10. Mengobrol sebelum tidur

9.6K 609 2
                                    

"Jangan tidur dulu, kita ngobrol ya."

Aku yang sudah masuk ke selimut dan akan merebahkan diri pun tertunda. Lalu mengikuti Mas Raka yang bersandar di sandaran tempat tidur. Dia ingin mengajakku mengobrol apa. Aku memperhatikannya yang sedang menata batal di belakang punggung, sedikit mendekat padaku juga melakukan hal yang sama pada bantalku. Setelahnya dia menjatuhkan tangannya dibelakang punggungku. Membuatku gugup tidak terkira. Bagiku kedekatan seperti ini hal yang asing, untuk membiasakannya butuh mungkin waktu lama. Tapi bagi Mas Raka mungkin hal yang memang harus dia lakukan agar aku terbiasa. Jika kami sama-sama gugup dan malu, bagaimana bisa dekat? Aku bersyukur akan hal tersebut, tepatnya, karena aku tidak sepercaya diri itu untuk memulai sebuah pendekatan.

Atau, mungkin Mas Raka sudah biasa melakukan begini pada mantan pacarnya? Yang kata Amel sudah putus lima tahun lalu. Atau, masih ada lagi. Atau memang sikap dia begini. Atau, aaah, aku tidak ingin menduga-duga.

"Tadi ngapain aja?" dia mulai bertanya, maksudnya kegiatanku hari ini.

"Aku pagi beli bahan-bahan buat masak, habis itu bersih-bersih sambil keliling mengamati rumah kamu, siang aku ketiduran, terus sorenya masak. Maaf ya kalo aku lancang."

"Lancang gimana? Ini, kan udah rumah kamu juga." dia heran padaku. Iya juga sih, tapi aku masih pekewuh dirumahnya. Ingin menggunakan barang-barang dan memasuki ruangan-ruangannya belum enak hati.

"Pekewuh, Mas. Maaf ya."

Mas Raka mengambil tangan kiriku, dia tersenyum, "Oke, nanti kamu terbiasa. Asalkan selalu bisa jaga kebersihan dan kerapian aja, biar enak dipandang tamu."

"Iya, aku suka bersih-bersih. Walaupun dulu rumahku sering kotor, lantainya bukan keramik, kadang atap daunnya jatuh, banyak semut tanah, sesering mungkin aku bersihin. Beda sama rumah Mas Raka, keliatan bersih banget."

"Padahal aku juga jarang bersih-bersih."

Aku menoleh padanya yang agak dekat denganku, "Mas nggak ada pembantu?"

"Pembantu buat apa? Aku cuma tinggal sendiri. Jadi aku urus semuanya sendiri."

"Kirain."

"Aku suka bercocok tanam, kamu udah lihat di belakang ada sedikit tempat? aku tanami sayur-sayuran."

"Aku belum kebelakang."

"Besok aku kasih lihat."

"Aku juga suka tanaman, sering bantu Bapak nanam ketela sama jagung di kebun orang."

"Kamu bisa lanjutin tanam yang lain, bunga juga boleh, sekalian beli pot juga nggak apa-apa."

"Oh iya, tadi pas beli sayur ketemu ibu-ibu disini, ada Bu RT juga, katanya aku disuruh ikutan arisan RT besok sekalian perkenalan. Karena semua ibu-ibu disini ikut. Menurut Mas Raka, aku boleh ikut?"

"Ya boleh aja, nggak apa-apa. Ibu-ibu disini baik. Aku juga sering ikut ngumpul bareng bapak-bapaknya. Tapi kalo udah diajak ghibah, jangan mau ya."

Aku mengangguk padanya dengan senyum. Baru aku sadari dia menatapku sangat dalam, bagai menyelami lautan hingga dasarnya. Mata Mas Raka yang bulat dan bola mata berwarna coklat tua itu membuatku tidak tahan menatapnya. Ya Allah, kenapa dia menatapku seperti itu? Apa ada sesuatu di wajahku? Aku tadi cuma wudhu saja, tidak memakai perlengkapan perawatan wajah seperti yang aku dengar dari gadis-gadis masa puber di desaku, layaknya Amel, yang pernah aku lihat di mejanya ada beberapa botol perawatan wajah.

"Em, Mas Raka nggak ngantuk?" tanyaku untuk mengalihkannya.

Tatapan matanya teralihkan sejenak, "Belum, soalnya aku mau ngobrol sama kamu."

Pernikahan JelitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang