"ELENA!"
Gue dengar suara Alvaro teriak dari balik bilik kamar mandi ini. Dari tadi yang gue lakukan hanya duduk di kloset dan menangis memegangi pipi gue. Gue gak nyangka JJ bakal nampar gue. Sekasar-kasarnya bokap gue gak pernah dia panjang tangan nampar Mama ataupun gue. Tapi Papa gue gak kasar sih. Ah sait banget ya Tuhan pipi gue.
Gue akhirnya berdiri dan membuka bilik kamar mandi ini. Dan ya Alvaro disana dengan keringat menetes seperti setelah lari maraton.
"Lo kenapa?" cercanya sambil langsung memegang pipi gue.
Mungkin dia melihat memar di pipi gue. Karena setelah memegang pipi gue, dia bertanya, "Siapa yang nampar lo?"
"Gak ada. Gue kepentok."
"Gue bukan bocah SD yang gak bisa bedain luka kepentok sama tamparan cowok. Seumur-umur gue sama lo gue bahkan gak pernah lakuin hal ini. Jangankan ke lo, ke jalang yang gue sewa aja gak pernah. Jawab gue siapa yang nampar lo!"
"Gak ada Alvaro! Udah ah bantu selundupin gue keluar sekolah. Motor lo di depan kan?"
"Kita gak akan pergi sebelum lo jawab gue. Siapa?"
"Orang gak penting. Udah ayo!"
Gue berusaha menarik tangannya. Namun apa daya, dia cowok dan jelas lebih kuat menahan gue.
"CEPET BILANG! BIAR GUE HABISIN TUH ORANG!"
Gue kaget!
Gimana gak kaget mendengar tiba-tiba ia teriak seperti itu. Well, kayaknya ia serius.
"JJ."
Gue melihat dia memejamkan matanya sebentar. Rahang Alvaro mengeras. Gue tau itu tanda kalo cowok lagi emosi.
"Tapi udahlah Alvaro. Gue yang salah. Gue pantes dapetinnya."
"Siapa pun yang berani main tangan sama cewek, dia adalah musuh gue. Lo camkan itu!"
Lalu ia menarik tangan gue. Gila kayaknya nih orang. Gue hanya mengikuti kemana pun gue di tarik. Karena sepertinya bakal lebih aman kalo gue sama Alvaro. Gue gak sadar dan gak tau gimana bisa udah di luar pagar. Astaga gue kayak orang linglung sekarang. Fuck Elena! Get yourself together!
"El woy!"
Gue tersadar saat Alvaro menepuk keras bahu gue.
"Anjir lo kalo kesurupan jangan sekarang dong!"
"Apaan sih!"
"Syukurlah!"
"Ayo naik. Ke apart gue aja dulu ya? Obatin pipi lo."
Gue hanya mengangguk dan mengikuti Alvaro. Menaiki motornya tanpa menggunakan helm. Sebenarnya jarak antara apartemen Alvaro dan sekolah lumayan dekat tapi jalan-nya satu arah jadi harus memutar dulu. Gue hanya diam sepanjang perjalanan dengan memeluk tubuh Alvaro. Gue senderin pipi gue ke punggungnya. Gue hari ini sangat bersyukur punya teman kayak Alvaro.
"Heh! Jangan tidur bego!"
"Engga kok."
Lalu hening lagi. Hanya suara motor sekitar yang menjadi pengiring perjalanan kami. Sampai akhirnya Alvaro memasuki basement gedung apartemennya. Ia memarkirkan motor lalu membantu gue turun. Setelah itu ia melepas helm dan ikut turun lalu menarik gue menuju lift. Di dalam lift hanya ada kami berdua. Ia tidak melepaskan tanganku barang sekali. Tapi tidak ada satu kata pun keluar dari mulut gue ataupun Alvaro. Tapi tidak berselang lama, karena kemudian ia bertanya kepada gue.
"Sakit gak?"
Gue hanya mengangguk.
"Lo udah gue bilangin dia sulit."
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfectly Hot
RomanceWe met once. I promise you, the second we met I'm gonna kiss you.