebenarnya terjadi di sekitarnya.
"Tetapi, Otoo-san, Okaa-san, ternyata kita dipisahkan dengan kejam. Dan saat itu terjadi, aku sendirian tanpa bekal. Aku tidak tahu bagaimana harus hidup. Aku tidak tahu apa-apa. Aku terlalu takut pada dunia yang mendadak terasa begitu besar, karena selama ini duniaku hanya kalian."
Tidak hanya kehilangan ayah dan ibunya, Kaori juga dihadapkan pada dunia yang begitu asing di tengah orang-orang dengan kebudayaan yang sangat asing. Tidak ada yang dikenalnya, tidak ada yang mengenalnya. Ia dipaksa bertahan hidup di tengah kebingungan dan terseret-seret arus karena tidak memiliki tujuan.
Namun, justru di sanalah ia bertemu dengan keluarga baru yang selalu menemani dan menjaganya. Memastikan ia baik-baik saja, memarahinya agar menjadi orang yang lebih egois. Kaori menghadapi rasa sakit dan traumanya dengan bantuan mereka. Ia belajar memiliki keinginan dan tujuan, belajar mengambil keputusan, belajar menghadapi ketakutan.
"Tetapi, Otoo-san, Okaa-san. Meski hingga saat ini aku tidak baik-baik saja, meski aku merasa sangat kesepian tanpa kehadiran kalian, tanpa kehadiran keluarga baruku yang kini terpencar kembali ke dunianya masing-masing ...
"aku sudah bisa berdiri di atas dua kakiku sendiri sekarang. Aku bisa bertahan hidup, aku memiliki tujuan, aku berani mengambil keputusan. Aku berani keluar dari zona nyaman dan mengambil resiko agar bisa belajar dan tidak terjebak di kondisiku sekarang."
Kaori mengulum senyum kepada potret kedua orang tuanya.
"Karena itu, Otoo-san, Okaa-san. Aku pamit. Aku mungkin akan kembali ke mari suatu hari ini, jika aku memiliki kesempatan. Tapi, aku akan pergi jauh, mengelana, menjadi apa saja. Aku akan membangun kembali duniaku dengan mengenal dunia di luar sana."
Gadis itu menarik napas panjang, menahan diri untuk tidak menangis. Ia mengangguk-angguk menguatkan dirinya sendiri. Setalah sekali lagi mengedarkan pandang pada ruangan dan perabotan yang sudah ditutup dengan kain putih, setelah sekali lagi mengenang memori dari setiap sudut rumah yang dapat ia telanjangi dengan matanya, gadis itu kembali menatap potret kedua orang tuanya. Sembari tersenyum, merekam dalam ingatan agar tersimpan untuk waktu yang panjang.
"Jaa, Sayonara."
[Selamat tinggal]°†°†°†°
Author's Note:
Kaori adalah salah satu karakter yang paling sulit ditulis ☝️😔Anw, enjoy reading, guys. Selalu terbuka untuk kritik dan saran kalian ~~
KAMU SEDANG MEMBACA
[Aku] Tentara Langit
FantasyLangit Acacio tidak terasa lengang tanpa kehadiran mereka. Bumi pun tidak merasa tersanjung atas kedatangan kembali mereka. Bahkan tidak banyak yang menyadari bagaimana mereka menghilang dan kembali selain yang memang peduli. Tapi satu hal yang sama...