37. Mulai membaik

5.4K 365 20
                                    

Aku bisa berkomunikasi seperti biasa dengan teman, namun serasa kurang jika bersama Jelita. Entah sebabnya, mungkin memang butuh waktu untuk bisa mengobrol dengan leluasa dan menganggap hubungan kami ini lebih intim lagi. Melihat dari jendela kantor yang lebar jika langit sudah mulai petang, tandanya waktu pulang. Dibawah sana jalanan sudah terlihat mengular macet. Membayangkannya saja sudah malas. Namun, sesuatu lebih membuatku ingin segera pulang.

Tadi, ibu mengabari kalo bulek datang kerumah bersama Gista.

Sialan bukan. Aku menduga, mereka pasti sudah membuat Jelita tidak nyaman. Seperti ceritanya ibu kalo bulek membandingkannya dengan Gista dan merendahkanya dihadapan Gista secara terang-terangan. Aku tidak habis pikir. Bagaimana membuat mereka agar sadar?

Aku sudah menegur mereka namun kenapa masih sama. Sebagai suami Jelita, aku tentu tidak bisa mendiamkannya.

Sekarang aku menghadap bulek dirumahnya, pulang kerja aku langsung kesini.

"Mama ngapain main kerumahku tadi?"

"Lho, main emangnya gak boleh? pingin ketemu Jelita juga kok."

"Aku tahu Mama ngobrolin aku ke Jelita. Bisa nggak sih gak usah ungkit yang dulu-dulu. Mau cari apa? kenangan? aku gak akan begitu, Ma."

"Ngadu dia sama kamu?" Matanya menatapku sinis.

"Nggak ngadu atau ngadu itu hak aku buat tanggung jawab sama Jelita. Apa yang Mama obrolin?" Aku mau mendengar daeinya langsung meski sudah dengar semua dari Amel, dia juga bilang kalo tadi ada ibu dan ibu mertuaku, apa sudah bukan tidak sopan lagi kalo begitu? keterlaluan namanya. Semua kelakuan Mama ah bulek selama ini aku tahu.

"Bikin dia biar sadar diri. Kalo gak sadar berarti dia gak tahu diri. Mama cuma sukanya kamu sama Gista, Mama bilang aja kalo kamu masih suka sama Gista dan kaliam juga bisa poligami."

Aku berdecak, tidak habis pikir. Untung saja diriku masih punya rasa hormat padanya meskipun bukan ibu kandungku, tapi tidak begini caranya dia mengurusi hidupku.

"Nggak bisa Mama nerima takdir sekarang? Jelita istriku, lho. Walaupun Mama lebih tua, aku harap Mama bisa sedikit memghormati istriku dengan nggak mencelanya. Aku tahu Mama kaya gini nggak sekali dua kali."

"Nggak usah bohong. Kamu juga masih mengharapkan Gista, kan?"

"Ya Allah, ngapain, Ma?" aku menggersah keras, meski emosi tapi aku harus bisa menahannya.

"Kamu tuh nikah cuma disuruh orang tua. Yakin udah nerima Jelita? Cinta sama dia? Udah nggak punya rasa sama Gista yang bertahun-tahun jadi pacarmu sampai kamu sendiri gak bisa move on. Mamamu ini tahu kamu gimana, Ka."

"Mama gak bisa mikir gitu dong. Yang tahu cuma aku, aku disuruh berumah tangga dan nikah sama orang yang gak pernah aku sangka. Itu juga urusanku. Aku disini mau menekankan sama Mama aja, tolong, aku benar-benar minta tolong sampai sujud didepan kaki Mama pun aku bersedia. Jelita, istriku, aku sayang dan cinta sama dia, aku hormati dia. Aku gak mau menyakiti dia dengan hal-hal dimasa laluku. Dia sudah jadi ceritaku sekarang dan dimasa depan. Jelita lagi hamil anakku, Ma. Jadi aku mohon, jangan rusak rumaah tanggaku. Aku mohon juga bilang sama Gista, jangan berharap sama aku lagi. Kalo Mama emamg gak bisa nerima Jelita, ya sudah terserah, aku tidak peduli. Aaku tidak akan menemui Mama lagi. Aku bisa bahagia kok bersama keluarga kecilku."

Aku berharap setelah ini keadaan membaik. Aku dan Jelita tidak harus memiliki masalah dan kita bisa hidup dengan nyaman.

Setelahnya aku bergegas pulang. Tanpa makan malam seperti perintah Mama tadi. Aku tidak nafsu makan. Aku hanya ingin langssung pulang.

Mungkin Jelitas sudah tidur ketika aku memasuki rumah cukup gelap. Masuk ke kamar, aku melihat Jelita yang kaget melihatku pulang, kasian dia pasti lelah menghadapiku dan membawa anakku. Rasanya aku belum ingin mengeluarkan suara, emosiku masih belum stabil setelah berdebat dengan Mama tadi.

Pernikahan JelitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang