4. Itu semua dari 'dia'

8K 621 7
                                    

Pak Haji benar mewujudkan perkataannya, didepan gubuk kami tiba-tiba datang beberapa truk membawa pasir, batu bata, dan bahan bangunan lainnya. Semua lengkap.

Gubuk kami yang reot dan sewaktu-waktu bisa roboh dengan mudah diterpa angin. Hari ini, tepatnya satu minggu setelah pertemuan itu, gubuk kami direnovasi. Bapak dan Ibu tidak mengapa, justru banyak bersyukur, meski harus merelakan berbagai kenangan yang telah terjadi di gubuk kami harus hilang dan akan mulai digantikan dengan kenangan baru.

Sekarang kami sedang menghadap gubug kami yang tiang-tiang bambunya sudah diikat dengan tali dan akan ditarik oleh tukang-tukang. Bapak dan Ibu tidak bisa membendung air mata. Sedangkan aku dan Adam diam saling memeluk. Ini tidak dramatis, kan, kami benar-benar sangat sedih tapi juga ikhlas demi kehidupan kami kedepannya. Mumpung ada rejeki dari Allah yang diperantarakan kepada orang pilihanNya.

Adam sudah aku beritahu jika aku akan menikah. Responnya? Nangis. Dia bilang kalo aku tidak akan dirumah kami lagi bagaimana, tidak bisa mengajarinya saat belajar bagaimana, tidak bisa membuatkan donat kampung dengan taburan gula halus kesukaannya bagaimana, tidak bisa mencari daun singkong bersama bagaimana, dan masih ada lagi, entahlah dia begitu merana tidak akan bisa melakukan apapun lagi denganku. Kami memang sangat dekat. Bapak dan Ibu selalu menasehati, seorang saudara haruslah saling bahu membahu dalam senang maupun susah selamanya. Memiliki adik yang jarak usianya cukup jauh, membuatku seperti jadi Ibu. Lucu, kan? Hihi. Tapi aku juga belum tahu nanti setelahnya bagaimana.

BRUK. Suaranya begitu menghantam hati kami. Bapak dan Ibu sampai terjatuh di tanah. Melihat gubuk kami sudah dirobohkan. Terlihat mengenaskan, tapi setelahnya akan dibangun yang lebih baik lagi. Tapi untuk kenang-kenangan, kata Pak Haji Salman, beliau sudah memfoto gubuk kami. Tidak apa-apa, justru kelak kami bisa mengenang perjalanan hidup kami.

Tanah seluas 50 m² akan dibuat pondasi dan dibiarkan tanah kosong saja untuk halaman. Kata Pak Haji, rumah kami, iya bukan gubuk lagi, akan dibangun dengan model minimalis tapi terasa luas. Aku tidak bisa membayangkan karena aku tidak tahu bentuknya bagaimana. Rumah kami juga akan berdiri kokoh dengan batu bata. Serta alasnya diberi keramik warna putih bersih. Ya Allah aku sudah tidak sabar untuk melihatnya.

Untuk sementara, kami diajak tinggal dirumah Pak Haji Salman, barang-barang kami sudah disana, menumpang sampai rumah kami jadi, katanya satu minggu. MasyaAllah cepat sekali ya. Tentu kami tahu, biaya yang dikeluarkan pastilah besar. Bagaimana kami akan mengembalikannya? Hutang 5 tahun lalu saja belum lunas.

"Ayo, ke rumah saja. Biar mulai dibangun." Bu Hajjah datang mengajak kami kerumahnya.

Ibu, Adam, dan aku mengikuti Bu Hajjah ke rumah, sedangkan Bapak mau ikut bantu-bantu. Sebenarnya tidak enak, sebagai orang yang menumpang sementara, kita harus sopan dan hati-hati. Ketika Adam melihat mobil-mobilan seperti mobil beneran yang mungkin sengaja dipajang di lemari besar dan mau mengambilnya, aku langsung menepuk pelan tangannya.

"Dam, kita disini cuma numpang ya. Jangan bikin ulah."

"Nggak kok, Adam mau pegang bentar aja. Kok bagus ya, Mbak. Pengin punya, hehe." Dia meringis cengengesan. Aku memaklumi, Adam masih 10 tahun. Tapi Adam tidak boleh sembrono begini.

Aku tersenyum, "InsyaAllah bisa beli mobil-mobilan ya."

Aku pun Adam tidak pernah beli mainan, mainan kami hanya buatan dari tangan Bapak, seperti boneka wayang dan pedang-pedangan dari daun janur, mobil dari kulit pelepah pisang, juga main permainan tradisional.

"Semoga bisa naik mobil beneran juga ya, Mbak."

Rambut cepaknya aku acak, Adam itu adik menggemaskan, dia nggak nakal, lebih ke anak laki-laki kalem, polos, dan penurut.

Pernikahan JelitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang