Kalo melihat istri tiba-tiba menangis tanpa diketahui alasannya itu benar-benar membuat jantungku hampir lepas dari tempatnya. Aku Tanya dia kenapa tapi menolak jawab dan ternyata malah nangis, yang katanya karena rindu orang tuanya. Ini pertama kali dan rasanya aku tidak ingin melihatnya menangis lagi, lebih baik tersenyum saja. Ya, ini masa adaptasinya, pasti tidak mudah.
Beruntung hari Minggu ini, kami diajak Aris dan Priska untuk lihat-lihat tanaman di Senayan. Sekalian agar Jelita bisa lihat-lihat kota ini dan tidak bosan dirumah terus.
Kami terus menyusuri tiap-tiap tanaman yang dijual. Tempat ini memamg sering kami kunjungi dan menjadi langganan untuk menambah tanaman dikebun belakang rumah. Aku memperhatikan Jelita, dia terlihat tertarik dan matanya sibuk kemana-mana, sesekali menanggapi Priska dan tanya-tanya. Aku hampiri dia, tidak dipungkiri, kalo berada didekatnya membuatku merasa lebih nyaman.
"Ini bagus, mau?" aku menunjuk anggrek bulan warna putih yang digantung ditiang dekat kami.
"Nggak ah, aku takut anggreknya mati, Mas."
"Peliharanya mudah kok. Dia kan tipikal tanaman yang nggak ribet, media tanamnya ditempel, disiram sama cukup kena sinar matahari. Bunganya cantik dan baunya harum."
"Lebih senang nanam sayur-sayuran, karena udah terbiasa dirumah, bantu Bapak dikebun orang, kalo udah panen dikasih hasilnya, buat masak dirumah. Kan, alhamdulillah nggak usah beli."
Aku tersenyum, tidak terkejut kalo Jelita akan begini, dia lebih realistis, mengutamakan manfaat ketimbang kepuasan mata. Sudah terbiasa merawat sayur-sayuran di kebon juga.
"Ya udah, sesuka kamu aja. Biar dirumah nggak bosen." Aku membelai sisi wajahnya.
Priska mendekat pada kami.
"Wah, anggrek bulannya cantik banget! Kesukaan Helda nih, Mas Raka."
Aku terkejut ketika Priska menyebutkan nama Helda.
"Iya, cantik." balasku seadanya. Karena suasana hatiku berubah, lebih ke tidak suka mendengar nama dia ketika dia sendiri jauh dan lama tidak kembali, juga ada istriku, Jelita.
"Helda udah punya ini belum ya? Kalo dia disini pasti udah langsung minta Mas Raka buat bungkusin."
"Helda jauh, Pris." Aku ingin sekali menegur Priska untuk tidak melanjutkan pembicaraan tentang dia lagi. Aku melihat Aris jauh dari kami sedang bersama anaknya.
"Jadi kangen deh, pingin ketemu lagi. Kabarin dong Mas, suruh dia pulang sekali-kali. Udah 5 tahun belum ketemu."
"Telepon sendiri aja. Kemarin katanya masih sibuk sih." Aku menjawabnya sedikit ketus, dengan harapan dia bisa sadar diri.
"Helda nggak ada bedanya, sibuk terus ya."
"Dia ambisius."
"Jahat banget lupain teman-temannya."
Helda adalah mantan pacarku saat masih di bangku kuliah Sarjana. Dia yang membuatku memulai sebuah jalinan asmara, cinta-cintaan saat dewasa muda yang tidak aku pungkiri indah. Tapi ya kami harus putus karena ibuku tidak setuju, sedangkan mama menjadi pihak pertama yang mendukung kami. Tapi aku sebagai anak kandung ibu, aku tetap menurutinya. Bukan terpaksa, melainkan ikhlas. Karena aku tahu, orang tua itu tidak akan salah memilih keputusan untuk anaknya.
Termasuk menikah dengan Jelita. Itu tidak salah.
Wanita itu sedang terdiam melihat bunga namun tidak fokus, dia mendengarkan kami. Wajahnya penuh tanya.
Aku memilih untuk bersama Aris saja, tidak mau membuat Priska meneruskan bicaranya tentang Helda.
------------
KAMU SEDANG MEMBACA
Pernikahan Jelita
General FictionJelita diambang kebingungan karena tiba-tiba juragan kaya di kampungnya datang dan mengutarakan permintaan menjodohkan dirinya kepada sang anak sulung yang bekerja di Jakarta, bernama Raka. ©Oktober 2022