A Wounded heart part 3

3.7K 169 7
                                    

Gendhis pov

"Apa benar benda ini milikmu?" Ibu bertanya sambil menunjuk tespek di atas meja dan menatap tajam ke arahku.

Aku memutar bola mataku mendengar pertanyaan klise itu. Lalu mengangkat bahu. "Nggak tahu. Mungkin punya ibu." Jawabku tak acuh.

"Gendhis! Ini masalah serius! Jangan dibuat becanda!" Bapak menegur dengan nada tinggi di setiap akhir kalimatnya.

Kulirik Gilang tersenyum miring melihat Bapak memarahiku. Terlihat menikmati drama ini.

"Siapa orangnya? Apa dia mau tanggung jawab?" Ibu kembali bertanya.

Aku terdiam. Kepalaku benar benar pusing sekarang. Secara harfiah dan metafora. Pusing akibat kebanyakan menangis hingga pelipisku nyut nyutan dan mataku bengkak. Juga pusing memikirkan masalah di depanku.

"Saya nggak tahu, Bu. Saya juga belum yakin itu hasilnya akurat apa ngga karena saya belum cek ke dokter." Aku menjawab sekenanya sambil memijat pelipisku.

"Besok kita ke dokter, cek kamu beneran hamil apa tidak. Berdoa saja semoga hasil ini ngga benar. Ini bisa jadi aib buat keluarga kita." Ibu memasang muka khawatir.

Aku memandang ibu dan bapak bergantian. "Apa yang akan ibu dan bapak lakukan kalau saya beneran hamil?" Tanyaku.

"Tentu saja kamu harus meminta pacarmu menikahimu sebelum perutmu tambah besar." Bapak menanggapi dengan tegas.

Aku menghela napas panjang. Tadi pagi aku masih merasa senang karena memiliki alasan untuk mendesak Bryan menikahiku. Tapi sekarang, bertemu dengannya saja aku enggan.

"Saya sudah putus dengannya. Dia kabur, nggak mau tanggung jawab."

Aku memang belum bilang putus dan Bryan juga belum tahu soal kehamilanku. Namun setelah tahu dia punya anak istri, aku sungguh tak mau terlibat apapun dengannya lagi. Biar saja Bryan dicap cowok brengsek oleh orangtuaku, karena kenyataannya memang demikian.

"Nggak bisa gitu dong, Gendhis. Mau ditaruh dimana muka Ibu sama Bapak kalau orang-orang tahu kamu punya anak tanpa suami. Keluarga kita bisa dicemooh." Kening ibu berkerut tanda tak senang.

"Lalu saya harus apa, Bu? Orang yang menghamili saya ternyata brengsek nggak bertanggung jawab. Dia kabur keluar kota dan saya ngga tahu alamat tinggal dia sekarang." Aku memang bodoh karena tak pernah mencari tahu tempat tinggal Bryan di Jakarta. Namun ternyata ini bisa jadi alasanku untuk mengelak dari Bapak dan Ibu.

"Kalau begitu, gugurkan saja. Hilangkan aibnya sebelum diketahui orang lain." Bapak berkata tajam.

Mulutku ternganga, tak percaya ucapan keji itu keluar dari mulut ayah kandungku.

"Tapi ini anak saya, Pak. Cucu Bapak, darah daging Bapak dan ibu." Air mataku tergenang, aku menoleh pada Ibu, berharap dia berbelas kasih padaku.

Namun Ibu menyipitkan matanya padaku. "Ibu nggak mengakui cucu yang lahir di luar nikah."

Airmataku menetes. Bodohnya aku berharap bapak dan ibu akan mendukungku di situasi ini, selama ini saja keberadaanku tak pernah dianggap penting oleh mereka. Dan anakku, bahkan sebelum dia lahir, dia sudah tidak diakui oleh orangtuaku.

Tanganku bergetar meraba perutku, anakku tidak bersalah, akulah yang berdosa karena membawanya ke dunia ini tanpa persiapan matang, tak bisa memilih pria yang baik untuk jadi ayahnya. Tapi aku takkan membiarkan dia mengalami nasib yang sama denganku, tak dihargai oleh keluarga sendiri.

"Sudahlah, Gendhis. Nurut sama Bapak dan Ibu, gugurkan saja kandunganmu." Kata Ibu sambil menatapku serius.

Aku menggeleng pelan. "Saya nggak bisa, Bu. Anak ini berhak hidup."

Kumpulan Cerpen : Aku Milikmu (21+)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang