27. Indonesia-Langit

36 9 3
                                    

Berpisah, kata yang paling Jaemin benci sejak dulu. Perpisahan dengan siapapun, tidak akan pernah menyenangkan. Tidak ada keindahan yang tersisa dari kata pisah selain rindu yang mencekik.

Tapi hari ini, mau tidak mau, perpisahan sementara dengan Iqbal harus terjadi. Indonesia-Amerika.

Jaemin duduk dengan tenang di jok belakang mobil yang sedang melaju di bawah kemudi papanya. Tidak seperti biasanya yang gerasak-gerusuk. Matanya sembab, sebab sejak semalam ia terus menangisi kepergian Bang Iqbal ke negeri Paman Sam itu.

Di jok belakang, Jaemin menyandarkan kepalanya dalam diam. Sesekali Iqbal menoleh ke belakang, menatap sang adik dengan senyum kecil yang ia sematkan di bibirnya. Ia sangat senang, ketika melihat Jaemin menangisi kepergiannya. Bukan hanya itu, tapi Iqbal paham betul, betapa berharganya ia bagi Jaemin.

Jaemin terus merengek padanya sejak semalam, mulutnya dipenuhi janji-janji yang ia paksakan pada Iqbal. "Abang harus janji!" berkali-kali Jaemin ucapkan dengan penuh tekanan.

Janji makan teratur, janji menghubunginya setiap hari minggu, janji mabar FF walaupun yang ini sepertinya agak sedikit mustahil Iqbal penuhi.

Itu semua Jaemin ucapkan untuk menghibur hatinya yang masih belum cukup rela melepas kepergian Iqbal dengan jarak yang luar biasa jauh.

Berbeda dengan Minhee, adik bungsunya nampak lebih tegar. Senyumnya mengembang saat bersitatap dengan Iqbal.

"Seperti yang Abang bilang, Minhee jangan nangis kayak Mas Jaemin pas Abang berangkat ya! Abang takut enggak bisa pergi kalo Minhee yang nangis, hehehe." begitulah ucap Iqbal seminggu lalu saat ia pergi dengan Minhee membeli seblak Taman Remaja kesukaan Minhee. Kalimat itu yang selalu Minhee pegang teguh di dalam hatinya.

Tidak ada air mata, tidak ada rengekan, sekalipun Minhee ingin sekali melakukan itu.

Minhee hanya bisa menangis di kamar tadi malam. Ia tidak sanggup menahan air matanya di depan Iqbal. Jadi, Minhee bisa dikatakan berhasil menahan tangisnya.

Buna dan Papa hanya saling tersenyumlah di bangku depan, melihat ketiga anaknya saling meregang kerinduan. Semuanya, mulai dipintal sejak kilometer 0 dari komplek Jayahalu.

Jalan-jalan yang biasa mereka lalui dengan ketiga anaknya, berhasil menguatkan hati mereka. Tidak akan terlalu lama. Sekalipun terpisah laut dan gunung, hubungan darah tidak bisa diputus dengan jarak, letak geografi, atau waktu, dan dimensi lain.

"Berpisah dengan anak? Siapa takut?" batin pak Betot.

Jantung Iqbal mulai berdesir, Bandara sudah menyambutnya dengan suara-suara merdu dari pengeras suara. Tepat waktu, hanya dua puluh menit lagi, pesawat Iqbal akan take off.

"Enggak banyak waktu, Iqbal pamit." Dicium kening Buna, Buna tetap berusaha tetap tegar meski air mata lancang menetes dari sudut matanya.

"Abang pamit, Pa." Pelukan hangat pak Brian memberikan kekuatan pada Iqbal.

"Abang peluk, tapi enggak lama!" titah Iqbal pada kedua adiknya.

Setelah itu benar-benar Iqbal tinggalkan keluarganya. Tidak ada cara untuk kembali menoleh ke belakang hanya untuk sekadar melambaikan tangan pada keluarganya yang tercinta. Iqbal takut menangis.

Diseret koper besar miliknya, lalu perlahan ia menghilang di antara kerumunan yang terlihat sibuk.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Asibuka! [Squel of Keluarga Subetot]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang