39. Sudah sayang dan cinta (TAMAT)

16.1K 569 19
                                    

Makan tanpa lauk hambar rasanya. Begitulah 2 mingguku jalani tanpa Jelita. Hidup punya istri tapi rasanya tidak punya istri. Aku seperti pria lemah yang mau apa-apa malas rasanya. Walaupun besok sabtu aku melaju ke Salatiga.

Ini Jumat saja rasanya lama sekali. Sampai diajak oleh teman kantor untuk refreshing di mushola kantor, ada kajian khusus ikhwan katanya. Judulnya pas buat aku, "Menjadi suami bertanggung jawab di dunia dan akhirat."

Ustadz Nasron, ustadz yang menjadi langganan musola setiap hari jumat di 2 minggu sekali untuk menyampaikan pengajian khusus ikhwan. Akhwat nanti ada sendiri di ruangan lain. Kata beliau, menjadi suami itu tidak hanya memberi nafkah lahir dan batin, banting tulang kerja pagi sampai sore nerima gaji tiap bulan yang nantinya akan dikasih ke istri. Tugas suami rupanya berat, bagaimana kita para suami bisa membawa semua keluarga hidup bersama di akhirat. Menuntun anggota keluargamya agar tidak merasakan panas api neraka. Mengajari keluarga ilmu agama agar rumah tangga dan suasana rumah bak berada di surga.

Alangkah gemetarnya dadaku mendengar setiap kalimat beliau. Mulai detik ini rasanya aku ingin memperbaiki dan belajar menjadi suami bertanggung jawab di dunia dan akhirat. Tidak ingin hanya memikirkan di dunia saja, jadi aku harus mulai mengatur niat dan otak agar aku sendiri mampu menjadi pemimpin dan panutan keluarga.

Aku katakan segalanya pada Jelita lewat panggilan video. Dia katanya sedang membantu ibu menyiapkan tahu bacem, risoles, dan tahu bakso untuk acara besok.

"Doakan aku biar jadi suami yang baik di dunia dan akhirat ya, Sayang."

"Aamiin. Aku juga berharap bisa jadi istri dan ibu yang baik."

"Kamu akan jadi bidadari surgaku juga."

"Dih, apaan sih bahasanya." Aku mendengar Jelita salah tingkah.

"Lho, iya benar, nanti kamu jadi bidadari surga aku. Biar kita bareng lagi disana, jadi harus sama-sama tujuannya."

"Iya aamiin. Mas, udah sampai rumah? Jangan mampir ke bulek."

Tepat sekali mobilku sampai didepan gerbang rumah, "Aku udah nggak pernah ke bulek, terakhir waktu itu aja, kok. Alhamdulillah baru sampai. Tapi sepi, Sayang."

"Iyalah sepi nggak ada aku."

"Iya rasanya hampa hidupku tanpamu, Dek. Besok aku mau berangkat jam 3 dini hari aja, biar cepet ketemu kamu."

"Kamu nanti ngantuk, bahaya."

"Gapapa, aku udah kangen sama kamu."

"Kok manja sih sekarang?"

Aku mengulum senyum, dia jadi paham sikapku sekarang yang memang agak aneh bagiku, bukan Raka yang dulu, juga bukan Raka yang sama saat bersama Gista dulu. Aku tidak akan mengingat wanita itu. Aku lebih menikmati hidup sekarang ini, hidup bersama Jelita dan anak-anak kami kelak.

"Gara-gara ditinggal kamu lama. Aku masuk rumah nih rasanya udah males. Kamunya gak ada."

"Biasa aja dong, Mas. Perasaan kamu jangan dibikin nggak enak. Ini pelajaran aja biar kita sama-sama introspeksi."

Aku sudah instrospeksi diri setiap hari. Pokoknya habis ini hidup kami makin tambah baik. Tidak akan ada masalah yang sama lagi.

"Kamu gimana perasaannya sekarang?"

"Alhamdulillah baik."

"Sama aku juga baik nggak? Apa masih ada sisa rasa benci?"

Jelita disana malah tertawa disana yang disambung dengan suara ibu yang menegurnya karena tertawa keras.

Pernikahan JelitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang