Suite Room di hotel berbintang.
Alin keluar kamar mandi dan melihat pria itu, berdiri dekat jendela menengok kearahnya.
Ia sudah mengganti gaun yang ia gunakan dengan pakaian yang lebih casual, senada dengan yang digunakan suaminya.Benar, suaminya.
Ia baru saja menikah dengan pria yang sekarang berjalan menghampirinya.
Dani cara ia memanggilnya.
"Sori, lama." ucap Alin.
"Gapapa. Udah siap?" tanyanya yang dijawab dengan anggukan kepala oleh Alin.Mereka keluar dari kamar dan meninggalkan hotel berbintang itu tanpa sepatah kata pun. Orang lain yang melihat akan menganggap mereka sebagai pasangan serasi dan meninggalkan hotel itu untuk honeymoon romantis. Tapi bukan itu yang sebenarnya.
Didalam mobil, Dani menyetir dalam diam. Alin pun tidak tau harus berkata apa dan hanya menatap keluar jendela dengan malam yang semakin pekat. Mereka bergerilya dengan pikiran masing-masing.
Mereka tiba di area parkir sebuah apartemen penthouse. Kalau orang berpikir mereka akan pergi honeymoon ke tempat yang indah, tidak dengan mereka. Mereka memutuskan menghabiskan cuti pernikahan di apartemen milik Dani.
Dani mengeluarkan koper milik istrinya. Lalu, mereka berjalan berdampingan tanpa bersuara.
Sebenarnya Alin sudah tidak asing di apartemen itu, karena Dani pernah memintanya menginap disana seminggu sebelum hari pernikahan dan juga sekaligus untuk memindahkan barang-barangnya kesana. Tapi, yang asing adalah mereka berdua akan tinggal bersama disana mulai sekarang.
Pernikahan.
Ya, mereka sudah menikah.
Alin terus menerus mengingatkan dalam kepalanya tentang kenyataan itu.Dani melangkah kearah kamar dengan santai.
Wait, mereka akan sekamar?
Tentu saja. Mereka sudah sah secara hukum dan agama sebagai suami-istri. Tidak hanya tinggal bersama, mereka akan sekamar dan seranjang.Tanpa menghiraukan perasaannya yang tak menentu, Alin berjalan memasuki kamar barunya, kamar mereka. Barang-barang yang ia bawa kemari belum sempat dibereskan, namun ia sudah menata rapi didekat walk in closet. Dani meletakkan koper Alin tak jauh dari situ.
"Lin, kalo kamu ga nyaman, aku bisa ke ruang kerja. Seperti aku bilang, ga ada paksaan." ucap Dani sembari membuka salah satu laci di meja rias.
"Kenapa ngomong gitu? Kan udah sepakat."
"Yakin gapapa?" Dani tau pasti kalau istri barunya terlihat gugup.
"Kamu sendiri yang bilang, kamu ga akan maksa kalo aku ga mau."
"Aku ga akan maksa ataupun nuntut. Kamu bisa percaya aku." Dani mengangkat tangannya untuk membuat Alin yakin.
Ya, mereka sepakat untuk menjalani pernikahan secara normal. Tapi, meskipun mereka sah menikah, Dani tidak akan menuntut haknya sebagai suami. Tidak, sampai Alin dan dirinya siap.
Benar, Dani juga harus menyiapkan diri. Ia bisa menerima Alin sebagai istrinya, tapi ia tak yakin sudah jatuh cinta pada wanita itu. Begitupun sebaliknya. Mereka menikah karena memang ingin membangun rumah tangga, karena mereka saling membutuhkan.
Tapi, apa cinta dibutuhkan dalam pernikahan mereka? Dani belum 100% yakin akan hal itu. Pernikahan yang disiapkan secara singkat ini, apa akan bertahan? Ia tidak tahu. Namun, ia dan istrinya sepakat menjalani pernikahan ini tanpa beban.
Dani mengambil pakaian tidurnya dan berganti pakaian di kamar mandi.
Alin membongkar koper dan mengambil yang ia butuhkan.
Sembari membersihkan make up, ia menunggu Dani keluar. Pikirannya melayang jauh. Apa yang sedang Dani pikirkan saat ini? Apa Alin bisa mempercayai suaminya?Sejujurnya, Alin masih belajar untuk percaya pada Dani yang baginya masih orang asing. Namun, sepakat tetaplah sepakat. Ia mencoba menyadarkan diri tentang situasinya saat ini.
Alin bergantian dengan Dani masuk ke kamar mandi. Ia berdiam memandang cermin diatas wastafel. Menyentuh bibir perlahan. Hari ini ia mendapatkan ciuman pertamanya dan itu bersama Dani. 2 kali mereka berciuman, saat dinyatakan sebagai suami-istri di Gereja dan wedding kiss saat resepsi berlangsung.
Perlahan Alin mengganti pakaiannya dengan yang lebih santai untuk tidur. Ia berharap Dani sudah tertidur saat ia keluar dari kamar mandi, tapi ia salah. Pria itu justru berada didepan kamar mandi saat ia membuka pintu.
"Eh, kenapa?" Alin benar-benar terkejut hingga hampir menabrak Dani.
"Lama banget didalem. Aku kira kamu ketiduran. Hampir mau aku dobrak pintunya." jawab Dani dengan suara cemas. Jelas saja, itu karena Alin tidak keluar dari kamar mandi lebih dari setengah jam, lebih lama dari saat ia bersiap di hotel sebelumnya. Dani tidak ingin Alin tertidur di lantai kamar mandi yang dingin hanya karena tidak ingin seranjang dengannya.
"Soriii, agak mules." Alin beralasan. Ia memang sempat berpikir gila untuk berdiam didalam kamar mandi yang dilengkapi bathub itu. "Kok belum tidur?"
"Nungguin kamu." Dani berbalik dan duduk di tepian tempat tidur. Alin mengikuti dan duduk di kursi meja rias berhadapan dengan suaminya.
"Lin, kita sepakat untuk menikah, jadi aku mau kamu jujur." Alin menjawab dengan anggukan. "Apa tadi kamu mikir buat tidur di kamar mandi?"
Alin sejujurnya terkejut dengan pertanyaan Dani. Tapi, ia berusaha menampilkan wajah tanpa ekspresi, "Ga kok. Perutku emang mules." ia terpaksa berbohong. "Kenapa?"
"Gapapa. Seharian uda cape, mending sekarang tidur. Besok banyak yang harus kita omongin." Dani beranjak dan langsung menempatkan dirinya diatas ranjang.
Alin menjemur handuknya. Berusaha tidak peduli dengan detak jantungnya yang tak karuan dan berjalan ke ranjang dengan Dani yang masih duduk sibuk dengan handphonenya
Alin berbaring dan menarik selimut hingga menutupi tubuhnya. Tanpa menghiraukan suami barunya, ia berbalik dan membelakangi Dani. Ia kelelahan, matanya sudah sangat mengantuk. Dani mendengar nafas Alin yang tenang pertanda ia sudah terlelap.
"Good night, Lin." Dani berbaring dengan tubuh miring menghadap punggung istrinya. Ia harus mulai terbiasa dengan situasi saat ini. Ia harus membiasakan diri dengan adanya Alin diatas ranjangnya.
+++++++++
Pagi harinya Dani bangun mendapati Alin sudah tidak ada di ranjang. Semalaman ia bangun beberapa kali dan memastikan istrinya tidak beranjak dari ranjang. Lebih tepatnya ia khawatir Alin akan histeris karena melihatnya saat bangun, tapi justru sebaliknya ia yang terlelap dengan nyenyak.
Dani langsung beranjak bangun dan keluar kamar, mendapati istrinya sedang memasak di dapur. "Morning." ucapnya.
"Morning." Alin hanya menengok sekilas lalu melanjutkan menggoreng nugget dan sosis.
Dani duduk di meja makan yang memang hanya cukup untuk 2 orang. Diatas meja sudah ada teh dan jus, serta 2 piring nasi goreng dengan telur dadar.
"Aku ga tau kamu suka apa. Jadi aku masak yang standar aja." ujar Alin sembari meletakkan sosis dan nugget diatas maja. Lalu ia duduk dihadapan Dani.
"No problem. Aku ga ada pantangan." Mereka pun menyantap makanan dalam diam.
Setelah membereskan meja makan. Dani mengajak Alin ke ruang tamu. Mereka harus membahas tentang pernikahan yang akan mereka jalani.
"Kapan kamu masuk kerja?" tanya Dani.
"Lusa. Aku cuma dapat cuti tiga hari. Kamu?" balas Alin. Wait, Dani butuh cuti? Kenapa ia menanyakan pertanyaan bodoh?
"Aku juga." Dani menjawab santai. "So, mengenai pernikahan ini, kamu mau gimana?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Fallin' Slowly [COMPLETED]
RomancePernikahan adalah hal yang sakral. Sama halnya bagi Alin dan Dani. Menikah adalah keinginan mereka, hanya saja tak ada yang tau perasaan keduanya. Tujuan mereka untuk mencari kebahagian, atau jati diri mereka yang sebenarnya?