07. overthinking

2.8K 409 123
                                    


Ejo Jo mengerutkan keningnya tak mengerti, kenapa pria di hadapannya ini tak terima dan nampak marah? Padahal ia hanya meminta sesuatu yang sebelumnya itu miliknya.

"Maaf, apa?"

"Kubilang, kamu sudah gila ya? [Name] sudah punya saya, saya sudah melakukan ijab kabul, saya juga sudah melaksanakan kewajiban saya pada [Name], dan [Name] sedang mengandung ... anak saya. Sebelumnya, kamu bilang bakal terima dan ngomong baik-baik sama saya, kan? kenapa tiba-tiba saya disuruh cerai dengan [Name]?"

Kalimat panjang kali lebar akhirnya keluar juga dari mulut Gempa setelah sedari tadi hanya diam mendengar kata-kata Ejo Jo yang menurutnya cukup menyebalkan.

Ejo Jo tertegun, dia menatap datar Gempa dengan kondisi hati yang saat ini bisa dibilang menjadi kurang baik.

"Saya ngomong gini, karena dulu [Name]—"

"—saya yakin, yakin kalau [Name] bahagia hidup sama saya. Mungkin saya memang orang baru yang datang di hubungan kalian berdua, saya memang gak tau banyak tentang [Name], tapi masalah itu, seiring berjalannya waktu pasti saya bakal paham tentang [Name] dan saya sudah berjanji untuk selalu ada di sampingnya hingga ajal datang menjemput."

Belum selesai Ejo Jo berbicara, Gempa lebih dahulu memotong perkataan Ejo Jo dengan kalimat panjang kali lebar khas miliknya. Hal itu membuat Ejo Jo menjadi sedikit kesal, apalagi Gempa mengatakannya seolah ia menolak permintaan Ejo Jo. Semakin naik darah, deh, Ejo Jo.

"[Name] itu punya saya, Gempa. Saya tidak mau berbagi suatu hal yang saya punya kepada orang lain."

"Maaf, Istri saya bukan barang."

Gempa sedikit menekankan kata 'istri' pada saat berbicara, sepertinya emosinya akan meledak sebentar lagi. Hebat Ejo Jo, kamu mampu membuat orang sabar jadi marah.

"Saya menolak jika disuruh bercerai. Lalu, saya rasa obrolan ini tak seperti yang dijanjikan di malam hari. Kalau begitu, permisi, saya duluan."

Setelahnya, Gempa berdiri, ia pergi dari Gazebo meninggalkan Ejo Jo sendirian disana. Aduh, sepertinya akan ada pertemuan lagi di hari selanjutnya.

___________

Sedari tadi, [Name] merasa ada yang aneh dengan suaminya setelah kembali dari pertemuannya dengan si dia. Namun, ia tak berani menanyakan apa yang terjadi, entah apa itu, [Name] yakin pasti ada hal buruk.

Sampai saat ini, tiba-tiba Gempa memeluknya erat dari belakang, tanpa memedulikan keberadaan Cahaya yang sedang belajar lewat youtube di depan televisi.

Biasanya Gempa akan lihat situasi dan kondisi saat ingin bermanja-manja atau bagaimana, tapi kali ini, sangat jelas Gempa tak peduli dengan sekitarnya, ia hanya ingin memeluk [Name] erat seolah [Name] itu hanya miliknya.

Memang cuman milik Gempa, sih.

"Gempaaaa, ada Cahaya."

"Gapapa, Cahaya gak bakal paham."

[Name] menaikan sebelah alisnya, "kenapa sih? Hasil obrolannya tadi gimana?"

Tepat setelah itu, Gempa semakin mengeratkan pelukannya pada [Name], sampai [Name] sedikit kesusahan untuk bernapas dengan lancar.

"[Name], maaf, ya."

[Name] semakin dibuat bingung oleh tingkah Gempa, "buat?"

"Maaf kalo kamu gak seneng hidup serumah sama aku."

"Eh? Aku seneng, kok. Ada apa?"

"... aku kurang ganteng, ya?"

Huh?

"Atau gajiku kurang buat kamu? Aku gak cocok, ya, jadi suamimu? Masakanku selama ini gak enak, ya? Atau ... aku memang cuma pengganti, ya?"

Loh, loh, loh, apa nih?

[Name] langsung melepaskan pelukan mereka berdua, ia menatap wajah Gempa yang nampak ketakutan juga gelisah, seperti orang yang mau ditinggal istrinya pergi—

"Dia ngomong apa ke kamu sampe kamu mikir kayak gini, Gem?"

"Aku itu cuma orang baru, ya, [Name]?"

Bukannya menjawab, Gempa malah balik bertanya hal yang menurut [Name] tidak seperti Gempa sekali.

"Gem—"

"—jawab dulu, [Name]."

Melihat tatapan Gempa yang seperti menuntut sebuah jawaban secepatnya, [Name] hanya bisa menghela napas dan mengiyakannya.

"Gempa, kamu bukan orang baru. Kamu itu suamiku, kamu itu ganteng, gajimu lebih dari cukup, kamu cocok banget jadi suamiku, malah kayaknya aku yang ga cocok, Gem. Masakanmu selalu enak, selalu jadi masakan favoritku yang kedua setelah masakan Mama, kamu bukan pengganti, a-aku memang suka sama kamu, kok ... dari awal kita gak sengaja tatap-tatapan."

Jawaban dari [Name] itu cukup memuaskan bagi Gempa, ia langsung sedikit mengukir senyum lalu mengambil langkah lebih dulu untuk melumat bibir ranum milik sang istri yang menjadi candu baginya.

Tapi, itu semua tak berlangsung lama karena Cahaya yang tiba-tiba datang dengan telpon ditaruh di telinganya.

"Iya, Papi! Aunty sama Uncle lagi belduaan! Papi mau liat, ndak? Aya tadi liat!"

Ternyata oh ternyata, Cahaya menyaksikan langsung drama pasutri itu sambil menelpon papi-nya alias Solar tercintaah kita.

"Aya ... kenapa gak bilang kalo Papi-mu nelpon kamu?"

"Habicnya, Aunty kayak ndak mau diganggu."

Salah kan Gempa karena tadi tak mau peduli dengan SiKon.

"... Aku udah agak legaan, kamu main sama Cahaya aja, aku mau ke kamar."

"Ngapain?"

"Lanjut overthinking." Katanya sambil sedikit terkekeh di akhir. Hal itu sontak membuat [Name] melotot dan siap melemparkan sandal rumah yang ia pakai sekarang.

"Bercanda, [Name]. Mungkin."

"Yasudah, beneran jangan overthinking, ya? Sisanya kita omongin pas mau tidur."

"Iyaa, dear."

_____________

Eh ternyata di kamar Gempa lanjutin ovt-nya.

Aku tadi mau pub pas maghrib tp kok kayak ada yang aneh, eh ternyata emang bener, aku malah nulis chap Gempa di book Ice 😭✋

See u nanti malem lagi!

pengganti; b. gempa [√]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang