05 : The night talk

54 9 3
                                    

Soobin sudah menyelesaikan pekerjaannya, sekarang sudah pukul 21.05 dan sekarang saatnya Soobin untuk pulang. "Sampai bertemu lagi besok, Soobin!" ucap pemuda berambut cokelat karamel tersebut. Soobin tersenyum sembari melambaikan lengannya ke arah pemuda tersebut, setelah punggung pemuda itu benar-benar hilang dari pandangannya barulah Soobin beranjak untuk pulang.

Soobin mengeluarkan sepedanya dari tempat parkiran, lalu menaikinya. Kedua tungkainya mendayuh sepeda tersebut dengan sepenuh hati. Sepanjang perjalanan Soobin hanya melihat jajaran toko yang mulai tutup dan juga beberapa kerusuhan yang biasa terjadi di Korea Selatan, entah itu kasus pria yang mabuk dan menggila di jalanan atau kasus KDRT yang telah merajalela sejak dulu. Jangan heran, ini sudah biasa. Tidak hanya di Ansan, di Seoul, Busan atau kota mana pun itu pasti ada saja.

Lalu cahaya gemerlap dari arah barat mengalihkan seluruh pandangannya, kepalanya memutar ke arah barat melihat sebuah kembang api yang secara tiba-tiba di luncurkan. Indah, gemerlap cahaya terang menghiasi gelapnya kota Ansan.

Soobin menepikan sepedanya, lalu turun dari sepeda. Setelah turun melangkahkan kakinya lebih dekat lagi dengan pagar sungai. Soobin tersenyum.

Ia merogoh ponselnya lalu membuka ikon kamera.

Cekrek!

Menurunkan layar ponselnya, menggeser beberapa potret yang berhasil ia abadikan. Lalu tersebut ketika hasilnya memuaskan. Soobin kembali mematikan ponselnya lalu bergegas untuk pergi.

── ⋆⋅☆⋅⋆ ──

Soobin membuka pintu utama, kedua netranya langsung disuguhi pemandangan vas bunga yang pecah di depan pintu, lalu mendongak melihat ruang tengah yang sudah kacau. Soobin menghela napas, sepertinya tenaganya akan terkuras habis hanya untuk membereskan kekacauan yang diperbuat oleh Ayahnya. "Soobin-ah?? Kau sudah pulang? Aku lapar!" suara seorang pria dari ruang kanan yang menyadari keberadaan Soobin di ambang pintu.

Kemudian Soobin kembali menutup pintu, menata sepatunya di rak sepatu dan barulah ia masuk ke dalam ruangan kacau tersebut.

Lalu nampaklah sang Ayah dengan penampilan urakan-rambut yang memanjang tak terurus, wajah kusam, baju compang-camping—"kau tidak mendegarku? Aku bilang aku lapar! Buatkan aku makanan!"

Kemudian Soobin mengagguk melepaskan coat cokelatnya dan meletakkan tasnya di atas sofa benuh botol miras. Lalu melangkah menuju dapur untuk memasak.

Langkah kakinya sampai di dapur yang luasnya tak seberapa itu, beralih membuka kulkas dan ada hanya ayam, telur, dan sayur bayam.

Kimbab.

Satu hal yang tersirat dalam pikiran Soobin kala itu, pasalnya ia tadi juga tidak sempat mampir ke supermarket untuk membeli bahan pangan, dan ia pun tidak tahu bahwa ternyata stok bahan pangan di rumah sudah habis.

Soobin langsung mengambil ketiga bahan pangan tersebut untuk kemudian di olah olehnya.

Suara gemericik air ketika Soobin mencuci mengisi tenangnya malam di kediamannya. Lalu disusul suara irisan pisau di tatakan kayu. Meski dengan mata setengah tertutup—karena kelelahan dan mengantuk-tangan Soobin bergerak cekatan memainkan pisau. Memotong fillet ayam dan mengiris sayur bayam. Di atas kompor, panci dengan minyak yang mulai mendidih Soobin mulai memasukan potongan ayamnya.

── ⋆⋅☆⋅⋆ ──

Tak!

Sepiring penuh kimbab Soobin sajikan di atas meja, pria yang sejak tadi menunggu di ruang tamu itu bangun dari kebosanannya untuk menyantap hidangan tersebut. Sedangkan Soobin terlebih dahulu beralih ke kamar untuk mengganti pakaiannya.

Setelah selama 3 menit berada di dalam kamar akhirnya Soobin keluar dengan hanya memakai kaos oblong berwarna hitam yang dihiasi sablon retak. Soobin mealangkah mengambil alat-alat pembersih seperti, kain lap, sapu, kemoceng dan lain-lain.

Semuanya siap, Soobin berjalan untuk mengemas botol-botol berwarna hijau tersebut lalu memasukkannya ke dalam kantong keresek. Soobin memicingkan hidung ketika membersihkan sampah tersebut, aromanya membuat Soobin seperti terbang ke neraka. Sungguh membuat pusing kepala.

"Aku rindu Ibumu." tiba-tiba penuturan sang Ayah membuat Soobin mendongak dan menghentikan aktivitasnya. "Setiap hari aku meminum miras, sampai rasanya nyawaku akan segera terlepas dari tubuhku, berharap saat aku tertidur dalam kondisi mabuk aku akan bermimpi bertemu dengan Ibumu. Tetapi nyatanya dia bahkan enggan mendatangiku bahkan lewat mimpi sekali pun."

"Lalu aku berpikir, ah, ternyata dia sebenci itu keapadaku."

"Itulah mengapa ia meninggalkanku yang pengangguran ini denganmu." sosoknya menghela napas berat, ia telah menyelesaikan makan malamnya dengan tenang. "Aku minta maaf, Soobin-ah." ucapnya terdengar tulus, dan Soobin untuk pertama kalinya mendengar ucapan Ayahnya yang setulus ini.

Karena, Ayahnya ini rusak. Kasar, Soobin tidak menyukainya. Dia selalu saja memukuli dirinya ketika sedang mabuk berat dan dahulu saat Ibunya masih hidup Ibunya juga sering dipukuli bahkan sampai diancam akan dibunuh.

"Aku sebagai pria yang tidak berguna ini maaf karena selalu membuatmu menanggung beban yang aku berikan." lalu Soobin bangkit, ia berjalan mencari buku notes kecil miliknya. Setelah menemukannya ia menuliskan balasan dari perkataan sang Ayah.

"Maka berubahlah."

Sang Ayah membacanya dalam hati lalu menggeleng, "jika aku berubah aku akan mati."

"Karena jika aku berubah aku akan mengetahui kejamnya dunia yang akau tempati saat ini. Aku harus tetap menjadi yang sekarang untuk menemanimu."

"Aku tidak butuh ditemani oleh seseorang yang hanya bisa meminum alkohol setiap hari." balas Soobin lagi menuliskan perkataannya di dalam notes tersebut.

"Kau kejam sekali, hahaha." sang Ayah bangkit, meragangkan seluruh tubuh lalu mengambil ancang-ancang untuk pergi. "Baiklah, aku akan mati kapan-kapan."

"Tunggu, ya." kalimat terakhir dari sang Ayah sebelum tubuhnya melegang pergi menuju kamar.

── ⋅ ⋅ ── ✩ ── ⋅ ⋅ ──

dear sunshine, soobin ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang