1. Ketika tamu datang ke gubug kami

27.7K 928 12
                                    

"Bapak mau cari bambu sama ambil daun kelapa dulu ya. Nambahin penyangga depan yang udah keropos, atap dapur juga bolong, kan Bu?"

"Iya Pak, hati-hati ya, jangan lupa makan siangnya dibawa. Kalo udah mau dhuhur, cepatan pulang."

"Iya Bu."

Ibu menyalami takzim tangan Bapak seperti biasa, mau kemana saja, aku segan dengan orang tuaku ini. Sangat damai dan manis dalam kesederhanaan.

"Ibu juga pamit mau keliling sama Lita."

Setelah diijinkan Bapak, beliau jalan kaki ke kebon yang agak jauh dari rumah kami. Selain itu, Bapak juga mau mengurus kebon orang, biasanya membersihkan ilalang.

Gubug kami begitu sangat butuh perhatian, hampir setiap minggu harus mengganti dan menambah daun kelapa sebagai atap. Karena tidak awet lama sebab diterpa panas dan hujan. Namun, Bapak tidak merasa lelah dalam membenahinya, walaupun harus bolak-balik ke kebon, justru beliau akan takut jika tidak bisa selalu membenahinya. Karena ini kebutuhan kami, satu-satunya tempat berlindung kami yang penuh kenangan berdiri ditanah seluas hanya 50 m². Bapak sakit pun, tetap memaksakan diri. Beliau superhero kami.

Sedangkan aku dan Ibu berjualan keliling, seringnya mangkal di sekolah karena pastinya anak-anak sekolah suka jajanan kami, telur gulung. Mereka sangat menyukainya. Tapi sayang, sekarang harga telor naik, jadi Ibu membatasi beli telornya.

Sambil bawa sepeda, pendamping utama kami yang diperoleh dari rejeki undian jalan sehat. Gerobak dibelakang. Ibu naik sepedanya sedangkan aku jalan kaki. Karena sekolahan tidaklah jauh dari rumah kami.

Jam 8 pagi, baru sampai saja, Alhamdulillah beberapa anak menyerbu gerobak kami. Aku langsung menyiapkan adonan telur dan tepung beserta daun bawang.

Kami selesai jualan siang hari pas anak sekolah pulang. Sesampainya dirumah, lalu shalat dhuhur, kami lanjut membuat 100 tahu goreng dan risoles yang dipesan Bu RT untuk acara selametan nanti malam. Jadi kami harus buru-buru. Tidak lupa tetap menjadi kebersihan prosesnya.

Bapak pulang membawa daun kelapa dan satu bambu, Ibu membuatkan teh tawar hangat.

"Adam belum pulang, Mbak?" tanya Bapak.

Oh iya, aku sampai kelupaan. Adam, adikku itu sekolah kelas 5 SD tapi belum pulang, kemana dia? Tidak biasanya. Ibu dikaruniai Adam ketika aku berusia 13 tahun.

"Belum, Pak."

"Loh, kemana?"

"Paling main, biarin Pak." Ibu menyahut sambil membuat adonan tepung untuk tahu goreng.

"Mau Bapak suruh anyam daun kelapanya, biar nanti sore bisa dipasang."

"Bapak aja dulu yang anyam."

Adam memang baru berumur 10 tahun, tapi dia biasa disuruh Bapak mengerjakan pekerjaan yang harus dibisakan laki-laki. Karena habis dia selesai sekolah, otomatis bantuin Bapak dikebon. Sekolah? Bapak dan Ibu cuma bisa menyokalahkan kami sampai tamat SD. Akupun demikian. Sekarang umurku sudah 23 tahun. Kata tetangga, sayang sekali cuma tamat SD, padahal nanti juga bisa dapat beasiswa kalo mau lanjut SMP, SMA atau sampai kuliah. Tapi Bapak dan Ibu hanya bisa memberi alasan jika aku dan Adam harus lebih bisa belajar mencari uang.

Aku tidak keberatan, daripada aku membenani mereka dengan merengek minta uang saku dan bayar keperluan sekolah. Tamat SD, tidak apa-apa, karena banyak diluar sana yang sukses meski pendidikannya rendah. Seperti buku yang pernah aku baca di perpustakaan dan masih aku ingat jelas, buku yang mengisahkan kehidupan Chairul Tanjung 'si anak singkong'. Alih-alih waktu kelas 6 SD disuruh membaca buku pelajaran, aku justru tertarik pada satu buku biografi tersebut. Sosok beliau yang terlahir buka dari keluarga kaya raya berjuang sendiri untuk membayar kuliahnya. Julukan 'Si Anak Singkong' yang melekat pada beliau mendeskripsikan orang pinggiran pada masa itu. Beliau sukses membuktikan jika siapapun bisa mencapai kesuksesannya. Aku suka buku semacam ini, kisah menginspirasi yang memotivasi.

Pernikahan JelitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang