"Ukh."
Aalisha mengerutkan kening merasakan kepalanya terasa sangat pening. Pakaiannya basah dan dia merasakan tubuhnya beberapa kali diterjang air. Bau asin yang Aalisha rindukan tercium pekat di indra penciumannya, membuatnya merasa sedikit tidak terbiasa.
Gadis itu beranjak duduk sembari membuka mata. Kegelapan dia temukan di mana-mana, tetapi kerlip dari cahaya di pasir-pasir pantai tidak mampu menipunya, bahkan meski enam bulan lamanya Aalisha telah pergi. Aalisha sangat mengenali morfologi ini. Dia ada di pantai di dekat tempat tinggalnya.
Gadis itu masih terdiam beberapa saat untuk meredakan pening. Dia mengedarkan pandangan untuk kemudian sadar bahwa dia ada di bawah sebuah tebing gua yang dianggap cukup berbahaya oleh warga desanya. Stalaktit di dalam gua itu cukup banyak dan tajam, belum lagi sisi-sisinya yang terjal dan tebingnya yang sangat curam.
Kenapa Aalisha bisa ada di sini?
Ah, benar juga. Dia tenggelam dalam pertempurannya dengan perompak beberapa waktu lalu. Mungkin dia diselamatkan ombak dan tiba di tempat ini. Sudah berapa lama Aalisha tidak sadarkan diri? Dia sempat bermimpi cukup panjang dan menyenangkan.
Gadis itu menghela napas. Baiklah, waktunya kembali pada kenyataan.
Ketika dia berdiri dan hendak mulai melangkah, sesuatu terjatuh dari pinggangnya. Sebuah pedang pendek berwarna putih yang terbuat dari gading gajah, dengan sebuah ukiran khas di salah satu sisi gading itu. Aalisha menenggak ludah.
Pedang pendek ini.
Bukankah ini pedang Zeeb? Apa perempuan itu benar-benar ada, bukan hanya sosok dari mimpi belaka?
Aalisha meraih pedang pendek itu dengan ragu-ragu. Tak jauh darinya, dia juga menemukan sebuah pedang yang sudah sangat nyaman sekali dia gunakan. Itu adalah pedang milik Terra. Aalisha sekali lagi mengedarkan pandangan.
Ada rasa rindu pada suasana di hadapannya, seolah Aalisha memang baru saja pergi dari tempat ini dan tidak pernah kembali untuk beberapa waktu. Tidak mungkin Aalisha merasakannya jika dia hanya pingsan selama satu atau dua hari.
Gadis itu berjalan menyusuri pantai setelah memungut pedang milik Terra. Terusan asing yang dipakainya lagi-lagi membawa bukti bahwa Aalisha memang baru saja berasal dari tempat itu. Acacio Academy. Dia sekali lagi menenggak ludah. Entah otaknya harus percaya atau tidak, tetapi hatinya telah yakin bahwa tempat itu ada.
Namun, jika Aalisha benar datang ke tempat itu dan meninggalkan pantainya, itu berarti enam bulan sudah berlalu dan dia menghilang dari sini. Memori terakhir yang bisa diingatnya adalah ketika dia bertarung di atas kapal, membuatnya bertanya-tanya bagaimana hasil perang di atas lautan kala itu.
Langkah Aalisha semakin cepat ketika matanya mendapati sebuah desa yang tidak asing, sekaligus asing baginya. Desa itu adalah tempatnya dibesarkan, tetapi desa itu tampak berbeda dari yang dia kenal. Desa itu begitu gelap dan sepi. Sangat tidak mencerminkan keadaaan desa pelabuhan yang dia tahu.
Pasti ada sesuatu. Pasti ada sesuatu yang telah terjadi selama dia pergi.
°†°†°†°
Aalisha mengendap-endap di antara rumah-rumah sunyi. Desa ini seperti desa mati. Jalanan lengang seolah kehilangan kehidupan. Padahal, hingga malam pun, pasar di desa ini tidak juga padam dari keramaian, seharusnya. Anak-anak kecil di desa pelabuhan juga banyak yang senang bergadang untuk bermain petak umpet malam, seharusnya. Apalagi para remaja tanggung, sering sekali tampak di berbagai pojok desa untuk bermain kartu atau sekadar menggenjreng-nggenjreng alat musik sambil bernyanyian, seharusnya.
Aalisha menahan langkah ketika menangkap bayangan seseorang yang berjalan mendekat. Dia segera kembali mundur ke kegelapan di antara dua rumah, menunggu pemilik bayangan itu melintas. Ada dua orang dan keduanya tidak Aalisha kenal. Jelas sekali mereka bukan prajurit kerajaan. Pakaian mereka terlalu jelek untuk itu. Namun, mereka membawa senjata. Tidak ada penduduk lokal yang berani membawa-bawa senjata kecuali para pemburu.
