13. Duduk berdua mempertanyakan hidup

9.7K 591 8
                                        

Sabtu malam atau malam minggu, Mas Raka mengajakku menggelar tikar diteras belakang yang cukup luas untuk kami duduk-duduk. Sembari menyantap mie instan berkuah dan cemilan intip. Semilir angin menghembus tubuh kami dan menggoyangkan tanaman buah dan sayur dikebon kecil tepat didepan kami.

"Habis hujan malah banyak bintangnya ya, terang cantik bercahaya. Kaya orang yang ada disampingku."

Hampir saja tersedak dan mangkuk mie kuah ditanganku tumpah jika aku tidak sigap.

Mas Raka malah tergelak melihatku yang kaget karenanya. Ku kira dia akan berpuisi atau berkata biasa, namun diakhir dia malah menggombaliku.

Aku berdecak dan tersenyum kecil, "Apaan sih, Mas."

"Maaf, maaf. Padahal kesannya biar romantis, habis hujan, dingin-dingin sambil makan mie kuah di malam hari, cuma kita berdua duduk berdampingan."

Iya tadi sore hujan, otomatis malamnya suhu jadi dingin sekali, tapi kami malah dibelakang. Tidak peduli nyamuk terbang dan hinggap menyedot darah kami.

"Tapi cukup aneh didengarnya, Mas."

"Kamu diajak romantis nggak mau, ah nggak asik deh." Dia meletakkan mangkuknya ditikar.

Aku menggaruk pucuk hidungku karena tiba-tiba dia bertingkah ngambek. Dia memang manja dan mudah merajuk. Dia berkata ingin agar kami romantis. Hah. Yang ada aku malu tidak ketulungan atas kata-kata manisnya. Belum pernah merasakan itu sehingga aku merasa aneh. Keromantisan yang aku tahu dari Bapak dan Ibu hanya Ibu yang selalu cium tangan bilamana Bapak mau kerja dan Bapak cium kening Ibu. Aku orang biasa, aku tidak pernah menjalin hubungan, aku tidak tahu menahu apa yang dilakukan lawan jenis  diluar sana. Aku hanya mengikuti alur saja.

"Maaf, Mas. Aku belum terbiasa aja."

Mas Raka menoleh, "Gapapa." sembari senyum kecil.

Dia tidak kecewa, kan? Satu sekelumit cerita Amel mampir di ingatanku. Mas Raka itu manis dan romantis. Dia pernah menembak pacarnya di atas kapal pesiar. Itu romantis, bukan? Tentu saja dia sudah terbiasa begitu jadi sempat-sempatnya menggombal dan menggodaku, seperti yang dia lakukan pada, Mbak Helda? Ya?

Sudahlah. Malam berbintang sempurna ini seharusnya tidak aku kacaukan dengan pemikiranku.

"Dek, selama hidup, apa yang kamu rasakan didunia ini?"

Aku menoleh padanya yang sedang memandang langit. Kenapa bertanya tentang rasanya kehidupan? Heran saja, karena terdengar formal di telingaku, haha.

"Hm? Aku bersyukur saja."

Jawabanku lantas membuatnya menoleh cepat dan mengerutkan mata, "Memang begitu. Maksudnya, kamu ada nggak terima dengan yang terjadi atau terlalu pasrah sama keadaan, begitu."

"Nggak bisa pasrah, Mas. Tetap harus bersyukur dalam keadaan apapun. Kami hidup cukup tapi kadang juga kekurangan, kami lelah untuk cari sesuap nasi, kadang kami nggak bisa makan nasi jadi ganti makan singkong rebus saja. Kami kedinginan setiap malam dari lubang-lubang kayu, tapi kami bersama-sama menghangatkan diri. Kalo hujan atap banyak bocor, atap kami pakai daun rumbai-rumbai, bapak harus menganyam dan sering menggantinya. Aku hanya tamat SD, Bapak dan Ibu bekerja serabutan. Kalo apa yang aku rasakan dalam hidup ini? Tentu aku ingin dilebihkan, ingin Bapak dan Ibu nggak keras-keras banting tulang. Keadaan apapun kami syukuri dan sabar, nggak apa-apa serba kekurangan. InsyaAllah, di waktu yang tepat Allah kasih kelebihan."

"Dan aku melihatnya, Allah kasih Mas Raka dan keluarga membantu kami dengan baik."

Senyum lebar terkembang di sudut bibirnya. Kemudian lagi tangannya mampir mengusap pipiku.

"Kami juga ditunjukkan untuk tidak menghamburkan dan menuai kelebihan terus. Kami harus ingat berbagi ke semua orang. Kami juga dituntun untuk nggak melihat ke atas terus, sesekali lihat ke bawah. Jadi, kalo aku sendiri, aku merasa hidupku ingin biasa-biasa saja. Tapi kenyataannya nggak begitu."

"Nggak begitu bagaimana, Mas?"

Dia beralih ke hamparan tanah basah, menatapnya dengan bibir yang menukik ke bawah.

"Om berbeda dengan Bapak dan Ibu. Bapak dan Ibu terbawa suasana didesa dari jaman dulu jadi mereka tetap hidup sederhana ditengah kata orang kami orang terkaya dikampung. Aku nggak diasuh 100% sama mereka. Ada rasa menyesal sih. Karena aku hidup dengan om yang serba mewah, semuanya dituruti, semuanya dia berikan padaku, gaya hidupku mengikuti mereka, karena om dan bulek tidak punya anak, jadilah mereka menspesialkan aku. Aku jarang pulang, jadi Bapak dan Ibu tidak paham bagaimana aku menjalani hidup."

Aku mendengarkan, Mas Raka menghela napas berkali-kali cukup keras. Apakah dia terbebani meski diberikan banyak hal yang didapat selama ini?

"Nggak apa-apa, Mas. Tapi kita bisa lihatkan, dari kehidupan kita yang berbeda ada kesamaan, kita bisa belajar dari itu."

"Iya. Alhamdulillah ala kulli hal."

Mas Raka tetap di posisinya. Apa masih ada cerita yang dia punya? Yang mungkin antara ingin diceritakan dan tidak.

"Mas Raka bahagia?" aku berani bertanya padanya perihal yang dia ceritakan.

"Aku nggak tahu bahagia atau nggak. Tapi aku bersyukur."

Kalo dengan Mbak Helda bahagia? Sayang, itu hanya terucap didalam hatiku.

"Sekarang? Ada aku, bahagia?"

Dia menoleh cepat padaku, menatap dengan mata bulat coklatnya yang berkilauan dibawah sinar lampu.

"Aku... berusaha."

----------

Ini hari minggu, tadi kami sudah berjalan-jalan pagi di perumahan ini sekaligus menyapa tetangga-tetangga. Kami tetap butuh memperkenalkan diri sebagai pasangan suami istri agar tidak ada salah paham.

Setelahnya, pulang aku membuat sarapan nasi goreng dan telur dadar. Kami menyantap sambil menonton tv. Benda yang baru-baru ini menjadi temanku dirumah. Benda yang baru aku lihat dengan jelas didepan mata. Banyak yang bisa aku tonton dan pelajari.

Sesuatu membuatku teringat ketika sepiring nasi gorengku sudah tandas. Sedangkan Mas Raka masih mengunyah-ngunyah dengan pelan dan mata terfokus di TV.

"Mas, handphone ini bisa buat nonton yutub?" Aku menunjukkan benda lebar yang dibelikan Mas Raka.

"Bisa. Disitu sudah ada aplikasinya."

"Em, caranya bagaimana?"

Dia mengambil alih ponselku, menggeser dan membuka pada gambar merah dan muncul sesuatu.

"Emang mau nonton apa?"

"Aku dikasih tahu Mbak Priska buat nonton sesuatu, tapi nanti aja deh, aku mau nyuci. Ajarin aja cara carinya."

"Nyari channelnya maksudnya?"

"Iya mungkin."

Mas Raka menunjukkan suatu cara lagi, "Ini, kan ada tanda ini, tinggal pencet terus ditulis apa yang dilihat. Terus kalo udah tinggal pencet lagi, nanti videonya bisa ditonton."

Aku mengangguk paham dan akan mengingatnya baik-baik. Nanti aku cari sendiri saja.

Menunggu Mas Raka selesai makan, kemudian aku kebelakang membawa piring kosong kami, langsung dicuci. Namun, aku ingin segera membuka apa yang disuruh Mbak Priska saat aku main kerumahnya beberapa waktu lalu.

Pelan-pelan aku ketikan satu nama yang Mbak Priska ucapkan.

'Gistara Helda'

Banyak gambar muncul dengan menunjukkan gambar orang yang sama. Cantik sekali.

Inikah orang yang bernama Mbak Helda? Mantan pacar Mas Raka? Yang selalu masuk dalam obrolan Mbak Priska?

Tanganku terus bergerak ke bawah, banyak sekali, dengan tulisan divideonya menunjukkan keberadaan yang berbeda-beda dan ada yang gambarnya dia sedang berdandan. Aku tidak bisa membendung rasa penasaran ini, aku berniat akan menontonnya satu per satu ketika Mas Raka bekerja. Sehingga bisa leluasa melihat Mbak Helda yang sangat cantik dan anggun. Yang kala itu pasti cocok disandingkan dengan Mas Raka.

--------

terimakasih 🧚‍♀️

Pernikahan JelitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang