Meski Mas Raka bilang untuk tetap fokus pada kami dan masa depan, tapi aku belum bisa. Jujur, aku jadi semakin penasaran. Banyak pertanyaan dikepalaku. Lagipula hidup memang tidak terus berjalan mulus, kehidupan yang merubah keadaanku dan keluarga tentu masih ada cela.
Karena Mas Raka tidak menjelaskan secara intinya, aku turut berpikir, sulitkah untuk menjelaskan agar aku tidak diambang kebingungan seperti ini? Dia hanya mewanti agar aku tidak memikirkan pada apa yang dikatakan bulek. Mungkin, kah aku tidak berhak tahu?
Jumat kemarin Mas Raka tetap berangkat kerja walaupun dia masih merasa mual. Sehingga di hari sabtu ini, dia benar tidur-tiduran saja. Tapi ketika sudah masuk siang dia bangun mencariku yang masih di kebun belakang, dia jadi ikut-ikutan.
"Kalo sayur bisa dipanen terus, kamu masakin tiap hari aja, Dek." ucapnya sambil mencabuti rumput.
"Aku sendiri yang makan dong?"
"Aku minta."
"Mas Raka mau kalo aku masakin sayur tiap hari?"
"Iya gapapa, tapi sama masakan yang lain juga ya."
Cukup heran karena Mas Raka yang minta sendiri untuk aku masak sayur setiap hari. Dia tidak akan marah, kan?
Selesai kegiatan di kebun sembari mencari keringat pagi, kami masuk. Aku langsung mengolah sayur hasil panen kecil-kecilan tadi. Sawi akan aku oseng campur dengan sosis dan bakso. Terong serta tempe aku goreng saja dan membuat sambal terasi.
"Dek, minggu depan pulang ke Salatiga ya?"
Aku yang sedang memotong-motong di meja langsung menatapnya dengan bahagia. Aku sudah sangat ingin pulang melihat bapak, ibu, dan Adam lagi.
"Boleh, Mas."
"Naik kereta aja ya?"
"Kereta? Iya gapapa, aku belum pernah naik."
"Kamu senang?"
Aku menoleh padanya lagi dengan senyum, "Senang, Mas. Karena mau pulang, aku udah kangen sama bapak ibu, terus mau naik kereta juga. Kalo sesuatu yang belum pernah aku lakukan terjadi, rasanya senang banget."
"Aku senang kalo kamu senang, Sayang."
Kami bertatap dalam, hatiku selalu menghangat jika dia begini. Mengutarakan rasa lega hatinya karena aku. Aku tersanjung, menjadi wanita yang disayanginya sekarang. Tidak pernah aku membayangkan akan merasakan hal seperti ini. Orang yang mendapat takdir sepertiku mungkin sama berpikir demikian. Memang, tidak ada yang tidak mungkin. Aku percaya, aku bisa menjadi sosok yang pantas. InsyaAllah.
Aku berdoa, agar aku dan Mas Raka diberikan kehidupan baik bersama-sama.
Suara ketukan pintu terdengar sepagi ini. Mas Raka yang beranjak untuk membukanya.
Dari dapur aku mendengar obrolannya dengan seorang pria. Siapa? Mas Raka membawa seseorang ke dapur.
"Lita lagi masak makan siang, Pa? Duduk sini aja." katanya. Aku tahu sekarang, sepertinya dia Om Nuha.
Aku menangkup tangan dan masih melanjutkan urusan masakku.
"Masak apa nih, Lita?" dia bertanya, suaranya ramah, maaf, beda dengan bulek Dewi kemarin.
"Oseng sayur sama tempe goreng aja, Om."
"Enak ya, masakan kampung langsung bikin kangen dan lapar." dia tergelak bersama Mas Raka yang menyetujui ucapannya.
"Makan sekalian ya, Om."
"Boleh. Emang main kesini mau sekalian minta makan, Ta." dia terkekeh.
"Papah modus banget."
"Gapapa, Mas. Om sendirian?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Pernikahan Jelita
Ficción GeneralJelita diambang kebingungan karena tiba-tiba juragan kaya di kampungnya datang dan mengutarakan permintaan menjodohkan dirinya kepada sang anak sulung yang bekerja di Jakarta, bernama Raka. ©Oktober 2022