Chapter 10 : Weak

224 326 43
                                    


Jiwoo menatap Mujin dari jauh dengan mata berkaca-kaca, pria itu sedang berjalan masuk ke kantor dengan asisten dan beberapa anak buah di belakangnya dengan wajah letih dan datar tanpa ekspresi membuat Jiwoo merasa sakit dan sesak. Lagi-lagi ia hanya bisa merasakan sakit dan sakit. Jiwoo mengingat bagaimana Mujin yang memohon agar tidak menolaknya lagi tetapi Jiwoo tetap pergi meninggalkan Mujin yang menangis kesakitan.

Jungwoo yang berada di belakang Jiwoo mengikuti arah pandangnya yang sedang menatap Mujin. Dengan lembut Jungwoo menarik Jiwoo ke pelukannya, memeluknya erat dan menepuk punggung Jiwoo yang sudah menangis terisak, menenangkan wanita yang sudah mengisi hatinya.

Mujin mengepalkan tangannya dengan rahang yang mengeras saat ia tak sengaja melihat Jiwoo yang sedang berpelukan dengan Jungwoo. Ia tertawa sakit lalu menonjok pintu lift saat lift tertutup hingga membuat Taeju terkejut bukan main.

"Daepyeonim.. ada apa?" tanya Taeju walau ia merasa takut dengan raut wajah Mujin yang menahan emosi.

Mujin tidak menjawab, kepalan tangannya semakin kuat hingga buku-buku jarinya memutih merasa jantungnya bagai ditusuk-tusuk. Sejujurnya Mujin tidak ingin datang bekerja, hanya satu alasannya adalah merindukan Jiwoo. Tetapi sakit rasanya ia malah melihat pemandangan yang menyakitkan.

Jiwoo tidak fokus bekerja seharian ini. Bagaimana bisa ia terus merasakan nyeri dan denyutan sakit di dadanya jika mengingat Mujin. Bagaimana caranya agar ia bisa kembali mencintai Mujin. Rasa sakit terus menggerogotinya. Ia lelah dengan rasa ini, lelah dengan keadaannya yang sekarang.

Akhirnya Jiwoo memutuskan untuk pulang lebih cepat karena merasa tidak enak badan.

Oppa, aku izin pulang karena tidak enak badan.

Aku akan meeting di luar, sekalian kuantar pulang. Tunggu aku.

Aku pulang sendiri. Terima kasih oppa.

Jiwoo menyimpan ponselnya lalu mengambil tasnya lalu memakai coat berwarna coklat. Jiwoo berjalan sambil melamun, ia tidak menyadari Mujin mengikutinya dari belakang.

"Argh.." Jiwoo berhenti berjalan, ia menopang tubuhnya pada dinding di sebelahnya, tiba-tiba dadanya terasa sesak dan nafasnya tercekat serta putus-putus dengan tangan gemetar Jiwoo meraih inhaler di dalam tasnya lalu menekan menghirup dan menahan nafasnya sejenak. Jiwoo tidak ingin memeriksa kesehatannya ataupun menyembuhkan asmanya, baginya ini adalah hukuman karena sudah menyakiti Mujin.

Mujin sangat terkejut dan panik, kakinya ingin berlari menolong Jiwoo tapi saat melihat beberapa saat kemudian Jiwoo membaik, ia hanya bisa menahan sakit di dadanya. Benar, ia sudah tau tentang riwayat kesehatan Jiwoo yang sempat mengalami asma beberapa tahun dan itu terjadi karena dirinya. Rasa bersalah dan menyesal Mujin semakin besar.

Kesalahan dan penyesalan seumur hidup Mujin adalah meninggalkan Jiwoo sepuluh tahun yang lalu. Ia ingin sekali memutar waktu dan bisa kembali ke masa itu memperbaiki semua kesalahannya. Oh.. sepertinya Mujin tidak sanggup bernafas lagi jika terus seperti ini.

Mujin mengikuti Jiwoo yang sedang menunggu bus, ia juga ikut menaiki bus dan duduk di belakang Jiwoo. Matanya tidak pernah lepas dari Jiwoo yang terlihat sangat sedih dan terus melamun. Entah apa yang dipikirakan wanita itu.

Jiwoo berjalan di taman dekat rumahnya dan duduk di bangku panjang. Ia memejamkan matanya merasakan angin sepoi-sepoi menerpa kulitnya. Air mata Jiwoo menetes dari sudut matanya yang masih terpejam semakin lama semakin deras. Mengingat semua kenangannya bersama Mujin sedikit mengobati rasa sakit hatinya.

"Jiwoo-ya.. aku tau rasa cintamu sangat dalam padaku begitu juga rasa sakit itu. Aku akan menebusnya. Tunggulah. Aku ingin melihatmu sebentar lagi, hanya sebentar saja" batin Mujin, ia juga menangis dari kejauhan menatap sendu pada Jiwoo yang masih memejamkan matanya.

Ya. Choi Mujin sangat lemah jika menyangkut cintanya pada Jiwoo walaupun ia terlihat seperti pria kaya raya yang berkuasa, dingin dan kuat yang bisa menahan dunia yang runtuh demi melindungi Jiwoo.

***

Jiwoo memutuskan untuk resign dari perusahaan Mujin. Sepertinya tidak tepat jika ia masih bekerja disana dan terus bertemu dengan Mujin tanpa sengaja, pria itu akan semakin tidak bisa melupakannya bukan?

"Jiwoo-ya, apa maksudmu?" tanya Jungwoo menatap Jiwoo yang berdiri menunduk didepan meja kerjanya setelah menyerah amplop putih.

"Oppa.. ah tidak. Sajangnim, aku ingin berterima kasih selama ini sudah baik dan menjagaku. Carilah wanita yang bisa membalas cintamu dan menyayangimu"

"Jiwoo-ya.. jangan berkata seperti itu. Aku tidak menyuruhmu membalas cintaku tapi kumohon jangan seperti ini.. aku hanya ingin berada di sisimu saat kau membutuhkan seseorang"

Jiwoo menggeleng pelan. "Kau pantas dicintai oleh wanita yang lebih baik. Berbahagialah, dengan begitu aku akan merasa lebih tenang"

"Jiwoo-ya.. Jadilah kekasihku. Aku berjanji akan membantumu menyembuhkan semua lukamu." Jungwoo berdiri di hadapan Jiwoo dan menggenggam kedua tangannya.

Jungwoo memeluk Jiwoo dengan erat. Sungguh, ia sendiri tidak bisa lagi terus menahan rasa cintanya pada Jiwoo selama lima tahun ini.

"Oppa.." suara lirih Jiwoo menyadarkan Jungwoo yang memeluknya terlalu erat.

"Aku akan membahagiakanmu. Aku janji.." Jungwoo menatap lembut kedua bola mata Jiwoo lalu mengecup kening Jiwoo.

Brakk!

Mujin memasuki ruangan Jungwoo membanting pintu, berjalan cepat dengan wajah murka, nafas memburu, rahang yang mengeras dan kepalan tangan yang memperlihatkan urat-uratnya yang nyaris putus melihat Jungwoo yang menyentuh Jiwoo. Tanpa aba-aba Mujin melayangkan sebuah tonjokan ke wajah Jungwoo yang seketika membuat pria itu tersungkur ke lantai.

Jiwoo terkejut bukan main. Ia tidak pernah melihat Mujin semarah ini. Pria itu terlihat cukup mengerikan bahkan matanya memerah menunjukkan betapa marah dirinya.

Jungwoo menyeka sudut bibirnya yang sobek dengan darah segar. Ia tertawa sinis lalu berdiri didepan Mujin. Kedua pria itu saling menatap dengan bola mata terbakar oleh amarah masing-masing.

Jiwoo menarik lengan Mujin keluar dari ruangan Jungwoo dan berbicara di ruangan kosong lainnya.

"Kenapa kau memukulnya?" tanya Jiwoo penuh penekanan pada Mujin.

Sorot mata Mujin seketika berubah lembut dan lemah saat menatap Jiwoo. Hatinya sakit, apakah Jiwoo tidak mengerti?

"Jiwoo-ya.. apa kau menyukai dia?" tanya Mujin dengan suara tercekat.

Jiwoo memejamkan matanya sejenak, mengambil pasokan udara, dadanya terasa sesak dengan pertanyaan Mujin. Haruskah ia berbohong saja? berbohong agar Mujin melupakannya dan membencinya ataupun menjauhinya?

"Ya. Aku menyukai Jungwoo oppa.." jawab Jiwoo dengan mata berkaca-kaca dan suara tercekat.

Mujin menatap Jiwoo dengan tatapan kecewa, sakit dan marah yang bercampur aduk. Ia tidak percaya Jiwoo dengan mudah mengatakan itu padahal Jiwoo tidak pernah menyatakan perasaannya sekalipun walau jelas-jelas Jiwoo sangat mencintainya.

"Sampai kapan kau akan terus berbohong padaku!" teriak Mujin frustasi.

"Sampai kau mempercayaiku dan pergi dari hidupku.." balas Jiwoo datar.

Setelah mengatakan itu Jiwoo pergi meninggalkan Mujin dengan tangisan yang ia tahan. Mujin memukul dinding di belakangnya berkali-kali hingga punggung tangannya memerah luka, meluapkan amarah yang berkecamuk di hatinya.



Author kirain minggu ini gk sempat update, ternyata bisa 🤭🤭

Yang setuju nambah 5 chapter? 🙋🏼‍♂️🙋🏼‍♂️

Yang setuju nambah 10 chapter? 🙆🏼‍♀️🙆🏼‍♀️

Komen yang paling banyak bakal author ambil jadi keputusan yakk 🤣🤣
Don't forget vote ❤️

Lie to MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang