Om Bayu mengajakku pergi ke sebuah hotel yang sering kami jadikan tempat menghabiskan waktu dalam desahan penuh nafsu.
Senja mulai turun, lampu-lampu jalan mulai dinyalakan. Sembari mengendarai mobil, sesekali tangan Om Bayu menggerayangi bagian tubuhku yang terbuka. Aku diam saja, membiarkan dia berbuat semaunya.
Aku justru sibuk melihat kaca spion, ada sebuah mobil di belakang kami yang sepertinya mengikuti kami dari tadi.
Dugaanku hampir meleset ketika mobil itu mendahului mobil Om Bayu di sebuah jalanan sepi, tapi ternyata ia malah berhenti di depan kami dan menghalangi jalan.
Tak ayal, Om Bayu pun menginjak rem membuat mobil yang kami tumpangi berhenti.
Seorang perempuan keluar dari mobil dan menghampiri Om Bayu yang duduk di belakang kemudi, mengetuk-ngetuk kaca mobil dengan tak sabar. Om Bayu segera keluar.
Aku membuang muka. Aku sudah sering mengalami hal ini. Perempuan yang datang mencak-mencak karena suami atau ayahnya jatuh ke pelukanku, mencaci maki diriku dan sebagainya. Ah, aku tak peduli. Ini sudah menjadi resiko profesi wanita panggilan sepertiku.
"Apa yang Papa lakukan dengan perempuan itu?! Papa gak kasihan sama Mama?!" terdengar nada penuh amarah bercampur isak tangis.
"Ini bukan urusan kamu, lebih baik kamu pulang sana!" Om Bayu mengusir.
"Aku gak akan ngebiarin rumah tangga Papa dan Mama hancur gara-gara wanita jalang itu!" perempuan itu memutari mobil mendekati tempat dudukku.
"Keluar kamu pelacur!" dia membuka pintu mobil dengan keras. Tapi kemudian ia berdiri membeku seperti es, seolah kehabisan kata-kata ketika melihatku.
Aku pun terkejut saat menyadari siapa dia.
Aku menyunggingkan seulas senyum sinis, aku keluar dari mobil dan berdiri di hadapannya. Kudekatkan mulutku di telinganya dan berbisik.
"Aku tidak tahu kalau Om Bayu adalah Papamu, Virna. Ternyata selama ini dengan melayani Om Bayu aku sudah balas dendam terhadapmu. Kau tidak menyangka bukan? Perbuatanmu dulu terhadapku sekarang berimbas pada keluargamu. Bersiaplah, Virna. Karena berikutnya suamimulah yang akan aku layani." Kutatap wajahnya yang pias sambil tersenyum puas.
"Kurang ajar!" dia berkata geram. Lalu menamparku. Aku hanya meringis sedikit, pipiku telah terlatih untuk menerima tamparan.
"Virna, sudah!" Om Bayu mendekap Virna dari belakang, mencegah Virna berbuat lebih jauh lagi terhadapku."Nancy, Om minta maaf atas kejadian ini. Kamu pulang naik taksi aja ya."
Aku mengiyakan, kemudian berbalik pergi setelah mengerling pada Virna yang berontak dalam cekalan Om Bayu.
Virna berteriak-teriak sambil menangis, mungkin ia menyesali, mengapa pelacur yang menghancurkan rumah tangga orang tuanya harus aku. Hukum karma ternyata memang ada.
Aku melangkah tanpa tujuan, aku tak ingin bergegas kembali ke apartemen. Biarlah Mami Irma mengira aku sedang bersama Om Bayu sekarang, toh ia sudah menerima pembayaran tunai dari Om Bayu.
Aku ingin menghabiskan malam ini di luar, bersama angin malam. Aku berhenti di sebuah halte bis yang sepi, duduk dan melepaskan high heels yang membuat kakiku pegal-pegal. Kulemaskan persendian tubuhku sambil melihat lalu lalang kendaraan.
"Neng, mau beli kue?" tiba-tiba datang seorang perempuan tua yang menawarkan dagangannya padaku. Kulirik sekilas bakul yang dibawanya, terlihat beberapa jenis gorengan dan kue-kue yang biasa dijual di pasar.
Sebenarnya aku tak berminat untuk membeli, namun melihat gurat lelah di wajah keriput sang nenek, timbul rasa ibaku.
Aku pun membeli sebagian dagangan yang ia tawarkan, nenek itu tampak senang. Nanti makanan ini bisa kuberikan pada gelandangan di jalanan.
Setelah melayani pesananku, dia menurunkan bakulnya dan duduk di sampingku.
"Jualan dari jam berapa, Nek?"aku membuka obrolan.
"Dari pagi, Neng. Pagi jualan di pasar, kalo gak habis ya saya bawa berkeliling," ujar si nenek sambil menyeka peluh dengan kain lusuh yang ia gunakan untuk mengikat bakul di punggung.
Kuamati wajah tuanya lamat-lamat, rambutnya yang mulai dihiasi uban diikat sekenanya dengan karet gelang. Meskipun keriput mengukir di setiap sudut wajahnya, masih dapat kutemukan garis-garis kecantikan masa muda dalam raut parasnya.
"Emang gak ada yang bantuin ya, Nek? Anak dan cucu nenek ke mana?" tanyaku lagi.
"Saya hidup sebatang kara, Neng." Jawabannya membuatku tercekat.
"Dulu saya hidup berkecukupan, tapi saya gak pernah bersyukur dengan apa yang saya miliki. Saya habiskan waktu untuk hura-hura dan akhirnya, ketika saya sadar, saya tak memiliki apa-apa lagi. Wajah cantik pun percuma jika tak memiliki keahlian apapun. Saya hidup menggelandang selama bertahun-tahun sampai kemudian ada seorang wanita penjaja makanan yang bersedia menampungku di tempatnya." Nenek itu menyeka airmata yang seketika membanjir di wajahnya.
Aku diam, tak tahu bagaimana cara menanggapi ceritanya yang meluncur dengan spontan.
"Tuhan selalu memberikan pilihan dalam hidup kita. Sewaktu muda, saya telah salah memilih sehingga membuat diri saya sendiri menderita. Jangan sampai salah memilih seperti saya ya, Neng." Nenek itu tersenyum. Kemudian membenahi jualannya, mengikatkan bakul ke punggungnya dengan kain batik lusuh. Berpamitan padaku lalu pergi.
Aku tercenung, ucapan nenek tadi membuatku berpikir. Akan jadi apa masa depanku nanti? Akankah aku menjadi pelacur sampai tua? Ataukah naik tingkat menjadi germo seperti Mami Irma?
Bersambung
Published on 12th April 2021
KAMU SEDANG MEMBACA
Kumpulan Cerpen : Aku Milikmu (21+)
RomanceKumpulan cerita pendek dewasa. Yang belum dewasa tak usah pura pura udah dewasa. Menyingkir saja. Part nggak berurutan, hanya orang yang cerdas dan mau berusaha lah yang bisa memahami semuanya. ***