Oh, tidak. Jangan bilang, mereka adalah perompak.
Sebuah tangan tiba-tiba menyekap mulut Aalisha, membuatnya spontan berontak. Belum sempat dia melakukan apapun, tiba-tiba seluruh pergerakannya dikunci. Baru saja dia akan menggigit tangan yang menyekapnya, tiba-tiba terdengar sebuah suara.
"Diam, Aalisha."
°†°†°†°
Aalisha kembali mengendap-endap di antara rumah-rumah yang sunyi. Kali ini dia tidak sendiri, melainkan bersama seorang pemuda yang memimpin perjalanan malam mereka. Rambutnya yang hitam panjang dan selalu dikuncir kuda, kini dibiarkan tergerai dengan panjang tinggal separuhnya dari yang Aalisha tahu. Dari yang sepinggang, kini tinggal sepunggung pemuda itu.
Mereka berdua berhenti beberapa kali demi menghindari orang-orang asing yang tampak sedang berpatroli. Ketika mereka akhirnya keluar dari desa, mereka segera naik menuju hutan yang berada di atas tebing yang mengelilingi desa pelabuhan. Keduanya segera menyelinap kembali ke dalam kegelapan, menembus lebatnya hutan dan pekatnya malam.
"Aku tidak menduga kamu lincah juga bergerak dalam hutan." Suara pemuda yang kini ada di sisi Aalisha memecah keheningan.
Aalisha mengejap, kemudian tersenyum tipis. Di Acacio, medan yang dia hadapi selalu hutan. Bukan sesuatu yang sulit setelah bergelut dengan medan itu selama enam bulan.
"Aku sendiri tidak tahu kamu juga lincah di darat, Terra," balas Aalisha.
"Kami sudah harus bertahan hidup selama tiga bulan di sini, bukan hal yang aneh kalau kami terbiasa. Justru kamu yang setahuku tidak pernah menjelajah hutan, tiba-tiba saja tanpa kesusahan berdaptasi begini. Rasanya seperti melihat bayi yang mendadak bisa berlari," ucap pemuda itu, Terra.
Aalisha menarik salah satu sudut bibirnya, "Mulutmu masih ... seperti biasa."
Mungkin karena sering mendengar Elsi berkata sarkas, ucapan Terra yang memang fakta jadi tidak ada apa-apanya.
Mereka berdua berhenti ketika tiba di sebuah gua bermulut rendah. Aalisha harus merangkak untuk bisa memasuki mulut gua itu. Namun, bagian dalamnya benar-benar tidak terduga. Begitu luas dengan langit-langit yang begitu tinggi.
"Yang lain ada lebih di dalam. Gua ini tersambung dengan gua stalaktit di pantai sana, jadi hati-hati karena di dalam akan ada cukup banyak stalagtit meski tidak seberbahaya yang ada di mulut pantai," ujar Terra.
Aalisha menepuk dahi, "Padahal aku baru saja dari bawah tebing gua stalaktit itu."
"Kenapa kamu ada di sana?" tanya Terra. Mereka mulai melangkah, menyusuri gua yang masih berdasar tanah.
"Entahlah. Saat aku terbangun, tiba-tiba saja aku sudah ada di sana," jawab Aalisha lancar. Memang benar bukan, Aalisha sendiri tidak tahu kenapa harus di sana dia terbangun.
"Omong-omong, kamu dari mana?" tanya Terra. "Bajumu asing dari yang kutahu."
"Dari suatu tempat yang jauh, Terra. Kamu tidak akan percaya," jawab Aalisha.
"Maka, kamu juga mungkin tidak akan percaya pada apa yang terjadi di sini."
Terra berhenti berjalan, membuat Aalisha juga turut menghentikan langkahnya. Di hadapan mereka, duduk beberapa orang yang tak asing, tengah terkejut melihat kedatangan Aalisha. Seorang perempuan duduk meringkuk. Beberapa tubuh terbujur kaku dengan kain putih menutupi seluruh badannya.
"Apa yang sebenarnya telah terjadi?"
°†°†°†°
KAMU SEDANG MEMBACA
[Aku] Tentara Langit
FantasyLangit Acacio tidak terasa lengang tanpa kehadiran mereka. Bumi pun tidak merasa tersanjung atas kedatangan kembali mereka. Bahkan tidak banyak yang menyadari bagaimana mereka menghilang dan kembali selain yang memang peduli. Tapi satu hal yang sama...