Chapter 15 : A Secret

251 319 28
                                    

Jiwoo mengajak Mujin bermain di pantai, dengan senang hati Mujin meladeni Jiwoo berlari mengejarnya, melempar Jiwoo ke dalam air, saling menyipratkan air. Keduanya terlihat sangat bahagia.

Seperti sekarang Jiwoo tertawa dan berlari menghindari Mujin yang mengejarnya. Tiba-tiba Jiwoo merasakan nafasnya putus-putus, dadanya sangat sesak hingga ia kesulitan bernafas.

Brukk!

Jiwoo jatuh diatas pasir. Mujin berlari sekencangnya dan mengangkat kepala Jiwoo.

"Sayang! bangun.. ada apa?!" tanya Mujin panik melihat Jiwoo yang bernafas terengah-engah.

"In- haler.." ucap Jiwoo terputus-putus.

Mujin menggendong Jiwoo ke kamar dan berlari ke nakas mencari tas Jiwoo, ia menemukan inhaler lalu segera memasukkan ke dalam mulut Jiwoo dan menekannya.

Jiwoo menarik nafasnya dan tersenyum pada Mujin. Pria itu sudah menangis dengan mata memerah.

"Nan gwaenchana.." Jiwoo menyeka air mata Mujin dengan perasaan bersalah.

Seharusnya ia tidak berlari hingga kecapekan. Ia benar-benar melupakan penyakitnya sejenak tadi. Namun melihat Mujin yang menangis sedih membuatnya menyesal.

"Apa asma mu kambuh lagi?" tanya Mujin mengeraskan rahangnya.

"Aku tidak apa-apa Mujin-a, tidak perlu khawatir.."

"Ayo sekarang kita ke rumah sakit. Aku akan menyembuhkan dengan cara apapun itu!" Mujin terlihat marah, sedih dan kecewa.

"Sudah kubilang aku tidak apa-apa. Kumohon.." Jiwoo memeluk lengan Mujin.

Mujin terdiam mematung. Melihat Jiwoo sekarat seperti tadi sungguh membuatnya takut dan sakit. Jantungnya serasa berhenti berdetak.

"Itu tidak akan terjadi lagi. Aku janji.." Jiwoo berusaha menenangkan Mujin yang masih bernafas tersengal karena terlalu panik tadi.

Mujin memejamkan matanya mengatur nafasnya lalu menatap dalam pada kedua bola mata Jiwoo.

"Aku berharap akulah yang menderita bukan dirimu.. aku sudah cukup menyakitimu selama ini. Aku tidak bisa memaafkan diriku" air mata Mujin jatuh, ia bangkit dari ranjang meninggalkan Jiwoo menuju kamar mandi.

Pranggg!!! Pranggg!!!

Jiwoo tersentak kaget saat mendengar suara pecahan kaca dari kamar mandi.

"Choi Mujin! Apa yang kau lakukan! Hentikan!" Jiwoo mengedor pintu kamar mandi.

Jiwoo semakin takut mendengar suara pecahan kaca dari dalam. Ia takut Mujin melukai dirinya.

Mujin meninju berkali-kali pecahan kaca didepannya dengan amarah yang berkecamuk di dadanya. Bahkan pecahan kaca itu sudah menancap di punggungnya tangannya namun tak ia hiraukan, Mujin terus meninju meluapkan kekecewaan pada dirinya sendiri. Menyakiti dirinya sendiri yang ia anggap adalah bentuk pelepasan amarah karena kesalahannya pada Jiwoo.

"Mujin-a.. kumohon buka pintunya.. jangan melukai dirimu.." teriak Jiwoo panik dan khawatir.

Ceklek

Jiwoo melotot melihat tetesan darah yang mengalir dari jemari Mujin. Jiwoo menarik lengan Mujin untuk duduk di ranjang, ia bergegas mengambil kotak P3K.

Mujin masih menahan amarah di dalam dirinya terlihat dari rahangnya yang masih mengeras.
Dengan hati-hati Jiwoo menyeka darah dan membubuhkan antiseptik pada luka robek di punggung tangan Mujin.

Tidak terasa air mata Jiwoo ikut menetes. Mujin semakin merasa bersalah. Ia menarik tangannya yang masih diobati Jiwoo dan mengangkat dagu wanitanya dengan lembut untuk menatapnya.

"Maafkan aku.. Jangan menangis.." ujar Mujin pelan, tatapan mata Mujin begitu sedih.

"Aku tidak akan memaafkanmu jika kau mengulangnya lagi" balas Jiwoo.

Mujin mengangguk mengerti. Ia menangkup wajah Jiwoo lalu mengecup lembut kelopak mata Jiwoo penuh kasih.

"Mianhae.." bisik Mujin mengelus rambut Jiwoo dan mengecupnya berulang-ulang.

Jiwoo memeluk Mujin dengan erat. Memikirkan suatu saat nanti ia tidak berada di sisi Mujin membuatnya takut jika Mujin melukai dirinya sendiri.

"Mujin-a.."

"Iya sayang?"

"Aku ingin mengenang masa lalu kita.."

"Eotteoke?"

***

Jiwoo tersenyum lebar melihat halaman sekolah. Ya, Jiwoo mengajak Mujin berjalan-jalan ke sekolah mereka dulu, tempat mereka merasakan cinta pertama masing-masing.

"Kenapa tiba-tiba ingin kesini, hm?" tanya Mujin.

"Aku merindukan masa lalu kita, kita tidak banyak kenangan selain di sekolah" Jiwoo berusaha tersenyum dan menggenggam erat tangan Mujin.

Mujin mengangguk dan mengikuti Jiwoo yang menariknya berjalan menyusuri halaman sekolah mereka. Tidak ada yang berbeda, sekolahnya masih sama persis seperti dulu.

Mata Jiwoo berkaca-kaca seolah melihat dirinya dan Mujin saat remaja dulu. Air matanya jatuh deras membasahi pipinya.

"Jiwoo-ya, kenapa menangis?" tanya Mujin cemas, ia menyeka air mata Jiwoo.

"Tidak ada. Aku hanya terharu mengingat saat kita masih sekolah dulu" Jiwoo kembali tersenyum.

Jujur saja hati Mujin tidak tenang melihat Jiwoo yang seperti ini. Jiwoo terlihat sangat lemah dan sering menangis, tidak seperti Jiwoo yang ia kenal. Mujin yakin Jiwoo menyimpan sesuatu rahasia darinya.

Flashback On

Jiwoo terduduk di bangku rumah sakit dengan pandangan kosong. Air matanya jatuh begitu deras tanpa bisa ia tahan. Perkataan Dokter Lee masih terngiang di telinganya. Dari pagi hingga malam Jiwoo masih terduduk di bangku rumah sakit tersebut menerima kenyataan yang begitu menyakitkan.

"Jiwoo-ya, izinkan aku membantumu.. walau tidak bisa menyembuhmu sepenuhnya, setidaknya bisa memperpanjang waktumu.. kumohon, dengarkan aku kali ini saja" ucap pria paruh baya berjas putih yang sudah menjadi dokter Jiwoo sepuluh tahun yang lalu.

Lie to MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang