Apa Kamu Cinta Dia?

733 44 0
                                    

"...Dimana Anda menyembunyikan kakak kandung saya?

Calvin melangkah pelan kearah Alin yang tidak bergeming. Darimana wanita dihadapannya mendapat keberanian? Ia tidak tahu. Padahal tidak ada yang menemani wanita itu saat ini. Sama seperti saat dulu. Tapi, sayangnya ia kecolongan karena Alin kabur dibantu kedua sahabatnya. Kalau saja Papanya tidak mengirimnya keluar negeri, ia akan mencari Alin, wanita yang selalu menolaknya.

"Saya tanya... apa kamu akan berpisah dengan Reinaldi?" Calvin berucap tepat dihadapan wajah Alin.

"Apa itu penting, Tuan Sadriansyah?" tanya Alin dengan nada yang harus Calvin akui mampu menusuk hatinya.

Calvin tidak memungkiri kalau Alin menarik perhatiannya. Cantik dan naif, itu yang terlihat dimatanya, dulu. Tapi, wanita yang saat ini dihadapannya terlihat lebih matang dan berani. Dan, Calvin semakin menginginkannya.

"Penting. Karena perasaanku ke kamu belum berubah, Alina." ujar Calvin dengan seksi.

"Perasaan? Apa saya tidak salah dengar? Saya tidak yakin Anda memiliki hal tersebut." Alin mengejeknya dan Calvin berusaha menahan diri.

"Jadi,, kamu masih mengingat kejadian masa lalu? Apa aku salah kalau aku meminta hak ku saat itu?"

"Hak?!! Kamu bilang hak, memukuli Ayahku karena tidak bisa membayar hutang, padahal kamu yang menawari dia pekerjaan dan pinjaman untuk biaya rumah sakit ibu aku. Dan kamu culik kakak aku, Vin. Itu yang kamu sebut hak??" Alin meradang, ia benar-benar tidak menyangka dengan yang pria itu ucapkan.

"Jelas, Lin. Dengan cara itu aku bisa dapetin kamu. Tapi... Ayah kamu lebih memilih membayar uang pinjaman itu daripada nyerahin kamu ke aku. Kakak kamu pun sama, dia bahkan dengan berani minta aku jangan cari kamu. Aku terpaksa, Lin."

"Terpaksa?! Apa dengan terpaksa kamu berusaha perkosa aku dan ngelukain aku dengan rokok, itu yang kamu sebut terpaksa?" Alin mendengus. "Anda terlalu banyak berimajinasi, Tuan Kelvin."

"Lin..."

"Enough!!! Aku mau kakakku, dimana dia... dimana kamu sembunyiin dia??!!!" tegas Alin.

"Jangan membentakku!!!" mata Alin melebar saat mendengar suara Calvin yang meninggi. Sekarang, akhirnya ia bisa melihat wajah jahat pria itu yang sebenarnya.

Calvin melanjutkan ucapannya dengan seringai yang menakutkan. "Apa kamu masih belum percaya dengan yang aku ucapkan dulu? Kakak kamu udah meninggal, Alina. Ngapain kamu cari dia lagi."

"Kamu bohong kan, Vin? Jawab aku, bilang kalau kamu bohong!!!"

Calvin menjambak rambut Alin dengan kasar, "Apa aku terlihat sedang bohong dimata kamu? Kalo aja Ayah kamu yang miskin itu nurut sama aku, atau kakak kamu yang keras kepala nyerahin kamu. Kita bakal baik-baik aja dan hidup bahagia."

Alin meludah tepat di wajah tampan Calvin. "Kamu pikir, aku sudi serahin hidup aku ke kamu. Jangan mimpi kamu!!!"

Calvin mendorong Alin ke lantai. Ia melihat tangan wanita itu bergerak menutupi perutnya. Amarah Calvin kian memuncak.

"Kamu hamil??!!! Kamu hamil anak Reinaldi??!!! B**gsat!!!" Calvin berusaha menendang dan menginjak Alin.

Nak, bertahan ya, Sayang. Bertahan sama Mama. Kita harus ketemu Papa dulu. Kamu harus kuat.

Alin mendengar suara ribut diluar yang membuat Calvin berhenti menyerang Alin.

Alin melihat Calvin mengeluarkan sebuah pistol saat mendengar namanya dipanggil. Daniel, ia mengenal suara pria yang ia rindukan.

Pintu kamar terbuka. Calvin sudah mencondongkan pistol kearah pria yang masuk dengan paksaan.

Dani dan Geffie masuk ke kamar itu dengan seorang pria yang memiliki bekas luka yang besar pada wajahnya. Tapi, bagaimana bisa ia datang bersama suaminya?

Sakit menyusuri kepala dan seluruh tubuh Alin. Bahkan perutnya terasa seperti diperas. Ya Tuhan, kuatkan aku.

"Aahhhh,,, Reinaldi... Kenapa setiap hal yang gue lakuin selalu berurusan sama kalian?" Calvin tersenyum dengan tatapan bengis yang membuat Dani muak.

Tapi, Dani tidak bisa bergerak. Matanya terus teralih kearah Alin yang meringis. Istrinya terlihat kesakitan dengan memegang perutnya yang belum terlihat membesar meski sedang hamil.

Dani menatap dingin kearah Calvin. Matanya seakan ingin menghunus pria dihadapannya saat ini juga. Tapi, Dani tetap diam. Begitu juga kedua pria yang datang bersamanya. Keselamatan Alin yang sedang mereka pikirkan.

"Gue rasa lo masih belom kapok dengan yang udah terjadi di masa lalu." ucap Dani dengan nada yang dingin.

"Kapok? Tentang apa? Aahhhh,, tentang kembaran lo yang bodoh?" Dani tidak bergeming mendengar kata-kata Calvin. Di sisi lain Alin meringis karena rasa sakit yang menyerang perutnya lagi.

Calvin mengarahkan pistolnya kearah Dani, "Lo... Daniel... Elo... orang yang selalu ngerampas semua yang gue punya. Jadi... gue harus ngasih pelajaran supaya elo tau rasanya kehilangan dan kalah. Kaya api yang ngerampas hidup kembaran lo... Hahaha..."

"So, apa elo udah siap nyusul kembaran lo?" Calvin menjentikkan tombol pistol untuk siap menembak, sedangkan Alin berusaha bangkit berdiri menahan rasa sakit pada tubuhnya karena serangan kaki pria itu.

Dani berharap Alin tidak bergerak. Ia tidak ingin istrinya dalam bahaya. Tapi ia salah, saat pistol yang Calvin pegang mengeluarkan suara dan peluru mulai mengarah kearahnya, dengan susah payah Alin berlari kearah Dani.

Dani dan Alin terjatuh bersama. Geffie yang juga memegang pistol menembak kaki Calvin.

"Lin... Lin...." Dani memanggil Alin yang ambruk diatas tubuhnya. Wajah Alin terangkat dan mata mereka bertemu. "Are you hurt?" Alin menggeleng.

Dani melihat Geffie mengikat tangan Calvin yang berusaha melawan. Tapi ada yang lebih menyesakkan hatinya.

"Kak..." Alin menghampiri tubuh pria yang bersimbah darah.

Dari saat Dani tiba, tatapan Alin tak lepas pada sosok yang datang didekat suaminya. Kakaknya yang ia cari selama ini masih hidup. Alvian yang menerima timah panas dari pistol Calvin. Ia tidak ingin adiknya terluka.

"Hai, dek... long time... no see..." tubuh Alvian berada dalam pelukan Alin.

"Kak... tahan sebentar... plisss.... tahan sebentar. Jangan tinggalin aku." Alin menatap Dani yang sedang memegang handphone untuk memanggil ambulans, "Help."

"Kakak... selalu ada buat kamu.... Hei... Jangan nangis,,,, kamu... adek yang kuat... Dek,,, apa kamu... hepi nikah sama dia...? Apa kamu cinta dia...?" kepala Alin mengangguk kencang dan Alvian meraba lembut pipi adiknya dengan tangannya yang penuh darah.

"Kalo gitu.... tugas Kakak udah selese.... Janji ke Ayah... udah Kakak tepatin...." senyum mengembang pada wajah Alvian yang mulai pucat.

"Kak, jangan ngomong gitu. Ambulans bakal dateng buat nolong Kakak. Pliss... tahan sebentar." airmata Alin semakin deras. Ia tidak tahu harus berbuat apa untuk menolong kakaknya.

"Hei,,,, orang kaya...." Alvian melirik kearah Dani. "Thanks... for all... Thank you.... karena udah nyelametin gue.... Inget janji lo kan...? Gue titip adek gue.... Jangan... lo sakitin dia.... Bikin dia hepi... Paham...?"

Fallin' Slowly [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang