24 : December tears

22 5 0
                                    

Yeonjun pikir, hidupnya akan berakhir hari ini.

Keluarganya hancur, cintanya yang tidak terbalas, ia begitu sakit hanya untuk melihat tawa orang lain. Yeonjun ingin semuanya kembali seperti saat ia masih kecil.

Di mana ia begitu bahagia bermain dengan Juhee, di mana ia tidak pernah mendengar kedua orangtuanya bertengkar karena perselingkuhan yang dilakukan sang Ayah lalu sang Ibu yang menghajarnya karena ingin melampiaskan kemarahannya. Yeonjun bukan hanay sakit fisiknya, mentalnya pun sama sakitnya.

Yeonjun seorang diri ia tak sanggup lagi berjuang, mungkin saat ini seharusnya dia berhak bahagia bukan?

Menginjak pedal gas mobilnya dengan teguh, air mata Yeonjun mengalir deras. Jika rasanya semenyenangkan ini kenapa Yeonjun tidak melakukannya dari dulu saja, ya?

Bibir Yeonjun membentuk ulasan senyum tipis, klakson dari mobil-mobil yang melewatinya tak henti-hentinya berbunyi. Pacu detak jantungnya secara drastis memompa lebih cepat dari biasanya.

Dan ketika sebuah mobil sedan hitam yang heliangan kendali mulai melaju ke arahnya, Yeonjun pikir hari ini dia akan benar-benar berakhir.

Cahaya lampu yang terang membuat Yeonjun memejamkan matanya, dia melepas tangannya dari setir. Suara klakson yang berisik mengisi jalanan kota Seoul malam itu.

Hingga pada akhirnya kedua mobil yang melaju dengan kecepatan di atas rata-rata itu mulai bertubrukan menimbul kansuara yang sangat keras, kepala Yeonjun langsung menghantam setir serta kaca mobilnya yang langsung pecah menghantam tubuh serta wajahnya.

Bagian depan mobilnya rusak parah.

Di saat kesadaran Yeonjun mulai padam, matanya menangkap sosok pemuda yang sudah tak asing lagi baginya. Ia berjalan panik menuju mobil milik Yeonjun.

Nyatanya, Yeonjun tidak akan berakhir hari ini. Karena seseorang malaikat menyelamatkannya dari maut.

── ⋆⋅☆⋅⋆ ──

Aku berlarian sembari menangis bagai orang gila, di jalanan yang sepi penuh air menggenang aku dan kedua kakiku melangkah menuju lokasi rumah sakit yang sudah diberikan oleh Beomgyu lewat pesan.

Beomgyu bilang seorang malaikat menyelamatkan Yeonjun dari kematian tersebut dan kecelakaan terjadi tiga puluh menit setelah Soobin memutuskan untuk mengakhiri hubungan.

Aku melihat sebuah gedung dengan nama rumah sakit yang disebutkan oleh Beomgyu aku langsung mempercepatkan langkah kakiku. Ketika aku sampai, aku langsung saja menerobos tanpa bertanya kepada resepsionis. Karena aku tahu sekarang Yeonjun tengah berada di ruang operasi.

Orang-orang di koridor rumah sakit memperhatikan diriku yang tengah berlatian sembari menangis, aku bahkan telah melupakan gengsi karena aku sudah kalut.

Kedua mataku yang memburam mendapati Beomgyu di sana, dia sedang duduk sembari menutup wajahnya. Aku lantas memelankan kecepatan kakiku. Kulihat lampu LED di dekat pintu ruang operasi masih menyala yang tandanya operasi masih berlangsung.

Karena merasakan kehadiranku, Beomgyu membuka tangannya yang menutupi wajah. Dia memandangku, matanya membengkak, mata putihnya memerah, bibirnya pucat. Dia sama kacaunya denganku, perasaannya pun sama sakitnya seperti diriku.

Dia bangkit, menghampiriku yang sudah terhenti. "Soobin sebentar lagi datang." katanya dengan pelan. Namun malah membuatku bingung.

"Dia masih menjalankan pengobatan." lanjutnya ketika tubuhnya sudah berada di hadapanku.

"Kenapa dia di sini? Dan kenapa dia menjalani pengobatan?" tanyaku.

"Dia malaikat yang menyelamatkan Yeonjun, dan mengapa ia menjalani pengobatan itu karena dia sakit."

Beomgyu beralih menarik tanganku untuk merengkuh tubuhku. "Soobin tadi menceritakan semuanya padaku—lewat notes, tepatnya saat Yeonjun sudah memasuki ruang operasi dan dirinya hendak menjalani kemoterapi."

"Dia baru saja mengakhiri hubungannya denganmu. Kulihat matanya berair dan suaranya bergetar. Kurasa—ia sama patah hatinya denganmu."

Aku membalas rengkuhan Beomgyu, kurasakan kristal-kristal hangat dari mataku kembali keluar. Lagi-lagi aku menangis, kepalaku sudah sakit karena terlalu banyak menangis.

"Dia masih mencintaimu, hatinya sakit sat melihat matamu yang memandangnya dengan marah tadi." Aku mulai terisak.

"Salju sudah mulai turun!"

"Oh? Benarkah! Mana!?"

"Lihat ke jendela!"

Aku melepaskan rengkuhanku pada Beomgyu, kepalaku menoleh pada kaca besar di sampingku dan benar salju pertama tahun ini sudah turun. Mata Beomgyu ikut mengikuti arah mataku memandang. "Ah, indahnya." gumamku, namun aku tak tersenyum. Tidak mungkin aku bisa tersenyum di saat kedua orang yang aku sayangi sedang dalam masa pengobatan untuk segera sembuh.

"Kau tidak tersenyum." ucap Beomgyu.

"Berat, aku tidak bisa." jawabku.

"Kapan Soobin akan datang?"

"Setengah jam lagi."

"Baiklah."

dear sunshine, soobin ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang