Hubungan Amanda dan Dante semakin hari semakin dekat. Banyak hal yang merubah Dante tanpa dirinya sadari. Tapi,sisi gelap pria itu pun masih tetap melekat pada dirinya. Dante terbiasa mengontrol banyak hal dalam hidupnya. Tidak terkecuali untuk Amanda juga.
"Bisakah,kau berhenti kuliah saat ini,"ujar Dante saat mereka makan malam saat itu. Amanda mengeryitkan dahinya.
"Ku pikir itu tidak ada dalam kesepakatan kita bukan?"
"Aku tahu,tapi aku membutuhkan mu untuk selalu disisiku."
"Sebelum aku mengenalmu,aku sudah memiliki kehidupanku sendiri. Kita sepakat untuk menjalankan semuanya sesuai kesepakatan." Dante tampak mengeram menahan amarahnya. Dia sungguh tidak suka ditolak. Amanda menghela nafas sejenak. Pria didepannya ini penuh ego dan kontrol yang tinggi.
"Aku tahu kau suka mengontrol banyak hal. Tapi,Dante aku partnermu bukan barang yang bisa kau kontrol. Aku punya kehidupan yang harus aku jalani."
"Itu demi kebaikanmu."
"Tidak,itu demi egomu. Egomu yang selalu suka mengontrol,"ujar Amanda lagi.
"Aku tidak suka dibantah Amanda."
"Dan aku tidak suka dipaksa. Kau selalu tahu aku selalu punya sikapku sendiri Dante." Amanda tahu sangat tahu. Dante pasti memiliki obesesi untuk menaklukan dirinya. Tapi dia sudah membentengi dirinya untuk tidak terikat terlalu jauh dengan pesona pria itu. Dia ingin Dante belajar mengerti apa itu saling mengerti dan menerima bukan saling memaksa.
"Mengapa kau susah sekali untuk diatur?"
"Karena aku wanita,aku partnermu bukan bawahan mu apa lagi barangmu,"ujar Amanda kesal dan bangkit dari meja makan. Pria didepanya ini benar-benar menyebalkan.
"Ini aturan ku Amanda. Kita terikat perjanjian."
"Aku tahu,tapi aku juga punya hak disini menentukan apa yang aku sepakati. Kuliah adalah impianku dan kau tidak bisa merebut itu. Apa kau begitu suka mengontrol segala hal? Belajar lah untuk lebih memahami bukan hanya terus meminta dan mengontrol..!"
Dante mengeram menahan amarahnya. Dia menarik Amanda kesampingnya. Melumat kasar bibir wanita itu. Amanda terkejut dan terengah dalam waktu bersamaan. Ciuman itu terasa kasar. Dante sepertinya menahan amarah untuk dirinya.
Dante melepaskan tautan bibir mereka dan menatap Amanda lagi. Dia memejamkan matanya sejenak menatap wanita itu tajam.
"Aku tidak suka dibantah. Tapi,terima kasih untuk membuatku bisa mengontrol diriku. Aku tidak ingin menyakitimu,"ujar Dante menahan amarahnya yang hampir meledak. Jika bukan karena Amanda. Mungkin,saat ini pria itu sudah meluapkan amarahnya. Dante terbiasa meluapkan emosinya ketika segala sesuatu tidak berjalan sesuai kehendaknya.
"Belajarlah untuk menjadi lebih sabar Dante,tidak semua hal bisa kau kontrol,termasuk diriku,"ujar Amanda mengusap pelan rambut pria itu. Dante menghela nafas dan menempelkan jidatnya kearah Amanda.
"Maafkan aku," ujarnya pelan. Seumur hidup dalam kehidupan Dante dia tidak pernah meminta maaf pada siapapun. Terlepas dia salah atau benar. Pria itu tidak pernah bisa mengucapkan kata maaf. Tapi,Amanda benar-benar membuat dirinya untuk pertama kali dalam hidupnya dia harus menurunkan seluruh egonya agar wanita itu tidak terluka olehnya.
"Belajar meminta maaf sekarang?"tanya Amanda dengan senyum dibibirnya.
"Aku tidak akan melakukannya jika bukan karena dirimu." Amanda mengeleng pelan. Pria didepannya ini memang memiliki ego yang tinggi. Entah bagaimana jadinya jika Dante kehilangan kesabaran. Sepertinya setan dalam dirinya benar-benar sesuatu yang sulit dikendalikan.
"Jadi,aku akan tetap kuliahkan?"
"Baiklah,aku tidak akan melarang untuk itu. Tapi,kau benar-benar harus dalam pengawasanku." Dante tidak ingin Amanda terluka. Karena dia tahu musuhnya saat ini pasti sudah tahu jika Amanda ada dalam hidupnya. Terlepas wanita ini hanya memiliki perjanjian dengannya atau tidak.
Disisi lain tempat. Pria yang menjadi dosen tempat dimana Amanda belajar saat ini sedang menatap hamparan kampus didepannya. Dia mencari keberadaan wanita itu tapi tidak menemukanya dalam beberapa waktu ini.
Amanda menatap punggung Dante yang saat ini sedang sibuk menelpon. Bersantai dikursi gantung dan menatap pria itu. Terkadang,Amanda bertanya dalam hatinya apa yang sudah pria itu lewati dibalik kokohnya punggung pria itu. Satu waktu pria itu bisa menjadi begitu sensitif dan pemarah. Satu waktu yang lain dia menjadi sangat hangat.
Tapi,sejauh Amanda mengenal Dante sejak awal pertemuan mereka. Mata Dante melukiskan banyak hal yang ingin Amanda selami dan cari tahu. Derita apa yang telah dia lewati dari orang terdekatnya. Yang membentuk siapa dia hari ini.
"Sedang menatapku?" Manik hitam itu melihat kearah Amanda. Amanda mengulum senyum hangat.
"Aku sedang menatap keindahan didepanku."
"Aku tahu,aku indah." Amanda tertawa.
"Sejak kapan seorang Dante begitu percaya diri."
"Sejak bertemu denganmu,"ujar Dante duduk disebelah Amanda sembari laut didepan mereka.
"Banyak hal yang ingin ku tanyakan kepadamu. Tapi rasanya aku ingin menunggu kau bercerita sendiri,"ujar Amanda menatap Dante lembut.
"Tentang apa?"
"Segalanya,semua yang aku harus tahu. Terutama rasa sakitmu." Dante terdiam mendengar itu.
"Kenapa kau ingin mengetahuinya. Apa kau ingin mengkasihaniku?"
"Tidak,seperti tugasku. Aku ingin menyembuhkanmu. Dante," Amanda menarik wajah pria itu untuk menatapnya.
"Apa?"
"Berbagi rasa sakitmu denganku ketika kau siap. Aku mencoba menyelami semua melalui matamu dan aku menemukan banyak hal dan aku butuh jawaban." Dante terdiam. Bagaimana bisa Amanda melihat segala hal yang tidak dia katakan.
"Bagaimana kau tahu aku menyimpan banyak hal?"
"Aku melihatnya sejak awal pertama bertemu dan aku tidak tahu mengapa itu terjadi."
"Bagaimana ketika kau tahu,apa kau akan pergi dariku?"
"Ketika aku membutuhkan jawaban kenapa aku harus pergi? Aku menawarkan penyembuhan yang kau butuhkan. Tapi aku ingin tahu lebih dari itu sakit yang kau alami."
"Aku belum siap mengatakannya."Dante menatap nanar lautan didepannya.
"Lakukan ketika kau siap. Setiap rasa sakit akan selalu menemukan penyembuhnya Dante,"ujar Amanda tersenyum. Dia tidak ingin memaksa pria itu. Amanda tahu,bahwa pasti butuh waktu bagi Dante untuk bisa mengatakan segalanya.
Tapi,Amanda akan selalu siap menunggu pria itu bisa terbuka seutuhnya kepada dirinya. Dia sudah mengambil tangan Dante sejauh ini. Tidak ada alasan untuk kembali sampai dia menemukan semua jawaban yang dia inginkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Darkness Of Dante
RomanceHidup bagai dua sisi,hitam dan putih. keduanya adalah pilihan tapi bagi seorang Dante Fernandez dia tidak pernah mempunyai pilihan untuk itu. kehidupannya sudah berjalan tanpa bisa dia memilih. Gelap dan tanpa tujuan. ketika cinta datang kedalam hid...