Prolog
Genta POV
"Genta..."
Suara lembut Bunda yang memanggilku, membuat gerakan tanganku yang sedang berkemas terhenti. Aku menoleh dan mendapati Bunda sedang berdiri di depan pintu kamarku.
Bunda terlihat sangat cantik hari ini, bukan berarti hari lainnya dia tidak cantik. Hanya saja, hari ini ia tampak begitu istimewa dengan setelan kain dan kebaya, serta sanggul yang menghiasi rambutnya. Wajah Bunda yang memang sudah cantik, dipoles make up natural yang membuat kecantikannya semakin bersinar.
Walaupun usianya sudah paruh baya, namun kecantikannya tak lekang oleh waktu. Aku tak heran bagaimana ayahku bisa jatuh hati padanya dulu. Bahkan hingga sekarang, Ayah selalu menatap Bunda dengan penuh cinta. Kupikir, aku juga akan memiliki kisah cinta yang indah seperti mereka. Namun ternyata aku salah.
Seharusnya, ini adalah hari yang membahagiakan bagi Bunda. Karena salah satu anaknya menikah, dan akhirnya keinginan lama Bunda untuk memiliki menantu terwujud, juga akan segera hadir cucu yang ia idam-idamkan selama ini. Akan tetapi, apa boleh buat, aku harus merusaknya, dan membuat sorot mata sedih Bunda hadir di hari bahagia ini.
Bunda menghampiriku yang sedang membereskan pakaian untuk dimasukkan ke dalam tas.
"Perlu Bunda bantuin, Nak?" tanya Bunda pelan.
Aku menggeleng, "Genta bisa sendiri Bunda," ucapku.
Bunda duduk di tepi ranjang dan menatapku dengan sedih. Aku tak sanggup membalas tatapannya, sehingga aku kembali pura-pura sibuk mengemas pakaian supaya tak perlu memandang ke arah Bunda.
"Kamu mau pergi ke mana?" tanya Bunda setelah memerhatikanku cukup lama.
Aku diam, bingung harus menjawab apa. Karena sejujurnya aku juga belum tahu hendak pergi kemana. Aku hanya ingin pergi sejauh mungkin dari sini, meninggalkan semua hal dan orang yang telah menyakitiku sedalam ini.
"Genta..." Bunda menyentuh lenganku dengan lembut. Mau tak mau aku menatapnya.
Di mata Bunda ada sorot mata kesedihan, dan kehilangan. Aku sungguh berdosa karena membuatnya bersedih. Namun aku tahu, jika aku bertahan lebih lama lagi di sini, aku akan meledak dan bisa mencelakai orang lain bahkan diriku sendiri.
"Maafkan Genta, Bunda. Genta harus pergi, Genta nggak bisa tinggal di sini lagi. Tolong jangan cegah Genta."
Bunda diam, ia menarik napas panjang lalu menghembuskannya. Bunda menepuk tempat di sampingnya, memberi isyarat agar aku duduk di dekatnya. Akupun menurutinya. Setelah aku duduk, Bunda memutar tubuhnya hingga menghadapku. Lalu Bunda memegang kedua tanganku.
"Bunda mengerti sekali apa yang kamu rasakan. Karena itu, Bunda tidak akan mencegahmu pergi. Hanya satu permintaan Bunda, di manapun kamu berada nantinya, tolong kabari Bunda. Setidaknya sebulan sekali kirim chat, telepon atau sms, agar Bunda tahu kamu baik-baik saja, dan tidak cemas memikirkanmu. Bisakah kamu melakukannya untuk Bunda, Nak?" Bunda menatapku penuh harap.
Aku diam sebentar, kutatap wajah Bunda yang begitu cantik. Wajah orang yang telah berjuang antara hidup dan mati untuk melahirkanku, orang yang kini harus kukecewakan karena aku tak bisa memaafkan saudara kembarku sendiri agar keluarga kami kembali utuh.
Permintaannya cukup masuk akal, dan seharusnya tidak sulit kulakukan. Aku hanya perlu memutuskan kontak dengan semua orang kecuali Bunda. Karena di antara semua orang di seluruh dunia ini, dia yang paling berhak tahu tentang keadaanku. Aku berhutang nyawa dan seluruh hidupku pada Bunda.
"Baik Bunda. Genta akan melakukannya. Maaf Genta udah bikin Bunda sedih."
Bunda tersenyum, lalu menarikku ke dalam pelukannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kumpulan Cerpen : Aku Milikmu (21+)
RomanceKumpulan cerita pendek dewasa. Yang belum dewasa tak usah pura pura udah dewasa. Menyingkir saja. Part nggak berurutan, hanya orang yang cerdas dan mau berusaha lah yang bisa memahami semuanya. ***