Ikhlas

622 23 5
                                    

"Happy Reading"

°°°°°

Terlepas dari kehidupan rumah sakit, kini Nasya telah diperbolehkan pulang ke rumah namun dokter menyarankan untuk selalu mengawasi gadis itu, takut apabila kejadian kemarin terulang kembali. Kini Nasya menatap sendu hujan di balik jendela kamarnya, pikirannya melayang begitu saja.

Rinai hujan seolah mengajak Nasya untuk menari bersamanya di bawah guyuran air yang selalu menjadi favoritnya, namun kini ia hanya bisa duduk dan menikmatinya dari balik jendela, tidak lama kemudian setetes air matanya turun begitu saja. Rasanya sakit ketika mengingat bahwa dirinya sudah dijamah lelaki bejad yang membuatnya merasa kotor dan tidak berharga lagi. Kejadian malam itu masih menjadi mimpi buruk yang kelam baginya.

Sebuah ide terlintas di kepalanya, entah itu merupakan ide yang baik atau malah ide buruk. Nasya benar-benar bimbang, ia menghembuskan napasnya pelan. Gadis itu akhirnya mengambil keputusan mungkin sebaiknya ia melakukan ini sejak awal saja, daripada harus menyakiti hati kekasihnya terlalu lama. Nasya memilih untuk berhenti, berhenti berharap bahwa masih ada akhir bahagia setelah kejadian ini.

"Maafin aku, Fi. Sejak awal aku memang enggak pantas buat kamu," batin Nasya, berat rasanya namun ia harus mengakhiri semua ini. Kisah yang mereka lukis bersama, kini harus ia hapus dengan paksa.

*****

Tok ... tok ... tok ....

Suara pintu depan terketuk pelan, Tias yang sedang duduk di ruang tamu langsung berdiri dan melangkah membuka pintu. Pemandangan pertama yang ia lihat adalah seorang wanita cantik menggunakan high waist pants putih tulang yang dipadupadan dengan blazer warna hijau pastel.

Wanita itu tersenyum sebelum akhirnya menyapa Tias, "Selamat siang, Bu."

"Siang. Mari masuk, Bu." Tias mempersilahkan tamunya untuk duduk terlebih dahulu di ruang tamu, sedangkan dirinya berjalan menuju kamar Nasya.

"Nak, ayok," ajak Tias, Nasya mengangguk dan mengikuti langkah mamanya. Gadis itu berjalan mengekori mamanya yang berjalan lebih dahulu, jujur saja saat ini jantung Nasya serasa ingin copot saja.

Sesampai di ruang tamu, ia disambut senyum menawan orang yang tampak tidak asing baginya. Nasya mencoba mengingat-ingat lagi, ia seperti pernah bertemu dengan wanita itu.

Kini mereka telah duduk berseberangan sebelum akhirnya wanita itu mulai memperkenalkan diri, "Sebelumnya perkenalkan saya Ratih Kumala, jadi saya adalah dokter rujukan rumah sakit untuk mendampingi anak ibu."

"Saya Tias, Bu," ucap Tias lalu menjabat tangan wanita bernama Ratih itu. "Dan ini anak saya, Nasya," lanjutnya kemudian, sambil memperkenalkan Nasya.

Ratih menatap Nasya dengan ramah, senyum di wajahnya pun seolah tidak pernah luntur. "Halo, Nasya."

"Maaf, Bu. Apa kita pernah bertemu sebelumnya? Wajah ibu seperti tidak asing bagi saya," tanya Tias dengan senyum kecilnya, pertanyaan itu mewakili hati Nasya yang sejak tadi gundah.

"Iyah, Bu. Minggu lalu saya mengantarkan Nasya pulang." Nasya dalam hati ber-oh ria, pantas saja seperti tidak asing baginya. Ternyata wanita itu yang menyelamatkan dirinya dari niatan untuk bunuh diri.

"Ohh, iyah-iyah. Saya ingat, sebelumnya makasih sudah mengantarkan Nasya pulang." Ratih tertawa renyah sambil mengangguk.

Setelah basa basi selesai Tias meninggalkan kedua orang itu di ruang tamu, karena sebelumnya Ratih meminta untuk berbicara hanya berdua dengan Nasya. Tias membiarkan saja hal tersebut karena dari tampilannya Ratih terlihat baik dan ramah, jadi ia tidak khawatir akan terjadi apa-apa pada Nasya.

Dua jam berlalu begitu saja, kini Tias sudah duduk lagi di samping Nasya. Menggenggam erat tangan gadis itu yang kini terasa dingin, beberapa menit yang lalu Ratih pulang, setelah ia berpamitan pada Tias.

"Mama," panggil gadis itu, ia bersandar pada bahu Tias.

"Iyah."

"Apa Nasya masih berharga? Nasya udah enggak perawan lagi dan kemungkinan buruk Nasya bisa hamil gara-gara orang itu," ujarnya lirih, ia memutar-mutar jarinya pada rok bunga-bunga yang gunakan.

"Nak–"

"Apa Nasya masih pantas sama Rafly? Nasya enggak bisa jaga kehormatan, Nasya udah sama kayak pelacur," sela Nasya, ia terus meracau tidak berhenti.

"Nak, kamu enggak boleh bilang begitu!" tegur Tias, ia tidak suka Nasya menyamakan dirinya dengan pekerjaan buruk seperti itu. Nasya hanya korban di sini, tidak seharusnya gadis itu mengatakan hal tersebut.

"Nasya kotor, Ma."

"Shuttt! Kamu enggak boleh bilang begitu! Mama enggak suka," balas Tias, ia sedikit meninggikan suaranya agar Nasya tahu bahwa semua yang dipikirkannya itu sama sekali tidak benar.

Sebulir bening itu kembali menetes mengenai telapak tangan Tias yang berada di paha Nasya, wanita itu menunduk lalu menatap anaknya yang sudah bersimbah air mata. Dengan sabar Tias mengelap air mata Nasya dengan perlahan, memberi kelembutan seolah-olah jika usapan itu kasar benar-benar akan menghancurkan anaknya.

"Udah ya, Nak. Kamu harus bangkit, kamu harus kuat." Wanita itu mencoba memberi semangat pada Nasya.

Lagi-lagi Nasya memeluk erat tubuh mamanya, ia memilih menangis di pelukan hangat itu. Rasanya begitu nyaman dan aman, Nasya selalu menyukai hal itu. Ia senang masih diberi kesempatan untuk bisa mendapat pelukan hangat dari sang Mama.

"Mama sayang banget sama Nasya, kamu cepat sembuh ya, Nak. Jangan selalu mikirin apa kata orang." Tias mengatakan itu tulus, secara mengelus pelan rambut gadis itu yang begitu halus dan wangi.

"Nasya takut Rafly pergi, Ma," cicitnya lirih, tangis gadis itu belum mereda sejak tadi. Semua konsekuensi buruk telah membayang-bayanginya, membuat tidur Nasya tidak nyenyak.

"Rafly enggak akan ninggalin kamu, Nak. Dia sayang banget sama kamu," jelas Tias.

"Tapi aku yang bakal ninggalin dia, Ma," batin Nasya merintih, Rafly tidak akan meninggalkannya karena Nasya lah yang akan meninggalkan lelaki itu. Menyudahi hubungan mereka yang memang seharusnya tidak akan pernah terjadi, hubungan yang melibatkan dua Tuhan dalam jalannya. Hubungan yang menimbulkan kebahagiaan semu yang sifatnya sementara.

Nasya akhirnya memilih diam dan menutup matanya, merasakan bulir air mata yang merembes melalui sela-sela matanya yang terpejam. Gadis itu tertidur di pelukan mamanya, menikmati bau khas wanita yang telah melahirkannya. Bau yang menjadi favoritnya sejak dulu.

Tias mengelus pelan rambut hitam anaknya, membiarkan gadis itu tenggelam dalam mimpinya dan sejenak melupakan kenyataan yang begitu pahit. Dalam hati wanita itu menangis, sedih ketika melihat anak kesayangannya harus mendapatkan semua kesakitan ini. Entah hal buruk apa yang pernah ia lakukan di masa lalu, hingga karma yang di dapat Nasya begitu berat.

"Maafin Mama, Nak."

*****

Have a nice day ❣️

Agliophobia (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang