Hari Minggu biasanya menjadi alasan banyak orang untuk menikmati waktu lebih lama di tempat tidur, melarikan diri dari rutinitas hari kerja. Tapi, itu tidak berlaku bagi Fano. Di saat anggota keluarganya masih terlelap dalam dunia mimpi, remaja berusia lima belas tahun itu sudah berada di dapur, sibuk dengan rencananya sendiri.
Jam baru menunjukkan pukul lima pagi, suasana rumah Jovetic masih sunyi, hanya ditemani gemerisik dedaunan di halaman belakang yang tertiup angin. Fano, dengan tatapan penasaran khasnya, mulai mengedarkan pandangan ke seluruh dapur, mencari sesuatu yang menarik perhatian. Matanya menangkap sebuah pisau kecil yang diletakkan rapi di atas meja. Senyum penuh arti terukir di wajah mungilnya.
Tanpa berpikir panjang, Fano mengambil pisau tersebut dan menyusup menuju halaman belakang dengan langkah mengendap-endap. Ia akan menguji refleks anak buah dari Stevan. Namun langkahnya terhenti ketika ia mendengar suara samar-samar dari dua bodyguard yang sedang berbincang serius. Ia mendekat pelan, menyembunyikan tubuhnya di balik tembok, hingga suara mereka terdengar lebih jelas.
“Kita harus mulai perlahan menghancurkan Jovetic dari dalam. Tidak ada cara lain,” ujar salah satu dari mereka dengan nada rendah tapi penuh keyakinan.
Mata Fano menyipit. Dia tahu betul apa arti pembicaraan ini: pengkhianatan. Tidak ada toleransi untuk itu di keluarganya. Remaja itu dengan sigap mengeluarkan ponselnya dari saku celana. Dengan cekatan, ia mulai merekam percakapan itu sebagai bukti.
Dia tidak berusaha menghampiri pengkhianat tersebut, bukan karena takut, tapi karena ia tahu ada aturan dalam keluarga mereka: pengkhianat bukan urusan bagi dirinya. Itu adalah tugas Stevan atau kakak-kakaknya, Rimba dan Argo. Namun, Fano sudah membayangkan bagaimana orang itu akan dihadapkan pada "Malaikat Kematian" — ruang penyiksaan khusus keluarga Jovetic. Pikiran itu membuat senyum licik muncul di wajahnya.
Setelah cukup merekam, Fano kembali ke dapur dengan ekspresi tenang seolah tidak terjadi apa-apa. Perutnya berbunyi, mengingatkannya bahwa ia belum sarapan. Ia membuka lemari dapur, mencari bahan-bahan yang bisa digunakan. Nasi dingin, telur, bawang, sosis, dan kecap cukup untuk membuat nasi goreng sederhana.
Ketika Fano mulai memotong bawang, para maid rumah tangga terbangun dan langsung menghampirinya. Mereka mencoba menghentikan Fano, dengan nada panik.
“Tuan kecil, biar kami yang memasak! Ini bukan pekerjaan Anda,” ujar salah satu maid dengan nada penuh kekhawatiran.
Fano menghentikan aktivitasnya sejenak. Tatapannya berubah dingin, tajam, seperti cerminan ayahnya, Stevan. “Aku tidak butuh bantuan. Kalau kalian ganggu lagi, kalian tahu apa akibatnya,” ucapnya tegas.
Mendengar itu, para maid tak berani berkata-kata lagi. Mereka mundur perlahan, hanya bisa menatap remaja itu melanjutkan memasaknya dengan cekatan, seperti seorang chef profesional. Fano memang anak bungsu, tapi auranya sudah memperlihatkan bahwa ia adalah bagian dari keluarga mafia yang berbahaya.
Beberapa menit kemudian, Fano selesai memasak nasi goreng sosis versinya sendiri. Dengan cekatan, ia menaruh nasi goreng itu di atas piring, porsinya jauh dari ukuran normal. Saat salah satu maid mencoba menghentikan langkahnya menuju kulkas, Fano mendorongnya perlahan.
“Ada sambal, nggak?” tanya Fano, santai.
“Tidak ada, Tuan Muda Stefano,” jawab salah satu maid.
“Kalau begitu, carikan supermarket yang sudah buka,” perintah Fano tanpa ragu.
“Tuan muda Stefano, ini masih terlalu pagi. Supermarket baru buka jam tujuh,” jelas maid itu dengan nada hati-hati.
“Kalau begitu, belikan cabai merah, hijau, keriting, terasi, dan tomat untukku. Aku mau bikin sambal sendiri,” ucap Fano tegas sambil melirik maid yang tampak ingin protes. “Dan kalau kalian membantah, aku akan mengadu ke Papa kalau para maid di dapur tidak becus memberiku makan!” ancamnya dingin.

KAMU SEDANG MEMBACA
Stefano Mahardika (END)
Ficción GeneralStefano Mahardika, atau yang akrab disapa Fano, adalah remaja tengil yang gemar bolos sekolah dan menjalani hidup keras di jalanan. Hidup sebatang kara, ia bertahan dengan mengamen dari pagi hingga malam demi sesuap nasi dan sekedar bertahan hidup. ...