Hujan deras mengguyur tubuhku yang ramping, petir menggelegar goreskan kilat di antara mendung. Aku masih berdiri di sini, di tepi pantai ini. Tak kuhiraukan angin yang membuat rambutku berantakan, juga tak ada keinginan untuk berteduh atau sekedar mengusap lelehan air hujan di wajahku.
Aku biarkan setiap tetesnya meresap ke dalam pori-pori kulitku, tanpa ada intervensi dari satupun anggota tubuhku. Dinginnya gelombang laut menjilat-jilat di telapak kakiku, seakan mengajakku untuk pergi bersamanya. Tapi aku masih tetap diam, mematung memandang horizon di kejauhan.
Seekor burung Gagak hitam menghampiriku, kurentangkan sebelah tanganku menyambut kehadirannya. Ia pun singgah di atas telapak tangan kiriku, kepalanya bergerak-gerak menoleh ke segala arah. Gagak itu diam dalam genggaman, kami bercengkrama dalam diam. Warna bulunya yang senada dengan gaunku seolah menjadi jembatan bagi kami untuk berkomunikasi tanpa suara.
Aku memang penyuka warna hitam, bukan karena aku belajar ilmu hitam atau seorang anggota aliran hitam. Aku hanya suka segala sesuatu yang bernuansa hitam, karena hanya hitam yang cocok dengan jiwaku.
Sebuah jiwa yang telah lama dikungkung kelamnya hidup, dengan sepotong hati yang telah menjadi hitam karena terbakar panasnya api penderitaan. Ya, hitam adalah warnaku. Warna jiwaku, warna hatiku, dan juga simbol kehidupanku.
Hujan yang semula deras perlahan berubah menjadi rinai gerimis dan semakin lama hanya rintik-rintik kecil yang menggigiti kulitku. Gagak hitam itu telah terbang meninggalkanku, selayaknya semua orang yang pernah kutemui, meninggalkan tanpa peduli apa yang kurasakan di dalam hati.
Mendung hitam pun kini mulai menghilang, dan mentari muncul dari balik awanan. Ah, mengapa mendung itu harus pergi? Padahal aku suka sekali berlama-lama memandangnya.
Hujan telah berhenti, si Gagak sudah terbang kembali, mendung pun sudah pergi. Apalagi yang tersisa untukku kini?
Tak ada gunanya aku tetap berdiri di sini, aku tak suka dengan cahaya surya yang menyilaukan itu. Kubalikkan badan dan menyeret langkah meninggalkan pantai, gaunku yang tergerai panjang kubiarkan menyapu pasir yang mulai mengering disinari matahari.
Langit sungguh tak mudah ditebak, beberapa menit lalu hujan deras masih mencumbuiku dengan mesra. Namun kini mentari datang membuyarkan semua kemesraan itu dan mulai menyakiti mataku dengan terik silaunya.
Saat aku sedang berjalan menuju mobilku, kulihat di ujung sana seorang anak kecil sedang berdiri di samping sepeda yang tampak terlalu besar untuk ukuran tubuhnya yang ceking dan kurus. Kulitnya hitam terbakar matahari. Entah apa yang membuatku tertarik untuk terus memandangi anak itu, padahal jasadku sudah tak betah berlama-lama di bawah sinar raja siang yang merajalela.
Anak itu mengeluarkan sebuah benda dari keranjang sepeda, seperti sebuah bungkusan namun aku tak tahu apa itu. Anak tersebut meletakkan benda itu dengan hati-hati ke permukaan air di tepi pantai, kemudian membiarkannya dibawa pergi gelombang laut. Dia memandang benda yang dilarungnya itu dengan tersenyum.
Tanpa kusadari ketertarikan terhadap anak tersebut semakin menjadi, hingga niatku untuk pulang kuurungkan. Kakiku yang telanjang menapaki kerikil dan pecahan kulit kerang yang berserakan di sepanjang pantai, tapi aku tak peduli. Kuhampiri anak yang kutaksir baru berusia sekitar delapan tahun itu. Entahlah, sepertinya ada medan magnet yang membuatku begitu ingin mendekatinya.
"Apa yang tadi kamu lakukan?" tanyaku langsung pada anak itu.
Wajahnya terlihat kaget, mungkin karena melihat penampilanku yang berantakan. Dengan terbata ia menjawab tanyaku.
"Andi melepas kepergian teman Andi, dia yang selalu nemenin Andi selama ini. Tapi semalam dia sakit kemudian mati, Andi sedih sekali." Anak itu berbicara dengan wajah murung.
Teman? Siapakah teman yang ia maksudkan? Belum sempat aku bertanya lagi, aku dikejutkan oleh sepenggal suara yang tertangkap gendang telingaku.
"Revandi! Ikannya sudah kamu larung ke laut?" suara itu berasal dari belakang tubuhku. Membuatku terngiang pada sebuah percakapan di masa yang telah lama sekali berlalu.
"Kalo kita punya anak, aku ingin memberinya nama yang merupakan gabungan dari nama kita. Jika perempuan aku ingin memberinya nama Diva, gabungan dari Dika dan Reva." Dia berucap sambil tersenyum, aku hanya tertawa mendengarnya, bagiku itu sangat konyol. Saat itu aku masih bisa tertawa riang dengan bebas, seolah tak ada beban hidup.
"Bagaimana kalau anak kita laki-laki?" tanyaku.
"Emm... aku akan menamainya Revandi, kependekan dari Reva and Dika."
Seberkas sesak menyeruak dalam batinku, mungkinkah? Mungkinkah? Untuk memastikan dugaan aku membalikkan badan. Seketika badanku lemas saat melihatnya, sebuah paras milik seseorang yang telah begitu lama kurindukan namun sekaligus aku benci karena dia pernah menggoreskan hitam dalam kanvas putih kehidupanku. Mengapa aku harus bertemu dengannya sekarang?
Dia pun terbelalak saat melihatku, dia juga pasti tak menyangka akan mendapati keberadaanku di sini setelah bertahun-tahun lamanya kami tak bertemu. Aku jatuh terduduk di atas pasir, kudengar ia mendesah lirih menyebut namaku.
"Reva..."
Sejenak hanya ada kebisuan diantara kami, pun juga melanda pada anak kecil yang kuketahui bernama Revandi itu. Kini hujan telah melanda wajahku, tak ada isak, hanya buliran yang mengucur deras dari telaga mataku. Mengapa aku harus bertemu dengannya di sini? Saat ini?
Tiba-tiba ia bergerak menghampiriku, memegang bahuku dan membantuku berdiri. Kemudian melepaskan jaket yang ia kenakan lalu menyelimutkannya ke tubuhku yang menggigil. Padahal aku menggigil bukan karena kedinginan, tapi karena kekacauan hati yang kurasakan sekarang. Setelah itu dia memelukku, membiarkanku menumpahkan tangis di dadanya seperti dulu, saat hari indah masih menjadi milik kami.
"Maafkan, maafkan aku atas semua perbuatanku di masa lalu terhadapmu." Dika berbisik di telingaku.
"Mengapa? Mengapa kau memberinya nama Revandi?" tanyaku di sela tangis.
"Aku tak pernah bisa melupakanmu, Reva. Aku masih sangat mencintaimu."
Aku mendorong tubuhnya menjauh, aku tak ingin disentuh olehnya lagi.
"Cintamu itu palsu. Jika benar kau mencintaiku, lalu kenapa kau menikah dengan Virna yang telah menjualku kepada germo?!"
Dika terbelalak, ia menatapku nanar.
"Jadi...?"
"Ya, Virna yang telah membuatku menjadi seorang pelacur. Tapi kau tak pernah mau tahu, kau hanya melihatku sebagai perempuan jalang lalu meninggalkanku. Bahkan kau menikah dengan perempuan yang menjerumuskanku!"
"Reva, aku benar-benar tidak tahu kalau..."
"Ayah!" ucapan Dika terpotong oleh panggilan Revandi. Dika menoleh pada anak kecil itu, sedang aku hanya melirik dengan ekor mataku.
"Semoga kau bahagia dengan hidupmu sekarang." Aku berkata sinis. Kulepaskan jaket yang ia pasangkan di badanku, membiarkannya jatuh di pasir. Kuseret langkahku bergegas meninggalkan tempat itu.
Bersambung
published on 9th April 2021
Halo-halo, ada yang kangen sama update-an di kumcer ini nggak? hihihi
buat obat kangen, aku kasih cerpen yang kutulis pas jaman kuliah. Jadi mohon maklum ya kalau bahasanya agak lebay dan mendayu-dayu. Semoga suka ya :)
Salam sayang
Elfijani
KAMU SEDANG MEMBACA
Kumpulan Cerpen : Aku Milikmu (21+)
RomanceKumpulan cerita pendek dewasa. Yang belum dewasa tak usah pura pura udah dewasa. Menyingkir saja. Part nggak berurutan, hanya orang yang cerdas dan mau berusaha lah yang bisa memahami semuanya. ***