New Version "アイシテル HARUTO!"
Awalnya, semua terasa hampa. Tak ada satupun hal yang membangkitkan semangat. Hidup tanpa tujuan, raga tanpa daya.
Namun, dunia ini punya banyak kejutan. Membawa keinginan juga harapan yang belum tentu menjadi kenyataan...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
36. Slowmotion
"Gapapa, dek. Pelan-pelan, jangan liat teman. Jalanmu dengan mereka itu beda. Bukan masalah siapa yang lebih dulu, tapi tentang bagaimana kamu menyikapi masa-masa mudamu."
Fia hanya mengangguk mendengar nasihat Diana. Saat ini, mereka sedang melakukan panggilan suara. Awalnya Diana menghubunginya, bertanya bagaimana kabarnya. Firasat seorang ibu memang sangat kuat. Wanita itu dapat merasakan apa yang akhir-akhir ini Fia pikirkan.
Masa depan.
"Lakukan apa yang membuatmu senang, dek. Kamu berdiri di atas kakimu sendiri. Kalau kamu terus liat orang lain, dengerin kata mereka, kamu gabakal dikasih ruang buat lari. Bahkan untuk jalan aja susah. Lewati mereka. Kita lahir ke dunia sendiri, jadi kamu punya hak untuk melawan jika itu memang salah. Oke anak ibu?"
Fia terkekeh menahan air matanya. Fia kembali mengangguk lalu berdeham pelan, menetralkan suaranya agar tak terdengar bergetar.
"Iya, bu. Makasih banyak. Sekali lagi maaf ya,"
"Sudah, kamu tidak melakukan kesalahan. Kenapa minta maaf?" Terdengar tawa kecil dari seberang sana. "Jangan sembunyikan apapun dari ibu. Percuma, karna ibu merasakannya, Fia."
Pecah sudah tangisnya. Menunduk sekilas lalu mengusap kasar wajahnya, Fia berusaha tersenyum sebelum menjawab ucapan ibunya.
"Engga bu, elahh Fia mah gapapaa," ucap Fia diselingi kekehannya.
"Ini kalo ibu ada di depan kamu udah tak tabok tuh pipi."
"Hahah! Ibu jahaatt ihh! Dek bilangin Haruto nanti,"
"Bilang aja. Ibu yakin kalo dia bakal belain ibu."
Fia mengerjap pelan. Fia menyadari perubahan respon ibunya ketika ia menyebut nama cowok itu. Biasanya, Diana mengelak dan memberi respon bertolak belakang jika Fia mengatakan apapun tentang Haruto, tentang angan kecilnya.
"Whoahh? Ibu mulai sayang Haruto ya?"
"Kalau anak ibu menyayanginya, ibu lebih menyayanginya."
Tanpa sadar lengkung manis itu terbit. Menemani semu merah di pipinya juga hatinya yang menghangat.
"Tapi sayangnya, Fia mencintainya."
"Kalau begitu, ibu akan berterima kasih padanya."
"Eh?! A-apa yang ibu bilang?!"
"Hahah! Kenapa sayang? Emang gak boleh?"
Fia terkejut. Bukan tanpa alasan, dirinya hanya heran kenapa ibunya tiba-tiba mengucapkan hal itu.