Harus Melakukan Apa?

748 46 0
                                    

Ayah, maafin Alin... Maafin Alin ga bisa nepatin janji Alin ke Ayah...

"Lin....!" Dani langsung bangkit berdiri saat pintu kamar mandi dibuka dan melihat Alin setelah hampir 2 jam ia tidak keluar.

"Lin,,, sayang, kamu kenapa?" Dani menghampiri Alin membisu, bahkan tidak melirik saat ia memanggilnya.

Alin berjalan kearah meja rias dan memgambil hair dryer. Dani yang terus memanggil dan mengikuti langkahnya langsung terdiam saat Alin seakan sengaja memilih tombol level tertinggi sehingga suara hair dryer semakin kencang.

Dani tak paham pada sikap istrinya. Ia tidak mau hanya didiamkan tanpa penjelasan seperti ini.

Setelah beberapa saat, ia melihat Alin tetap menyalakan hair dryer meski rambutnya sudah mulai mengering. Ia mengambil hair dryer dari tangan Alin dan mematikannya.

"Rambut kamu udah kering. Sekarang, jawab aku. Kamu kenapa?" tanya Dani yang masih berdiri.

Alin tidak menjawab pertanyaan Dani tapi justru memandang suaminya tanpa ekspresi.

"Lin, kalo kamu ga ngomong, aku ga akan tau dimana salah aku." ujar Dani.

Alin bangkit berdiri dan berjalan ke ranjang. Namun berbalik dan menatap Dani.

"Kamu yakin ga tau?" tanya Alin yang dijawab dengan gelengan kepala oleh Dani.

Alin melangkah mendekati Dani.

"Salah, karena aku setuju dengan ide pernikahan ini. Salah, karena aku menikah dengan kamu. Salah, karena aku dengan mudah percaya sama kamu. Salah, karena aku terlena sampai aku nyerahin diri aku, seluruh diri aku ke kamu. Salah, karena seharusnya sejak awal aku ga hubungin kamu buat sepakat dalam pernikahan ini." Alin terengah seperti kehabisan nafas. Tiap kata yang ia keluarkan beradu dengan hatinya.

"Lin, maksud kamu apa? Kenapa kamu ngomong kaya gitu, sayang?" Dani berusaha meraih istrinya, namun uluran tangannya dihempaskan.

"'Sayang?' Kamu yakin udah punya rasa sayang ke aku? Bukannya kamu bilang kalo kamu butuh aku? Apa jangan- jangan kamu cuma butuh aku untuk memuaskan birahi kamu? Iya?? Cewe yang bisa kamu perdaya dengan ide pernikahan supaya kamu bisa having sex, iya...??!!" Alin meninggikan suara, hati dan pikirannya sudah dipenuhi emosi.

"Enough, Alina!!" Dani meninggikan suaranya, namun Alin terlihat tidak bergeming.

"Sebenernya kamu kenapa? Jelasin ke aku. Kita ngomong baik-baik. Salah aku apa sampe kamu marah kaya gini??" Dani berusaha berbicara dengan lembut. Ini pertama kalinya mereka bertengkar.

"Salah kamu... Kamu pria kaya raya. Orang-orang seperti kamu cuma bisa memanfaatkan dan memperdaya orang-orang lemah untuk keuntungan kamu sendiri. Aku benci orang-orang seperti kamu. Bodohnya aku percaya sama kamu!! Aku benci kamu!!"

Kata-kata yang keluar dari bibir Alin mampu menyakiti hati Dani. Sangat sakit hingga ia tidak mampu berkata apa-apa.

Alin berjalan kearah pintu kamar dan membukanya.

"Berhenti." ucap Dani menghentikan langkah Alin. "Sesuai kesepakatan, apapun yang terjadi tidak ada pisah kamar. Kecuali... Lin, apa kamu mau berhenti dari pernikahan ini?" suara Dani terdengar lemah.

"Aku tidak perlu menjawab, aku yakin kamu sudah tau. Silahkan kamu urus." Dani seperti disambar petir mendengar yang diucapkan oleh Alin.

Alin berjalan keluar kamar tanpa menengok kearah Dani lagi.

++++++

Tidak hanya Dani, Shanaz dan Jeanny juga terkejut saat Alin mengatakan akan berpisah keesokan harinya. Mereka mengira Dani yang meminta perpisahan itu, tapi Alin membantah.

"Lin, lo boong kan? Dani maksa lo ngomong gitu ke kita kan? Jujur, Lin." Jeanny masih mengira Alin berbohong.

"Gue jujur, Jen. Gue yang minta pisah." Alin menatap sahabatnya untuk membuktikan ia tidak berbohong.

"Bukannya kemarin kalian nge-date abis dari kantor? Kalian berantem?" tanya Shanaz.

Alin tidak ingin menjawab dan hanya menghela nafas, "Lupain. Intinya gue minta tolong kalian cariin tempat kos, karena gue ga mungkin balik ke tempat lama."

Jeanny dan Shanaz tidak memaksa. Bila Alin tidak ingin bercerita, itu berarti sudah final. Meski segudang pertanyaan masih muncul di kepala mereka.

+++++

2 minggu setelah pertengkaran Alin memutuskan keluar dari apartemen dan pindah ke kost baru, ia menolak pindah ke apartemen yang diberikan oleh Dani yang disebut sebagai hadiah perpisahan.

Proses perceraian Alin dan Dani belum selesai, bahkan hingga berlangsung selama 2 bulan. Alin tau Dani terus berusaha menundanya dengan alasan kesibukan, berharap Alin mengubah keputusannya. Tapi Alin tetap meminta perpisahan diproses secepatnya, seperti yang ia selalu sampaikan kepada Antoni dan Nesya.

Hari itu Alin masuk kantor seperti biasa. Kepalanya terasa sakit, sepertinya karena ia belum makan sejak pagi. Ia memutuskan untuk membuat teh manis hangat.

Gubrakkk.
Alin terjatuh didekat pantry.

Sekitar 1 jam kemudian, Alin membuka matanya. Ia melihat Shanaz dan Jeanny yang melihatnya dengan cemas.

"Gue dimana?" tanya Alin dengan berusaha duduk.

"Di rumah sakit. Lo pingsan tadi." jawab Shanaz.

"Jangan bilang kalo lo belum makan... iya?" ujar Jeanny yang dijawab oleh Alin dengan anggukan. "Lo kan punya maag, Lin. Bisa-bisanya lo lupa makan."

"Iya, gue kesiangan tadi, buru-buru sampe lupa beli makan." jawab Alin sekenanya.

"Udah, udah..." Shanaz menghentikan Jeanny yang ingin berceloteh lagi.

Tidak lama kemudian kain pembatas dibuka oleh seorang dokter wanita yang menghampiri mereka diikuti seorang perawat.

"Sudah bangun rupanya. Apa yang dirasa? Apa masih ada yang ga enak?" tanya dokter itu.

"Udah gapapa, dok. Cuma pusing dikit dan lemes aja." jawab Alin.

"Apa ada Wali yang menemani Ibu?"

"Kami Walinya, dok. Ada apa, dok?" tanya Shanaz yang dibalas dengan senyuman.

"Bukan, yang saya maksud Wali itu suaminya Ibu Alina. Apa suaminya sudah dihubungi?" tanya dokter itu lagi dengan ramah.

"Maaf, suami saya masih kerja. Dokter bisa info langsung saja." jawab Alin dengan cepat.

"Sayang sekali, seharusnya saya bisa informasikan pada Bapak juga."

"Memang ada masalah apa, dok?" tanya Jeanny.

"Ga ada masalah. Ibu Alina hanya mengalami gejala hamil muda saja."

Alin terkejut, begitu juga dengan kedua sahabatnya.

"Maaf, dokter ngomong apa barusan?" tanya Jeanny.

"Saya bilang, Ibu Alina sedang hamil muda, usianya 7 minggu. Selamat ya, Bu. Wajar kalau hamil muda sering merasa pusing dan lemas." ujar dokter itu dengan wajah sumringah. "Sebentar dokter Ob Gyn akan mengecek Ibu lebih lanjut. Mohon ditunggu sebentar ya."

Saat dokter dan perawat pergi, Jeanny dan Shanaz memeluk Alin bersamaan.

Airmata Alin menetes dan tangannya menyentuh perutnya yang belum terbentuk. Ia hamil.

Apa Alin harus memberitahu Dani? Apa Dani akan bahagia dengan kehamilan Alin?

Dani mengatakan kalau ia ingin Alin segera hamil anak mereka. Tapi mereka sedang dalam proses untuk berpisah?

Alin harus melalukan apa?

Fallin' Slowly [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang