"Happy Reading"°°°°°
Rafly mendorong pelan pintu ruangan itu, seketika bau obat menyeruak masuk ke indera penciumannya. Sejak pertama kali masuk, pandangannya jatuh pada seorang gadis yang terbaring tidak sadarkan diri di atas brankar pasien. Ia berjalan menuju gadis itu, semakin dekat semakin sakit pula yang Rafly rasakan.
Rasa bersalah lagi-lagi menyembul dari dalam hatinya, ia merasa tidak bisa menjaga cintanya. Tangannya bergerak mengelus rambut Nasya dengan lembut, dalam hatinya berharap ia diberi kesempatan untuk melihat lagi senyum manis dari gadisnya.
"Sya, aku kangen sama kamu," bisiknya pilu, sekuat tenaga ia menahan tangisnya. Rafly tidak mau terlihat lemah di depan Nasya, ia sudah berjanji akan menjadi tameng terkuat untuk kekasihnya ini.
"Kamu harus kuat, kamu harus bisa bertahan." Senyum getir terbit setelah ia mengatakan itu. Rafly teringat pada Alana, ia lupa belum mengabari gadis itu mengenai kondisi Nasya saat ini. Dengan cepat ia merogoh sakunya, mengambil benda persegi itu dan mengetikkan beberapa digit.
Berdering ....
Rafly menunggu beberapa saat sebelum akhirnya suara Alana mulai terdengar dari seberang sana.
"Halo, kenapa, Fi?"
"Halo, Na. Aku mau ngabarin soal Nasya," balas Rafly.
"Nasya kenapa? Kamu sudah ketemu dia?" tanya gadis itu dari seberang sana.
Rafly menghembuskan napasnya pelan, sebelum akhirnya menjelaskan apa yang telah terjadi pada Nasya. Keadaan kekasihnya yang saat ini terbaring tidak sadarkan diri dengan perban di lengan kirinya. "Jadi gitu, Na. Maafin aku baru ngabarin sekarang, soalnya tadi kalut banget lihat Nasya sekacau itu," ujar Rafly mengakhiri penjelasannya.
Selama Rafly menjelaskan, air mata mulai menggunung di pelupuk mata Alana. Ia benar-benar tidak menyangka ini akan terjadi pada sahabatnya. Rafly rupanya tidak menceritakan semuanya, ia hanya mengatakan Nasya hendak melakukan aksi bunuh diri dengan alasan yang masih tidak diketahui.
"Iyah enggak apa-apa, Fi. Sekarang Nasya dirawat di mana?" tanyanya serak, Alana sudah tidak bisa menahan air matanya saat ini.
"Di rumah sakit Citra Medika, sekarang masih di UGD. Tapi nanti kalau udah dipindah di ruang inap aku kabarin lagi, Na," jelas lelaki itu.
"Oke makasih, Fi. Aku siap-siap dulu, kabarin aja kalau kamu butuh sesuatu nanti aku bantu," balas Alana yang dijawab 'iyah' oleh Rafly dan selanjutnya panggilan telepon berakhir.
Setelahnya, kesunyian kembali menghinggapi ruangan itu. Kesunyian itu membawa pikiran Rafly saat awal ia bertemu dengan Nasya, takdir yang membawa mereka bisa bertemu dan dekat seperti ini.
Flashback ....
Hari itu bisa dikatakan sebagai hari tersial bagi Rafly, bagaimana tidak, ia sudah berjalan hampir setengah jam mendorong motornya namun belum mendapati penjual bensin eceran di mana-mana. Keputusannya memilih melewati jalan tikus yang katanya lebih cepat sampai, malah berujung apes. Motor yang Rafly kendarai tiba-tiba mogok di perumahan baru yang masih sedikit penghuninya membuatnya tidak bisa meminta tolong pada warga sekitar, ia hampir putus asa sampai beberapa kali lelaki itu mengumpat meluapkan kekesalannya.
Rafly mendongak ke langit, nampak mendung hitam yang berkumpul siap menghujami lelaki itu dengan senjatanya. Ia semakin mempercepat langkahnya, berharap di depan sana ada penjual atau bengkel yang bisa membantu motor kesayangannya ini.
Di sini lain, seorang gadis tengah mengendarai motornya pulang dari supermarket. Samar-samar ia melihat di depan sana seseorang dengan baju batik yang mirip dengan bajunya, tengah mendorong motor sendirian. Ia melambatkan laju motornya, mengimbangi jalan lelaki itu lalu berkata, "Kak, di depan sana ada bengkel."
Rafly menoleh mendengar suara gadis itu, tanpa sadar senyum terbit di wajahnya. "Beneran?"
Terlihat anggukan kecil sebagai jawaban. "Lumayan, sih." Setelah mengatakannya, gadis tersebut mendahului Rafly dan menghentikan motornya. Awalnya Rafly mengira gadis itu akan meninggalkannya sendirian di sini, namun ternyata salah besar.
"Istirahat dulu, Kak. Ini aku ada air putih, pasti kakak capek," tawarnya pada Rafly.
Tanpa banyak penolakan, Rafly langsung meminggirkan motornya dan menerima pemberian gadis itu. Ia meneguk air tadi dengan rakus, dirinya benar-benar kelelahan mendorong motor tipe Honda Vario 160 yang lumayan berat. "Makasih, ya," ucapnya setelah menghabiskan hampir setengah botol air mineral.
"Sama-sama, Kak. Bay the way, kakak anak SMANSA?"
Rafly mengangguk dan menjawab, " Iyah, kamu anak SMANSA juga?"
"Hehehe, Iyah, Kak."
"Aduh, jangan manggil 'kak' dong. Kayaknya kita seumuran," ujar Rafly tidak enak, ia menggaruk kecil belakang kepalanya.
"Emang kamu kelas berapa?"
"Sebelas MIPA dua." Gadis itu menutup mulutnya seolah tidak percaya dengan apa yang barusan Rafly katakan.
"Wah, tetangga kelas, dong. Ohh iyah, perkenalkan aku Nasya kelas sebelas MIPA satu." Gadis bernama Nasya itu mengulurkan tangannya, menawarkan agar mereka berdua berjabat tangan.
Rafly menyambut baik uluran tangan Nasya, lalu balik memperkenalkan diri. "Aku Rafly. Aduh enggak nyangka bisa ketemu tetangga kelas."
"Baru pulang?"
"Iyah, tadi sempet kerkom sama temen jadinya baru pulang. Eh, pas banget sampe perbatasan sana malah mogok. Kayaknya kehabisan bensin," paparnya pada Nasya.
"Bengkel depan sana jualan bensin eceran, deh. Ayok nebeng aku beli bensin, motornya simpan sini aja insyaallah aman," tawar gadis itu, tidak lupa dengan senyum ramahnya.
Rafly tersenyum, lalu mengucapkan terimakasih kepada Nasya. Sepertinya keberuntungan masih mengikutinya, ia berjanji setelah ini akan rajin datang ke gereja agar keberuntungan selalu memihak pada dirinya dan menjadi anak Tuhan yang taat dan patuh.
Keduanya kemudian berboncengan dengan posisi Nasya yang membawa motor dan Rafly sebagai penumpang. Nasya melajukan motornya dengan kecepatan sedang, tidak lama-lama keduanya kini telah sampai di bengkel yang dimaksud gadis itu tadi.
Akhirnya kini motor Rafly bisa menyala kembali, berulang kali lelaki itu mengucapkan terimakasih pada Nasya bahkan jika dihitung sudah puluhan kali. "Sekali lagi terimakasih, aku enggak tahu jadinya tadi kalau enggak ketemu sana kamu."
"Iyah, sama-sama. Enggak usah kayak gitu, selagi aku bisa bantu bakal ku bantu kok." Nasya tidak enak hati, ketika Rafly terus-menerus mengucapkan terimakasih padanya.
"Lain kali aku traktir di kantin, deh. Aku hutang budi sama kamu."
"Eh, enggak usah," tolak Nasya.
"Enggak apa-apa, Sya. Santai aja. Aku duluan ya, mendung banget takut nanti malah kehujanan," pamit lelaki itu pada Nasya.
"Oh, iyah-iyah."
"Pokoknya makasih banget loh, Sya. Aku pamit duluan, bye." Rafly melambaikan tangannya sebelum menancap gas meninggalkan Nasya di sana.
Dan di sanalah awal pertemuan mereka, pertemuan yang menjadi bagian dari takdir. Tidak ada yang namanya kebetulan, walaupun hanya sebuah daun yang jatuh dari tangkainya. Semua yang terjadi adalah bagian dari rencana Tuhan.
Baik itu Tuhanku, ataupun Tuhanmu.
*****
Have a nice day ❣️
KAMU SEDANG MEMBACA
Agliophobia (Tamat)
Teen FictionMalam itu menjadi malam kelam, awal dari segala kehancuran yang menghampiri hidup Nasya. Awal dari masalah yang menjadi akar dari segala penderitaan yang tak berujung. °°°° "Lo kira dengan selingkuh sama Angga, gue bakal lepasin lo? Gak akan, camkan...