dua puluh enam

29 7 2
                                    

Aku terbangun di malam hari. Mimpi, baru saja aku bermimpi tentang laki-laki yang sedang ku cari.

Tanpa aba-aba aku meneteskan air mata. Entahlah aku tak paham mengapa tiba tiba aku menangis. Yang ku tahu hanyalah sosok yang hadir itu adalah hendra.

Terdengar suara ketukan pintu yang mengambil alih perhatianku. Agam ternyata.

"Kita keluar yuk an."

"Kemana?"

"Katanya di sekitar sini ada taman kecil an, ayok jalan bentaran. Gue kira lo tidur lho an."

"Engga, yaudah lo tunggu di lobi aja bentar gue mandi gak lama."

"Oke,'' agam menurutiku dan aku menutup pintu kamar bergegas menuju kamar mandi.

"Gue suka banget sama jalanan disini." Kata agam.

"Gue juga," Kataku.

"Vibes nya beda aja gitu sama di jakarta ya kan an?"

Aku mengangguk.

"Kita kesana yuk." Agam menunjuk kedai caffe yang tak jauh dari kami berdua.

"Boleh, gue lagi pengen kopi nih."

Kami berjalan menuju caffe itu.

"Gue yang pesen ya an."

Lagi-lagi aku menjawab dengan anggukan.

Aku melihat sekeliling jalanan dari tempatku duduk.
Aku memilih untuk duduk di luar ruangan u tuk menikmati jalanan yang di lejui oleh kendaraan dan langit malam yang cerah menampakkan bintang bintang cantik.

Aku masih belum mencari tentang keberadaan orang yang membuatku datang  kemari. Aku belum siap, mungkin besok aku akan mulai mencari tau dimana hendra berada.

Disela-sela sibuknya aku melihat jalanan yang lajui kendaraan tiba-tiba mataku terkunci pada wajah yang sangat aku kenali. Iya, dia, mungkin ini terlalu cepat tapi dia adalah mahendra.  Tanpa pikir panjang lagi aku langsung bangun dari dudukku dan berjalan menuju pinggir jalan raya untuk menghampiri hendra.

Cowok itu sedang berbicara dengan seseorang yang aku tak kenal. Dia berada tepat di depan minimarket.

"Hendra!" Teriakku namun sosok yang ku panggil tak mendengar.

"Mahendra." Detik itu lelaki yang sangat aku rindu kembali menatpku setelah sekian lama.

Aku masih belum menghampirinya, kendaraan berlalu lalang menbuatku susah menyebrang aku hanya memanggil dari sebrabg jalan namun dia mendengar. Dia pasti mendengar.

"Nama gue Mahendra, kalau lo gak mau panggil Mahendra mahen aja, halau gak hendra. Gak ada indra.Aku gue lah mulut mulut gue kenapa lo yang antur coba? Lagi pun ya, lkalau gue kaya lainnya manggil nya entar jadi pasaran nah kalau indra 4 editon."

"Tapi kalau gue panggil lo Mahendra berarti gue butuh lo ya biar lo langsung dengar, kan kalau lo gue panggil indra kadang sok sok an ga denger."

Aku tersenyum menatap mahendra yang melihat ku.
Tatapan kita menyatu dengan waktu cukup lama. Aku melihat agam menarik tanganku saat hendak menyebrangi jalan yang mulai sepi.

"Mau kemana an?"

"Mau ketemu indra," aku melepaskan tanganku yang di genggam oleh agam.

"Indra," ucapku langsung memeluk hendra.

"Kenapa lo pergi?"

"Apa maksud dari semua hadiah lo kirim ke gue?"

"Gue kenapa sampe lo pergi gak bilang apa-apa."

"Ayok hen," panggil seseorang membuatku melihatnya.

"Hendra?" Panggil orang itu.

Aku melepaskan pelukanku pada hendra.

"Dia siapa hen?" Tanyaku.

"Gue istri hendra."

Tiba-tiba aku merasa dunia ku menjadi petang.
Istri? Candra seperti apa yang bisa seenggak lucu ini.

Aku tertawa renyah dan menatap hendra.

"Lo tau gue mau kesini? Makanya lo siapin kejutan ini?"

"An, apa lo gak ngerti sama hadiah terakhir yang gue kasih ke elo?" Tanya agam.

Suara nya masih dingin seperti biasa tiap kali ia bicara denganku, namun beda aku tidak merasakan hal biasanya rasanya aku benci suara dan nada bicara hendra kali ini.

Aku menyentuh pipi hendra yang bersih tanpa luka.

"Luka luka lo di mana dra?"

Hendra melepas kan tanganku.

"Udah ga ada. Selama ini gue luka demi lo. Dan tugas gue udah selesai an."

"Maksud lo?" Tanyaa ku tak paham.

"An, gue minta maaf. Tapi lo harus lupain gue dengan ribuan topeng itu. Gue bukan mahendra yang sebenarnya saat sama lo an."

"Gue gak paham maksud lo!" Bentakku.

"Lo cantik dengan rambut lo yang tergerai." Kata hendra.

"Jangan panggil gue cantik dra. Lo kenapa sih? Lo lagi bercanda sama gue? Plis gue gak pengen bercanda."

"Lo gak tau seberapa kangennya gue ke elo?"

"Lo gak tau kan seberapa lemahnya gue jalanin hari hari gue tanpa pendukung? Indra plis, gue jauh-jauh dateng dari jakarta buat ketemu lo disini."

"Anea," pekik agam setelah berlari dan ia menyentuh pundakku.

Air mata ku mengalir beriringan dengan bentakanku pada hendra.

"Tunangan lo lebih ganteng aslinya dari pada fotonya. Eh lupa, dulu dia temen sekolah gue. Haha, bisa-bisanya gue lupa."

"Man, selamat ya atas pertunangan kalian."

Aku menjabbak rambut gadis di sampingku.

"Jawab gue. Siapa lo? Dari mana lo kenal indra hah?" Tanya ku sambil menarik sesekali jambakan itu.

Agam dan he dra berusaha melepasku namun aku tetap mendambakan gadis itu.

"Jawab gue kenapa lo bisu. "

"An lepas." Kata hendra.

"An lepas an kasian dia, kita jadi to tenan orang an." Kata agam.

"Jawab gue!"

"Hendra emang suami gue kenapa?"

"Lo ngerasa kalah sebagai masa lalunya?

"Lo, lo jawab gue gak!"

Gadis itu tiba-tiba menjadi kuat dan mendorongku dan alhasil tubuhku terhempas pada tubuh agam.

"Gue bukan cinta hendra, bukan anea, gue bukan lo! Tapi gue lah istrinya,  itu faktanya an." Teriak gadis itu membenarkan rambutnya yang berantakan.

Mataku menatap hendra.

"Kepala gue pusing dra."

"Gue minta tolong sama lo, tolong besok datang temui gue di hotel moon yang cuman butuh 2 ruko dari kedai itu." Aku mendekati agam dwngan jalanku yang lemah.

Aku mengambil jari hendra dan menyatukan jari kelingking kenanku dengan miliknya.

"Gue mohon dra, jadilah indra yang gue kenal, indra yang anti ingkar janji." Aku tersenyum tipis dan berjalan meninggalkan mereka bertiga dwngan senyum yang terus merekah.

Senyum yang aku tak mengerti juga.

SFO Smiles (Proses Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang