awal

5.2K 505 116
                                    


Sholat Isya berjamaah telah berakhir, dirinya bangun dari tempat ia sholat lalu pergi kepojokkan masjid untuk mengambil Al-Qur'an yang ada di rak sana.

Setelahnya, Gempa menghampiri ustadznya, mengaji surah yang sama dengan si ustadz.

Gempa, laki-laki single berusia 26 tahun. Kakak dan adiknya sudah pada menikah, hanya dirinya dan adik keduanya; Ice saja yang belum.

Tak jarang mereka berdua mendapat pertanyaan "kapan nikah?" saat kumpul bersama keluarga besar. Oleh sebab itu sekarang Gempa jadi merasa malas kumpul, Ice saja yang dari dulu malas semakin malas kumpul karena pertanyaan itu.

"Gempa, makhraj¹ huruf anta² udah makin bagus, kayak biasa juga, suara anta merdu banget kalo baca Al-Qur'an." Puji ustadznya, ia menutup Al-Qur'an nya, begitu juga dengan Gempa. Setelah selesai mengaji, si ustadz dan Gempa mengobrol sebentar sebelum balik ke rumah.

"Gempa, di kota sebelah ada perempuan yang ditinggal kabur calon suaminya. Seharusnya besok mereka menikah, tapi pengantin pria nya kabur. Undangan sudah disebar dimana-mana."

"Kasian ... Masih ada aja yang kayak begitu."

Si ustadz manggut-manggut, dia menatap anak murid kesayangannya dari atas kebawah. Gempa itu setia menjadi muridnya dari kelas 5 SD hingga sekarang berumur 26 tahun.

"Karena itu, anta mau gak, gantiin posisi si laki-laki itu? Kalo mau, kita berangkat sekarang ke kota sebelah."

Gempa membulatkan matanya kaget, tak ia sangka ia akan mendapatkan tawaran seperti ini. Bukannya apa, namun tawaran seperti ini sangat langka dan jarang.

"Ah ustadz bisa aja bercandanya, hehehe."

"Ana³ serius, akhi⁴."

Tatapan si ustadz sangat serius, membuat Gempa terdiam dan menunduk—tak tahu ingin menjawab seperti apa.

"Anta mau atau tidak?"

"Bukannya ana menolak, ustadz. Tapi ana harus meminta izin kepada orang tua, lalu membelikan mahar untuknya—dan ana, belum pernah bertemu dengan dia, ustadz."

Ustadz itu mengerti, ia tahu jikalau Gempa mengkhawatirkan hal ini, karena si ustadz sudah mengenal Gempa lebih dari 15 tahun.

"Telpon orang tua anta sekarang, Gempa."

"Ana gak bawa handphone ke masjid, ustadz."

Si ustadz diam sebentar, sebelum akhirnya ia merogoh saku kokoh nya dan mengeluarkan benda persegi panjang itu untuk Gempa.

"Pakai handphone ana, hubungi orang tua anta."

Gempa mengangguk, dia mengambil handphone si ustadz dengan hati-hati, lalu memencet kontak ayahnya yang sudah lama ustadznya itu simpan.

Tut... Tut...

"Halo?"

"Assalamu'alaikum Ayah, Gempa mau minta izin dan restu. Tolong panggil Bunda juga."

Amato—sang ayah, mengerutkan keningnya tak mengerti, namun dirinya tetap memanggil sang istri tuk berbicara dengan Gempa.

"Gempa! Bunda kangeen sama Gempa, sama saudara Gempa juga! Kalian udah sibuk urusan masing-masing, sih, Bunda jadi kesepian tauu. Gempa mau pulang ke rumah Ayah Bunda?"

Laki-laki itu bisa mendengar nada antusias yang dikeluarkan oleh bundanya, dari sini pula ia sadar, darimana sifat aktif Taufan, Thorn, dan Blaze.

"Enggak, Bunda. Maaf, ya. Tapi Gempa beneran mau ngomong serius sama Ayah bunda."

"Eh? Apa tuh,"

Gempa menatap ustadznya sebentar, dalam hati sendiri ia masih merasa ragu dengan tawaran sang ustadz—maksudnya, menjaga dan merawat seorang wanita itu tidak mudah, loh. Gempa takut jika ternyata batinnya belum siap dengan yang namanya rumah tangga.

pengganti; b. gempa [√]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang