Hari ini, aku dan Ibu libur jualan telur gulung dulu, Bapak juga tidak ke kebon. Kami jalan kaki ke rumah keluarga juragan kaya dikampung kami. Jaraknya cukup dekat. Dari gubuk kami sebenarnya sudah bisa melihat rumahnya. Rumah dua tingkat satu-satunya dikampung ini, yang ada gerbangnya sendiri, paling luas, dan paling mewah. Mungkin 1:100 dengan gubuk kami. Aku tidak boleh membanding-bandingkan.
Kami memakai pakaian terbaik kami, agar terkesan rapi dan bersih. Khusus untuk bertamu ke kediaman Pak Haji Salman. Adam tidak ikut, dia sekolah, dan kami juga belum bicara padanya tentang hal ini. Entah akan bagaimana responnya.
Bapak memanggil orang yang sedang menyapu halaman berpaving segi enam.
"Mau ketemu sama Pak Haji, ada dirumah, Mas Komar?" Bapak bertanya pada orang tersebut yang kelihatan lebih muda dari Bapak.
"Ada didalam, Om Adi. Monggo." sila orang itu.
Aku membuntuti Ibu, bersamaan debaran jantung yang tidak karuan. Disisi lain aku harus jaga sikap, disisi lain aku ingin melihat kesana-sini. Jarang sekali aku bisa masuk kesini. Paling jika masuk lewatnya langsung dipintu belakang menuju dapur kotor, kalau sedang membantu Ibu masak-masak disini.
Baru aku ketahui, ada air terjun buatan yang gemericiknya seperti air sungai menenangkan, dibentuk begitu bagus, dipercantik dengan ikan warna-warni yang berwara-wiri dengan senangnya. Tanaman-tanaman Bu Hajjah Nurul ternyata banyak juga, jadi halaman yang cukup luas ini penuh hijau asri dan menambah segar selain udara pedesaan. Ada motor dan mobil yang terparkir juga.
Hampir saja aku kesandung, tidak melihat keset tebal dan menginjak lantai kinclong dengan sandal kotorku. Aku meringis ketika Ibu memegangi lenganku.
Om Komar mengantar kami masuk dan langsung ketemu dengan Pak Haji dan Bu Hajah yang sedang mengobrol sambil nonton TV.
"Loh, Pak Adi." Pak Haji Salman terkejut melihat kami.
"Monggo, duduk-duduk. Bu, bikin minum sama ambil cemil-cemil ya." beliau menitah Bu Hajah yang kemudian dituruti.
Kami duduk di sofa empuk yang memanjakan pantat kami karena terbiasa duduk di kursi rotan keras dan sudah reot. Alhamdulillah.
Aku melihat ke sekeliling rumah ini, tingkat duanya kelihatan. Beliau punya jam dinding besar seperti lemari, meja dihadapan kami pakainya marmer, lantai yang kami pijaki juga bersih dan adem. Semoga gubuk kami juga bisa pakai lantai keramik nantinya, biar adem dan selalu bersih. Dan aku bisa melihat dapur bersih dari sini, tidak terlihat panci pantat gosong disana, pun kompor minyak. Tentu saja sudah mengikuti benda-benda modern jaman sekarang. Sedangkan, di gubug kami masih masak pakai tungku, untuk jualan kami pakai kompor minyak didalam gerobaknya. Ditengah dapur ada meja makan juga. Kami nggak punya, biasanya makan lesehan di karpet tipis.
Sudut demi sudut aku amati, tidak ada sarang laba-laba juga, kalo gubuk kami banyak. Tapi gentengnya tidak kelihatan, atapnya pakai plafon. Jadi udara tidak bisa nyelonong masuk mendinginkan penghuninya. Dinding putih tulangnya banyak dihiasi hiasan dan foto-foto. Satu foto mencuri perhatianku, dibingkai cukup besar, menampilkan 4 orang, Pak Haji, Bu Hajjah, laki-laki dewasa berjas, dan perempuan remaja yang paling riang posenya. Laki-laki itukah yang bernama Raka? benar kata Bapak, dia... tampan. Bagaimana jika melihatnya secara langsung?
Semua disini, sangat jauh berbeda dari tempat tinggal kami. Paling bisa disebut tempat tinggal yang layak karena benar-benar melindungi penghuninya.
Ngomong-ngomong, aku terlalu berlebihan. Tidak memperhatikan Bapak dan Pak Haji yang sudah mulai mengobrol. Bapak belum bicara ke intinya, kan?
"Katanya besok minggu Raka itu mau pulang." ujar Pak Haji.
"Iya, Pak Haji?"
"Tapi bilangnya cuma bisa sehari, minggu pagi naik kereta, malamnya langsung balik. Alhamdulillah sekali-kali bisa pulang."
"Mas Raka berapa sekali pulang ke sini, Pak?"
"Setahun sekali pas lebaran aja, bayangkan. Punya anak jan sibuk banget kaya gini."
Lebaran? Aku dan keluarga kadang ikut salaman lebaran ke rumahnya Pak Haji yang setiap lebaran bagi-bagi THR untuk warga sini. Tapi aku nggak melihat laki-laki itu yang pastinya masih muda. Apa kebetulan tidak bertemu saja ya, tapi masa' bertahun-tahun seperti itu terus. Apakah sosok Mas Raka itu orangnya pendiam dan menyendiri tidak suka keramaian?
"Nggak apa-apa, Pak. Alhamdulillah Mas Raka diberi pekerjaan yang baik, untuk masa depannya juga, kan."
"Iya juga, Pak. Nah, saya berharap kalo menikah sama Mbak Jelita, kan nanti Raka bisa sering pulang."
Loh, kok aku disebut?
Bapak senyum-senyum. Kemudian, seperti didorong untuk mulai mengutarakan jawaban atas niat Pak Haji kemarin, Bapak memperbaiki postur duduknya.
"Begini, Pak. Tentang kemarin. Mohon maaf sebelumnya, kami ini seperti mendapatkan berlian ditumpukan jerami. Dari banyak kekurangan kami, Pak Haji malah berniat meminta anak kami ini."
"Saya sudah bilang, keluarga kami tidak memandang strata, Pak. Saya murni melihat bapak sekeluarga adalah orang yang baik. Kami kenal bapak dan ibu, orang tua hebat yang mendidik anaknya jadi baik dan penurut begini. Ibu selalu cerita sama saya, anak gadisnya Pak Adi kalem, nurut banget, mau bantuin jualan, bantuin masak-masak kalo ada acara, nggak neko-neko, juga sederhana. Pas buat Raka." Pak Haji berkata begitu. Aku yang seperti mendapat pujian, nunduk saja, bersyukur jika orang memandangku dengan baik. Semoga aku bisa selalu jadi orang baik dan banyak berbuat baik.
"Tapi maaf, jikapun pernikahan itu terjadi, pasti diselenggarakan dirumah mempelai putri. Sedangkan, rumah kami cuma gubuk yang kalo kena angin kencang bisa saja rubuh, nggak layak, Pak."
"Kami nggak masalah, Pak Adi. Kalo perlu, akan kami renovasi langsung."
"Ya Allah, " Bapak melayangkan tatapan tidak menyangka.
"Kami ini hanya merepotkan, Pak.""Pak Adi, kita berdoa saja, semua urusan bisa dilancarkan sama Allah. Nggak ada repot-repot."
"Pak Adi dan Bu Aminah, kami akan senang kalo kita semua bisa jadi satu keluarga."
Aku tertegun pada suara Bu Hajjah yang selalu lembut, kedua orang dihadapan kami sama-sama berwajah bersih dan bersinar, adem dipandang. Dan semudah itu mereka percaya pada kami yang orang tidak mampu ini sebagai hal bahagia untuk mereka. MasyaAllah.
"Mbak Lita, kalo sering main sama Amel, dia pasti bakal cerewet ceritain Mas Raka. Sekarang Amel-nya lagi sekolah."
Aku hanya tersenyum dan mengangguk. Amel, anak bungsu beliau, dia sekolah SMA, anaknya cantik dan riang, tapi aku jarang bersamanya. Selain karena usia yang lebih tua, aku juga segan.
"Jadi, intinya bagaimana ini Pak Adi? Kami diterimakah?" Pak Haji terlihat tidak sabar dan penasaran, bertanya dengan kesan seperti menunggu pengumuman arisan.
"Biar anak saya yang jawab, Pak Haji."
Bapak mengusap punggungku. Aku bingung akan merangkai kalimat bagus bagaimana agar bicaranya lancar, nggak belepotan.
Aku tersenyum menatap Pak Haji dan Bu Hajjah yang menunggu diriku bicara.
Hah. Aku hela napas tanda siap.
"Saya memang bukan anak dari keluarga yang sepada dengan keluarga Pak Haji. Semoga kedepannya tidak jadi masalah. InsyaAllah, saya bisa menjadi menantu yang akan selalu berusaha menjadi baik untuk Pak Haji dan Bu Hajjah."
Wajah beliau berdua menyurut tenang seperti beban yang ada, terangkat begitu saja. Senyum hangat semakin mengembang untukku. Apalagi Bu Hajjah bergerak ke arahku dan memelukku.
"Alhamdulillah, terimakasih ya Mbak Lita. Ibu senang sekali. Mbak Lita baik, Ibu percaya, Mas Raka juga senang."
Aamiin. Semoga 'dia' pun sama hangatnya dengan kedua orang tuanya.
--------
Makasih udah di baca teman-teman baikku 🥰
KAMU SEDANG MEMBACA
Pernikahan Jelita
General FictionJelita diambang kebingungan karena tiba-tiba juragan kaya di kampungnya datang dan mengutarakan permintaan menjodohkan dirinya kepada sang anak sulung yang bekerja di Jakarta, bernama Raka. ©Oktober 2022