10 : Funeral home and Juhee

30 8 0
                                    

Beberapa orang berjumpa dalam keadaan yang salah, bertemu hanya untuk terpisah.”

── ⋅ ⋅ ── ✩ ── ⋅ ⋅ ──

"Turut berduka cita atas apa yang terjadi pada Ayahmu Soobin." seorang wanita paruh baya menghampiri Soobin dan mengelus pelan punggung Soobin yang tak lagi tegap. "Tetap kuat, ya, sayang?" ujarnya dengan suaranya yang lembut dan khas itu.

"Kau harus kuat untuk tetap bekerja di restoku. Tanpamu, mungkin restoku tidak akan bertahan selama ini."

"Si pencuci piring yang handal. Kau pasti bisa." di akhir kalimat si wanita tersebut hangat. Soobin mengagguk lemas, membungkukkan tubuhnya untuk memberi penghormatan kepada yang tertua sekaligus ucapan terima kasih karena sudah mau mengunjungi hari kematian Ayahnya. Dan ketika wanita yang ia kenal sebagai pemilik resto Ayam goreng nomor satu di kota Ansan itu melenggang pergi. Soobin langsung mendudukan tubuhnya.

Rumah duka itu sekarang sangat sepi.

Tidak ada pengunjung selain wanita pemilik resto dan tetangganya yang sudah datang sejak tadi.

Dan jam arloji di lengan kanan nya sudah menunjukkan pukul tiga sore. Soobin harus berkemas untuk pulang, karena keluarga selanjutnya yang akan menyewa rumah duka akan segera datang.

Tak! Tak! Tak! Tak!

Suara hentakan kaki yang terdengar tergesa-gesa menyapa pendengar Soobin, punggung tegapnya lantas berbalik.

Dikejutkan oleh siapa yang hadir, kelereng hitam polos milik Soobin membulat. "Juhee?"

── ⋆⋅☆⋅⋆ ──

Aku baru saja keluar dari ruang guru sehabis mengantarkan tumpukan buku tugas Astronomi dan berdiri di ambang pintu, namun ketika hendak pergi pendengaranku mendadak mendengar percakapan para guru di dalam bahwa Ayah Soobin baru saja meninggal tadi pagi. Jantungku terasa dihantam batu sebegitu kerasnya. Jadi ini alasan Soobin hari ini tidak masuk? Kenapa wali kelas tidak memberitahukan berita sepenting ini kepada para murid? Mengapa mereka malah membicarakannya diam-diam seperti ini?

Aku bergegas pergi dari sana menuju kelasku. Dan ketika sampai aku membuka pintu, aku disambut oleh wajah Minjeong di depanku. Tatapannya memandangku penuh tanya, "kenapa?" katanya pada akhirnya membuka suara. Tetapi aku tidak menghiraukannya dan memilih untuk menerobos masuk.

Sosoknya yang masih bingung itu berbalik dan menghampiriku, menarik lengan kiriku hingga membuat tubuhku yang tidak bertenaga ini menghadapnya. "Ada apa? Jawab pertanyaanku. Jangan membuatku bingung." mataku memanas, tanganku yang memegang buku paket itu mulai melemas. "A-Ayah .. Soobin .. baru saja meninggal tadi pagi," kristal-kristal bening dari mataku yang berharga itu akhirnya keluar. Entah kenapa perasaanku benar-benar sedih.

Minjeong memandangku sedih, "jadi, kau akan mengunjunginya hari ini?" tanya Minjeong meminta validasi. "Niatnya begitu .. tapi—"

"Pergilah, aku akan mengizinkanmu kepada guru mapel bahwa kau sedang tidak enak badan."

Aku cukup terharu dengan tindakan Minjeong kali ini. Memang tidak salah banyak sekali yang menyukai Minjeong, selain wajahnya yang cantik tetapi hatinya pun tak kalah cantik. Aku tersenyum dan mengagguk. "Terima kasih, Mineong-ah." Aku lanjut mengamaskan barang-barangku dibantu juga oleh Minjeong.

Setelah selesai mengemas barang-barangku aku berpamitan pada Minjeong, "aku pergi dulu, ya."

"Kau sudah tahu alamat rumah dukanya belum?"

"Sudah, aku mendengarnya dari para guru-guru di kantor tadi."

"Ya, sudah. Hati-hati."

Lalu tubuhku dengan cepat melesat pergi dari ruangan itu.

Langkah kakiku melewati koridor yang tidak terlalu ramai itu, lalu menjumpai Yeonjun yang sedang duduk di pembatas tembok di sana. Namun aku sudah tak peduli. Bahkan aku sama sekali tidak berpikir untuk menyapanya sebelum sosoknya sadar dan langsung dengan cekatan menarikku ke arahnya. "Bolos?" ujarnya memandangku dari atas sampai bawah. "Mengunjungi seseorang yang sedang berduka memangnya pantas untuk disebut bolos? Sekolah bahkan tidak peduli." ucapku sedikit marah.

Yeonjun semakin bingung, kedua netranya menatapku dengan penuh tanya. "Ayah Soobin meninggal. Aku ingin mengunjunginya di rumah duka." kataku pada akhirnya memeberi tahu.

Kemudian aku melepas paksa genggaman tangan Yeonjun pada lenganku. Bahkan tanpa berpamitan tubuhku langsung saja berlari meninggalkannya yang masih tanpak mencerna semua ucapanku.

── ⋆⋅☆⋅⋆ ──

"Juhee?"

Aku tersenyum, langkah kakiku berhenti tepat di hadapan pemuda yang sedang berduka tersebut. Ekspresinya tanpak kacau, ada sedikit kebahagiaan dan juga kesedihan saat memandangku di sana. "Aku baru tahu, maaf, Soobin." ucapku dengan nada melirih. Sungguh melihat tubuh jangkungnya yang semakin mengurus itu membuatku sakit hati.

Aku tahu seberapa kacaunya Soobin saat ini, karena ... aku pernah merasakannya.

Luka yang tertoreh padah wajahnya begitu jelas, dia tidak bisa mengelak bahwa dirinya sangat kacau saat ini.

"Soobin .." Aku benar-benar tidak memiliki kalimat lain selain memanggil namanya untuk berbicara pada Soobin, bahkan kedua kakiku kini enggan untuk masuk. Aku dan Soobin hanya saling menatap satu sama lain. Tanpa arti.

Bruk!

Aku terkejut bukan main, tubuh Soobin yang sejak tadi berdiri memandangku seketika ambruk tanpa aba-aba dan membentur lantai. Kalut aku langsung menghampirinya, mulai menangis karena aku bingung harus apa. Saat hendak menghubungi ambulans aku lupa bahwa daya ponselku sudah habis.

Aku menangis merutuki diriku sendiri, di rumah duka ini benar-benar sepi. Sedangkan aku yang tidak tahu apa-apa ini hanya bisa menangis meminta pertolongan pada Tuhan agar menurunkan seseorang untuk menolong Soobin.

Aku memeluk tubuh Soobin se-erat-eratnya

"Nak?" suara seorang pria paruh baya itu mengalihkan atensiku, aku menoleh melihat sosoknya yang mulai menghampiriku dengan panik. "Temanmu pingsan?" sempat-sempatnya pria itu malah bertanya. Tapi karena aku juga panik maka aku hanya bisa mengagguk sembari menangis jelek.

"Sudah hubungi ambulans?"

Aku menggeleng, "ponselku kehabisan daya .."

"Baiklah, aku akan menghubungi ambulans. Kau tenang dulu berikan dia pertolongan pertama dulu sembari menunggu ambulans, ya." Aku mengagguk mengerti.

Aku memposisikan tubuh Soobin yang tertekuk secara terlentang dan menaikkan kakinya lebih tinggi sekitar 30 cm dari dada, guna mengembalikan aliran darah kembali ke otak. Itu yang aku dapat dari pelatihan PMR satu bulan yang lalu.

Kemudian aku mencoba untuk melonggarkan pakaian Soobin, mulai dari melepas jas hitam yang melekat si tubuhnya, sampai membuka dua kancing kemeja putih atas milik Soobin agar mempermudah sirkulasi udara.

"Halo, dengan rumah sakit xx? Di rumah duka xx ada yang pingsan. Mohon untuk cepat-cepat megirim ambulans ke sini."

"Baik, Pak."

Lalu sambungan telepon terputus secara terpihak. "Aku sudah menghubungi rumah sakit terdekat untuk membawa ambulans ke sini, kau tunggu saja temanmu ini, aku harus mengurusi para pelayat. Maaf sekali aku tidak bisa menemanimu."

Aku mengagguk, "terima kasih, Pak."

dear sunshine, soobin ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang