"Happy Reading"°°°°°
Gadis itu duduk di teras rumahnya, menatap rembulan yang kini bersinar terang. Bintang-bintang berkelap-kelip di sekitarnya mempercantik suasana malam ini. Gadis itu adalah Nasya, ia terduduk sendiri di kursi kayu di depan rumahnya. Pikirannya berkelana, memikirkan apa yang sedang dilakukan kekasihnya.
Sudah dua hari ini Rafly tidak menampakkan batang hidungnya, lelaki itu sama sekali belum muncul. Terakhir kali ia melihatnya saat pagi itu, setelah menemaninya semalaman dan tidur bersamanya di ranjang rumah sakit. Jujur Nasya merindukan lelaki itu, ia tidak bisa membayangkan bagaimana jika ia benar-benar berpisah dengan Rafly. Baru membayangkannya saja membuat dadanya sesak.
Nasya tidak bisa menghubungi Rafly karena ia kehilangan ponselnya saat kejadian malam itu, ia terhenyak ketika bahunya ditepuk pelan oleh seseorang. Gadis itu menoleh dan mendapati mamanya tengah tersenyum padanya. "Mama."
"Kamu ngapain di luar malam-malam?" tanya Tias, ia kemudian menjatuhkan bokongnya ke atas kursi di samping gadis itu.
"Nasya cuman pengen lihat bintang, Ma." Netra gadis itu menatap angkasa yang dipenuhi jutaan bintang-bintang.
"Ayo masuk. Udah malam loh, kamu harus istirahat," ajak wanita itu, Nasya menoleh dan mengangguk singkat. Ia kemudian berjalan lebih dahulu dengan Tias yang mengikuti dari belakang.
Di lain tempat, Rafly tengah menatap langit-langit kamarnya. Pikirannya kacau, ia benar-benar tidak baik-baik saja. "Cewek itu pasti bukan Nasya."
Akal sehatnya terus menolak fakta itu, meskipun bukti terus mengarah pada gadisnya. Ia mengacak rambutnya frustasi, lelah dengan semua ini. Bagaimana perasaan gadis itu kalau sampai tahu jika pelaku di balik ini semua adalah kakaknya sendiri, Nasya pasti tidak akan pernah mau bertemu dengannya lagi.
"Bangsat!" umpatnya kasar, ia berdiri dan meninju tembok kamarnya sampai-sampai buku-buku jarinya memerah. Napasnya menderu seiring dengan dadanya yang naik turun mencoba mengontrol emosi agar tidak semakin menjadi-jadi.
Jika semua pikirannya benar bagaimana dengan kelanjutan hubungannya dengan Nasya? Ia tidak mungkin egois dengan memaksa Nasya tetap bersamanya disaat sang kakak ingin mempertanggung jawabkan perbuatannya.
Rafly kembali membaringkan tubuhnya di kasur busa miliknya, kini emosinya sudah mulai mereda. Susah baginya untuk mengambil keputusan, ia harus benar-benar mempertimbangkan semuanya dengan matang, karena satu kali saja ia salah langkah maka semuanya akan hancur dan berujung sia-sia.
"Aku enggak bisa gini terus. Aku harus bisa ikhlas," ucapnya lirih, berat rasanya ketika harus dihadapkan dengan pilihan ikhlas. Namun apalagi yang bisa ia lakukan selain itu? Pada akhirnya Rafly harus merelakan semua ini pergi meninggalkannya.
Lelaki itu harus mulai belajar mengikhlaskan Nasya, ia tidak bisa terus-terusan mengurung gadis itu di penjara ketidakpastian yang selalu ia derukan. Jika memang Geva adalah orang yang telah melecehkan Nasya, maka kakaknya itu harus bertanggung jawab atas semua yang telah ia lakukan, namun jika itu semua tidak benar maka Rafly harus tetap melepaskan Nasya. Karena sejak awal hubungan mereka sudah ditentang oleh takdir, tetapi keduanya tetap bersikukuh untuk terus bertahan.
Hubungan mereka memang telah terjalin hampir satu tahun, tapi bagi Rafly hubungan mereka tetap stuck di tempat. Mereka tidak ada kemajuan atau kemunduran, seolah-olah hubungan keduanya digantung begitu saja.
"Maafin aku, Sya. Maaf ...," lirihnya pilu, tangannya terangkat mengelus dadanya yang terasa sesak. Seperti sesuatu tak kasat mata telah menimpanya menimbulkan rasa sakit yang tidak ada obatnya.
Dan mulai hari ini, malam ini di tempat kediamannya. Rafly berjanji akan mulai mengikhlaskan semuanya, termasuk hubungan mereka yang baru saja akan tumbuh. Lelaki itu terpaksa menginjak-injak benih yang baru akan menampakkan bakal daunnya demi membuat tanaman itu kembali di bentuk semulanya, ia tidak mau serangga akan merusak benihnya dan membuat luka abadi yang terus melekat.
Rafly memilih menghancurkan hubungannya saat ini, setidaknya rasa cinta di antara mereka belum sepenuhnya mekar sehingga ia merasa lebih baik sakit di awal untuk mendapatkan kebahagiaan yang lebih baik di masa mendatang. Dibandingkan memilih bertahan dan malah akan membuatnya semakin tersakiti dalam waktu yang lama.
*****
Hari berlalu begitu begitu, Minggu berganti dengan cepatnya. Nasya terus melakukan dampingan psikologi dengan Ratih dan kini keadaan gadis itu semakin membaik, phobia yang dulu ia miliki sekarang lebih bisa terkontrol. Namun di balik kabar itu, Nasya merasa hampa. Sahabat dan kekasihnya sama sekali tidak pernah menemui atau sekedar berkabar padanya.
Nasya duduk di pinggir ranjangnya, memegang ponsel yang baru saja ia dapatkan dari mamanya. Ia baru boleh mendapatkan benda pipih itu setelah dua bulan lamanya tidak boleh mengakses dunia luar lewat media sosial. Ratih mengantisipasi hal tersebut untuk kesehatan Nasya, karena gadis itu dulu masih susah menjaga emosinya.
Gadis itu menatap layar ponselnya yang tertulis dua belas angka, ia ragu untuk memencet tombol hijau guna menghubungi sahabatnya, Alana. "Nasya." Ia menoleh mendapati mamanya tengah tersenyum padanya.
"Ayok makan dulu," ajak wanita itu, beberapa detik kemudian ia mengangguk lalu meletakkan benda pipih itu di ranjangnya dan melangkah mengikuti mamanya.
Nasya menerima lauk pauk yang di suguhkan mamanya, gadis itu dengan perlahan menikmati makan siangnya. Hanya keheningan di antara mereka selama kegiatan makan, memang Tias begitu melarang melakukan percakapan selama makan.
Tias meneguk air putih, mengakhiri kegiatan makannya setelah sebelumnya Nasya terlebih dahulu melakukan hal tersebut. "Minggu depan kamu udah boleh masuk sekolah," ucap Tias mengawali percakapan di antara mereka.
Nasya melengkungkan senyum manis, tibalah saat-saat yang sangat gadis itu tunggu. Bisa kembali bersekolah untuk bertemu Alana dan Rafly, ia sudah tidak sabar untuk mengulang kembali masa-masa sekolahnya sebelum kejadian itu.
"Nasya enggak sabar, Ma." Tias tersenyum, senang rasanya bisa melihat anak kesayangannya itu kembali ceria. Nasya memang sudah banyak berubah, meskipun tidak akan pernah seratus persen kembali seperti dulu. Tetapi Tias yakin anaknya sudah berusaha semaksimal mungkin.
"Kamu banyakin istirahat dan obatnya jangan lupa di minum, biar Minggu depan kamu benar-benar fit buat sekolah," jelas Tias memberi nasehat.
Nasya mengangguk kecil, senyum di wajahnya masih senantiasa terukir. Tidak berselang lama ia kemudian kembali bersuara, "Nasya mau ke kamar dulu, Ma. Mau ngabarin Alana."
"Iyah, sekalian istirahat ya, Nak."
Nasya lagi-lagi tersenyum, lalu meninggalkan meja makan tersebut. Meninggalkan Tias yang terduduk sendirian di sana, dengan senyum bahagia di wajahnya yang mulai menua.
*****
Have a nice day ❣️
KAMU SEDANG MEMBACA
Agliophobia (Tamat)
Teen FictionMalam itu menjadi malam kelam, awal dari segala kehancuran yang menghampiri hidup Nasya. Awal dari masalah yang menjadi akar dari segala penderitaan yang tak berujung. °°°° "Lo kira dengan selingkuh sama Angga, gue bakal lepasin lo? Gak akan, camkan...