02 : Fight day

71 14 9
                                    

Aku terdiam, mengamati tubuh ringkih Soobin yang terbaring lemah di atas bangsal UKS. Wajahnya pucat pasi, aku tak tega.

Pertanyaan yang terlontar pasti, apa yang membuatmu bisa sebegitu dekatnya dengan Soobin?

Jawabannya adalah, aku nyaman saat berteman dengannya, aku tak peduli ia bisu, aku tak peduli ia dibenci banyak orang karena ia bisu, aku tak peduli pula jika ia miskin. Aku tidak pernah menyimpan perasaan tidak nyaman saat bersamanya.

Perasaan nyaman itu terus membuatku selalu ingin melindungi Soobin dari peristiwa yang membuatnya sakit, meski sampai saat ini pun aku masih belum mampu untuk melindunginya. Aku hanya ingin Soobin sehat, aku hanya ingin Soobin seperti yang lainnya. Tetapi Semesta berkata lain.

Aku beralih menggapai telapak tangan Soobin, aku rasakan telapak tangannya yang kasar itu menyentuh kulitku. Aku tersenyum, "kau harus bahagia." ucapku pelan.

"Aku akan membuatmu bahagia di tengah kejamnya dunia menyiksamu, Soobin."

── ⋆⋅☆⋅⋆ ──

Bel istirahat yang kedua telah berbunyi, aku bergegas keluar kelas untuk mengampiri Soobin di UKS. Dalam perjalananku melewati bebrapa murid laki-laki yang sedang berbisik sembari sesekali menunjuk-nunjuk diriku. Aku tahu ini pasti karena perkara tadi siang, seharusnya aku yang saat ini berbisik membicarakan mereka yang terlihat cuek dengan peristiwa tadi pagi.

Tiba-tiba aku marah.

Ceklek ..

"Soobin?" Aku celingak-celinguk memperhatikan isi ruangan tersebut yang ternyata tidak ada satu pun penghuni di sana, ke mana Soobin?

Aku kembali menutup pintu ruang UKS, lalu tubuhku berbalik. Aku terdiam di depan pintu sembari berpikir di mana keberadaan Soobin sekarang. "Hei!" Aku langsung menoleh, Ryujin memanggilku sambil memberiku satu kotak susu pisang.

Aku tersenyum lalu menerima pemberian Ryujin. "Sedang apa di depan pintu UKS?" tanyanya lalu ia beralih menyedot susu pisang miliknya. "Mencari Soobin, dia tadi siang pingsan. Aku dan Beomgyu yang membawanya ke UKS. Tapi sekarang dia malah tidak ada."

Ryujin mendengus, "kau suka padanya?" Aku mendelik, ingin memukul Ryujin sekarang juga. "Tidak hei!" ucapku tidak terima. "Kami hanya teman yang saling mengkhawatirkan satu sama lain, artinya kami peduli!" Ryujin mengagguk entah setuju atau tidak, tetapi air wajahnya mengatakan tidak sama sekali setuju. "Kau lihat Soobin tidak?"

Ryujin menggeleng, "hanya saja tadi aku mendengar Jisung dan teman-teman gengnya sedang membicarakan Soobin di kelas—sebelum bel berbunyi, tepatnya saat kelas kosong di pelajaran Matematika tadi."

"Ah, sialan!" tanpa pamit aku pergi meninggalkan Ryujin dengan masih membawa sekotak susu pisang pemberian Ryujin. Aku berlarian seperti orang gila menyusuri setiap tempat yang ada, tempat yang pertama kali aku kunjungi adalah cafetaria. Ramai sekali, antrian panjang memenuhi kantin. Aku menelisik beberapa anak laki-laki yang tampak mengerubungi sesuatu di sana. Memiringkan kepala, rupanya ada perempuan juga.

Aku melangkahkan kakiku berjalan ke arah kerumunan tersebut, aku menggeser perlahan tubuh lelaki yang menghalangi pandanganku. Di sana aku melihat Jisung, dan Soobin.

Soobin yang terduduk dengan tubuh penuh lauk pauk yang bercampur menjadi satu, sedangkan Jisung berdiri mentertawai Soobin dengan kurang ajarnya.

Aku marah,

Marah sekali.

Maka aku berjalan menghampiri Jisung lalu menamparnya. Aku tidak pernah merasakan kekuatan yang begitu besar dari tanganku—kecuali jika aku sedang berlatih taekwondo—aku benar-benar memukulnya dengan keras sehingga meninggalkan bekas kemerahan di pipi Jisung.

dear sunshine, soobin ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang