15. Satu foto terselip di rak buku

8.6K 534 3
                                    

2 bulan menikah, aku telah terbiasa di rumah besar ini. Tetap melakukan pekerjaan rumah, bercocok tanam, telpon dengan bapak dan ibu, dan mengobrol sejenak dengan tetangga samping yang baru punya anak jadi pagi-pagi sering menjemur bayinya. Aku sudah mulai kenal tetangga dekat rumah. Jadi aku tidak merasa sendirian. Beberapa hari lalu, Mas Raka juga membelikan ku sepeda, agar jika aku butuh sesuatu bisa mudah.

Sejujurnya setelah menikah ini, waktuku lebih banyak luang. Tidak seperti dulu yang setiap waktu ada kegiatan.

Dulu, aku hanya di rumah membantu bapak ibu, dan Adam. Tidak berpikir apakah aku harus kerja. Aku tidak tahu jika akan ada tempat kerja yang menerima lulusan SD. Ada, kah? Sehingga aku hanya memikirkan membantu dirumah saja.

Mungkin seperti bulek Dewi hanya melihat satu sisi, aku dirumah, yang didalam anggapannya tidak melakukan apapun, mungkin juga yang dimaksud melakukan sesuatu yang menghasilkan uang. Berjualan tentu menghasilkan uang meski tidak menentu, kadang membantu ibu masak-masak ditempat orang hajatan atau arisan, pun diberi upah secukupnya atau secepon beras. Membantu bapak dikebun orang, cukup diberi upah sayurnya untuk masak.

Aku tidak tersinggung, hanya saja kenapa beliau bicara seperti itu padaku?

Setelah kemarin ke rumah bulek, aku dan Mas Raka tidak membahas apapun. Setelah dari bulek, Mas Raka lanjut mengajakku jalan-jalan sampai malam, melihat monas dan bangunan-bangunan tinggi dengan lampu indah.

Handphone di saku gamisku berbunyi, telepon dari Mas Raka. Tumben sekali.

"Assalamu'alaikum, Dek. Bisa tolong lihatin surat di meja kamar yang udah aku siapin tadi malam?" katanya terdengar cepat.

"Oh iya, bentar,"

Aku buru-buru masuk kamar dan melihat yang dia maksud. Ada. Mungkin Mas Raka lupa membawanya. Aku tidak tahu itu apa.

"Ada, Mas." jawabku.

"Alhamdulillah, tadi aku lupa bawa. Ya sudah deh, udah terlanjur, besok aja aku bawa lagi."

Seandainya surat itu penting dan aku tahu harus dibawanya tadi pagi, pastinya aku akan mengingatkan. Sayangnya Mas Raka juga tidak bilang untuk mengingatkannya.

"Nggak dimarahin, kan?"

"Nggak kok, cuma akunya aja yang nggak enak. Ya udah, terimakasih. Kamu lagi apa?"

"Habis masak."

"Wah, masak apa, Sayang?"

"Ayam goreng sama oseng tahu tempe tanpa sayur." Aku menekankan di dua kata terakhirnya. Ya aku sekarang masak dengan hati-hati agar Mas Raka tidak mempermasalahkan seperti waktu lalu. Kadang aku tanya dulu, apakah dia mau kasih sayur atau tidak. Sedangkan masak hari ini, di kulkas hanya tersisa itu saja, jadi aku olah sebelum basi. Tukang sayur yang biasanya tidak terlihat datang pagi tadi dan selain aku, ibu-ibu yang lain sangat menyayangkan ketidakdatangannya.

"Enak banget itu. Aku belum makan siang."

"Kenapa? Sibuk ya?"

"Iya."

Kalo aku tahu caranya datang ke kantor Mas Raka, aku pasti akan mengantarkan makan siangnya. Kota Jakarta yang aku lihat ini sangat ramai, banyak jalan, dan belum tahu naik kendaraan apa.

"Kalo udah nggak sibuk, langsung makan ya."

"Iya, Dek. Kalo gitu, aku tutup ya. Hati-hati di rumah. Assalamu'alaikum."

Sejauh ini aku sudah cukup bisa menggunakan benda canggih di masa kini yang semakin dibutuhkan. Telepon dan kirim pesan sudah biasa, tapi diajarkan Mas Raka ada aplikasi yang digunakan lebih sering ketimbang pesan biasa, namanya Whatsapp, dia membuatkan akun untukku juga. Aku lumayan bisa. Lalu, youtube, aku jadikan selingan jika bosan menonton TV. Youtube yang aku tonton, punyanya Gistara Helda dan sudah menontonnya satu per satu. Sebab penasaran sekali.

Pernikahan JelitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang